Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Overthinking Dua Dunia
Aditya mengangkat gelas teh itu, uap panasnya menguar, menempel di wajah yang sudah berlapis letih. Satu tegukan saja sudah cukup membuat tenggorokannya sedikit lega. Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sebentar.
Tangan ibunya yang hangat menyentuh bahunya, jemari yang mulai berkeriput mengusap perlahan, seolah ingin menenangkan jiwa yang selalu bergejolak. Tatapan matanya lembut, tapi kalimat yang meluncur justru menghantam dada Aditya bagai palu godam.
"Nak Aditya, usiamu saat ini sudah memasuki kepala tiga. Kapan menikah dan memberi bunda cucu?"
Refleks, Aditya tersedak. Tenggorokannya seperti terbakar.
"Pfft!"
Semburan teh itu lolos tanpa bisa ditahan, memercik langsung ke wajah Anggara yang duduk tak jauh darinya. Cairan hangat itu mengalir di pipi, membuat ekspresi kaget bercampur jijik terpampang jelas.
"Kak, kau itu pengacara atau dukun? Sembarangan sekali menyembur orang lain!" omel Anggara dengan wajah kusut, buru-buru mengusap bekas teh itu dengan telapak tangan kosong.
Aditya buru-buru mengangkat tangannya, nada suaranya mencoba terdengar tulus meski jelas ada rasa kikuk yang mengganjal. "Maaf, Anggara. Kakak tidak sengaja. Serius."
Ibunya langsung tersentak, merasa bersalah karena sudah memicu kekacauan kecil itu. Wajahnya menunduk sedikit, suaranya terdengar menyesal. "Nak Aditya, maaf. Seperti bunda terlalu—"
Namun Aditya memotong dengan sebuah gelengan pelan. Ia bangkit, tubuh tegapnya berdiri kokoh meski jelas ada badai yang bergemuruh di dalam dada. "Aditya mau mandi dulu. Tulis saja semua request kalian di kertas! Nanti akan Aditya baca satu-persatu."
Langkah kakinya terdengar berat ketika meninggalkan ruang tamu. Tidak ada yang berani menahan. Suasana yang tadinya riuh langsung jatuh sunyi, hanya menyisakan sisa uap teh yang masih berputar di udara.
---
Kamar mandi yang dimasukinya tidaklah besar. Dindingnya sederhana, keramik pucat memantulkan bayangan tubuhnya yang tinggi menjulang. Begitu pintu tertutup, ruangan terasa lebih sempit dari biasanya, seolah menekan dada Aditya dari segala arah.
Ia melepaskan dasi di lehernya dengan gerakan kasar, seakan benda itu adalah jerat yang mencekiknya sejak pagi. Satu per satu kancing jas hitamnya dibuka, hingga yang tersisa hanyalah kemeja putih yang kusut dan basah oleh keringat.
Tatapannya jatuh pada cermin di hadapannya. Wajah itu—datar, dingin, tapi jelas terpampang garis lelah yang tak bisa disembunyikan. Lingkar hitam di bawah mata, rahang yang mengeras, dan pandangan kosong yang menatap balik seakan menertawakan dirinya sendiri.
'Menikah?' pikirnya getir. 'Bertahun-tahun hidup hanya untuk menjadi penafkah utama di keluarga ini. Mana mungkin terpikir untuk menikah?'
Kancing kemeja perlahan dilepaskan, memperlihatkan otot-otot tubuh yang terbentuk sempurna, saksi bisu dari kedisiplinan dan kerasnya hidup yang ditempuh. Tapi bahkan tubuh yang kuat itu pun tidak mampu menutupi kenyataan: hatinya terkikis sedikit demi sedikit, setiap hari.
---
Di sisi lain kota, Aurora sudah selesai mandi dan makan malam. Ranjang empuk berukuran queen size kini menjadi singgasananya. Wajahnya tertutup masker, tangan sibuk menggenggam ponsel mahal yang berkilau dalam cahaya lampu kamar yang hangat.
'Enak juga jadi anak orang kaya… meskipun menjadi anak seorang gundik dan pejabat korupsi. Di kehidupan sebelumnya, mana bisa seperti ini,' batinnya, setengah sinis, setengah bersyukur.
Namun jemarinya tiba-tiba terhenti di layar. Ingatannya melayang kembali ke percakapan singkat di mobil bersama Aditya. Tatapan mata pria itu, dingin tapi sarat beban, terus menghantui pikirannya.
Aurora menggigit bibir, lalu dengan cepat membuka aplikasi chat. Jemarinya menari gugup di atas keyboard.
Pak pengacara, aku minta maaf karena mengatakan hal buruk tentang kondisimu dan keluargamu. Saat itu aku benar-benar sedang tidak bisa berpikir jernih. Karena itu, semangat pak pengacara! Kau memang tidak minta dilahirkan sebagai sandwich generation. Tapi percayalah! Yang membuatmu bisa pintar dan sukses justru karena masalah besar yang menempa pak pengacara jadi sehebat ini!
Pesan itu terkirim. Hening seketika menyelimuti kamar. Aurora menatap layar ponselnya, jantungnya berdegup liar.
Namun hanya butuh sepersekian detik sebelum tangannya bergerak cepat. Pesan itu dihapus.
Aurora menutup wajahnya dengan satu tangan, kepalanya menggeleng berulang kali. 'Tidak! Ini terlalu seperti motivator nirempati. Bukannya memberi semangat, dia pasti akan merasa terhina karena aku sok tahu masalah hidupnya. Meskipun di dunia asal aku juga sesama sandwich generation seperti Pak dosen, tapi di kehidupan ini, aku anak orang kaya. Aku pasti dicap munafik.'
---
Aditya baru saja selesai mandi. Uap hangat masih melekat di tubuhnya ketika ia melangkah keluar dari kamar mandi, hanya berbalut handuk putih yang menutupi pinggang hingga lutut. Otot perut dan dadanya yang terlatih tampak jelas di bawah cahaya lampu kamar yang temaram, menegaskan sosoknya yang maskulin. Tetesan air dari rambutnya yang basah jatuh perlahan, menyusuri kulitnya yang hangat, menimbulkan kilau samar di permukaan tubuhnya.
Dengan langkah tenang, ia membuka pintu lemari yang berdecit ringan, menarik setelan piyama hitam yang sederhana namun rapi. Gerakannya cepat dan efisien, seolah terbiasa dengan rutinitas malam yang sama. Setelah mengenakannya, ia meletakkan handuk pada jemuran kecil di sudut kamar, lalu merebahkan diri ke atas ranjang. Kasur yang tidak terlalu empuk menyambut tubuh lelahnya, dan sesaat Aditya hanya menutup mata, mencoba melepaskan beban panjang dari hari yang berat.
Namun ketenangan itu terganggu ketika ia meraih ponselnya di meja samping ranjang. Ada notifikasi pesan baru… lalu hilang. Aurora sempat mengirimkan sesuatu, tetapi pesan itu sudah dihapus sebelum sempat ia baca. Alis Aditya berkerut. Jemarinya refleks mengetik:
Apa yang mau kau sampaikan? Kenapa pesannya dihapus?
Sesaat setelah kalimat itu terkirim, Aditya menegang. Kedua matanya membulat, wajahnya seketika memanas, dan tanpa berpikir panjang ia langsung menghapus pesannya sendiri. Dadanya berdegup kencang, seolah tubuhnya menolak keputusan yang baru saja ia lakukan.
'Tunggu… kenapa aku harus bertanya? Kalau Aurora merasa risih, bukankah aku akan tampak bodoh? Bagaimana jika dia menganggapku terlalu penasaran? Bagaimana kalau sebenarnya itu hanya salah kirim? Ah, tapi kenapa dia harus menghapusnya? Apa maksudnya? Seharusnya aku tidak… tidak secepat itu…'
Pikiran Aditya berputar semakin cepat. Seperti ruang sempit di dalam kepalanya tiba-tiba penuh dengan suara-suara yang saling bertabrakan.
'Seharusnya akubiarkan saja!'
'Tidak! Justru itu kesempatanku untuk tahu apa yang dia pikirkan!'
'Tapi jika dia merasa diintimidasi, bagaimana?'
Aditya meremas rambutnya yang masih lembap, napasnya memburu. Ia menatap kosong ke langit-langit kamar, mencoba menenangkan dirinya dengan menarik napas panjang. Namun setiap helaan hanya membawa kembali kebingungan yang sama.
'Ini hanya efek lelah. Ya… pasti karena aku terlalu lelah. Besok aku harus konsentrasi penuh di kantor, bukan sibuk memikirkan chat yang bahkan sudah terhapus.'
Meski berusaha menutup mata, denyut di dadanya masih terus bergemuruh.
---
Sementara itu, di kamar lain, Aurora duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangannya. Tatapannya tertuju pada layar yang kini kosong dari notifikasi. Ada senyum tipis di bibirnya, lalu berubah menjadi cekikan kecil.
"Hehehe…" ia menahan tawa. 'Pak pengacara ini pasti takut dibilang penasaran. Makanya pesannya langsung dihapus. Lucu sekali!'
Namun tawa itu tidak bertahan lama. Beberapa menit setelahnya, Aurora hanya terdiam. Jemarinya berhenti bergerak di atas layar, wajahnya kehilangan keceriaan. Bayangan gelap merayap dalam benaknya.
'Tapi… bagaimana jika dia merasa aku yang salah? Bagaimana kalau dia balas dendam? Aku duluan yang menghapus pesan sebelum sempat dia baca. Apa dia marah? Apa dia… kecewa?'
Ketegangan yang sama kini menyelimuti Aurora. Kedua insan itu, tanpa saling tahu, justru terjebak dalam pusaran overthinking yang memenjarakan mereka hingga larut malam.