Kemampuan dan kelebihan yang membawa pada kesombongan.
Jangan pernah berpaling dan melupakan Sang Penguasa Subuh. Selalu rapalkam dalam hati 'Ilmu, Kebijaksanaa, dan Rendah Hati.' Jangan sampai tergoda oleh para pembisik, mereka pandai menggelincirkan keteguhan hati manusia.
Ketika dunia sudah mulai kehilangan keasliannya, banyak terjadi kejahatan, hal menyimpang, bahkan normalilasi terhadap hal yang tidak normal. Sebuah suku tersembunyi yang masih memegang erat sejarah, mengutus anak terpilih yang akan kembali membuka mata dunia pada siapa mereka sebenarnya.
Perjalanan Warta Nalani yang membawa sejarah asli dunia dimulai dengan usahanya harus keluar dari hutan seorang diri. Banyak hal baru yang ia temui, teman baru, makanan baru, dan juga kesedihan baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon godok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Rusa (13)
Pemikiran Nalani yang bisa dibilang nekat itu berbuah bagus hingga sekrang. Masih banyak anak desa yang selamat, hingga berkurangnya angka depresi pada para orang tua yang membuat mereka berujung mengakhiri hidup. Mereka yang selamat dan terus berjuang melanjutkan hidup pun mendapatkan kembali rumah mereka.
"Jadi, sekarang," Paman Zai mengalihkan pandang. Mentap Kakek Ahal lekat-lekat.
Kakek Ahal menarik apas panjang lalu menghembuskannya. "Nak Warta," KAkek menatap Warta yang duduk di seberangnya. "Bagaimana cara penguasa subuhmu menghukum?"
Warta terlihat berpikir, ia mengetuk-ngetuk telunjuk kanannya di dagu secara konstan. "Hhmm, menurut buku yang dijadikan panduan oleh desa ku... Dikubur setengah badan? dilempari dengan bebatuan? hmm, sebantar, aku ingat-ingat dulu."
Mendengar jawaban Warta membuat wajah Kakek Ahal telihat agak panik. Beberapa bulir keringat mulai memenuhi pelipis, sampai membuat kakek rasanya kesusahan hanya untuk menlan ludah.
Warta tertawa pelan, "Tapi kalau hukuman dari penguasa subuh, sepertinya Kakek sudah mendapatkannya. Jadi sekarang, tergantug dari keluarga yang tersakiti." Warta menatap Basa yang masih berpelukan dengan keluarganya.
Nalni berjalan maju, ia mensejajarkan tingi dengan Kakek Ahal yang sedang duduk. "Paman, semuanya memang terasa menyakitkan," tangan kanan Tilani terangkat, "Tapi, sebelum semua ini terjadi. Aku, mas Zai, dan warga desa lai dapat menjalani hidup jug karena bantuan Paman." ia memberi elusan lembut pada bahu Kakek Ahal.
Hari itu, menjadi hari penuh haru dan juga tawa di Desa Rusa. Para keluarga yang dapat kembali berkumpul saling berbagi cerita, apa saja yang sudah mereka alami 4 tahun terakhir. Warta tersenyum melihat penduduk Desa Rusa yang semuanya menampilan semyum bahagia.
"Oi, bocah," Paman zai menghampiri Warta. "Tas dan buku aneh yang kau lapisi dengan pernis itu masih di rumahku."
"Hm!" Warta mengangguk. "Nanti aku ambil. Aku juga harus melanjutkan perjalanan."
"Eh??!" Basa berlari menghampiri Warta. "Oi, orang hutan. Kau yakin mau pergi siang bolong begini. Para rusa sering berkeliaran di siang hari."
"Loh, kok buru-buru amat?" Nalani berdiri di belakang Basa, kedua tangannya bertengger di bahu basa. "Bibi belum berterima kasih sama kamu yang udah selamatin Basa."
Warta terkekeh cenggung, pandangannya mengedar pada seluruh warga desa yang melarangnya untuk pergi.
"Besok saja." ujar Paman Zai yang segera di setujui oleh seluruh Warga. Mereka memang tidak pernah berinteraksi dengan Warta. Tapi, kalau bukan karena Warta yang pingsan karena diterkam rusa, mugkin kejadian ini tidak akan terjadi.
"Ba-baiklah," pasrah Warta.
"Kalau begitu, malam ini kita pesta perpisahan!!!" teriak anak-ana desa dengan ceria. Mereka berlarian mengelilng Warta, membuatnya sedikit kelimpungan dan pusing.
Malam pun tiba, hanya makanan sederhanya yang ada dalam stok gudang mereka. Tapi, terasa cukup mewah karena dapat kembali menyantap hidangan dengan keluarga.
Setiap keluarga berkerumun, membuat lingkaran dan makan bersama. Warta menerima yang tangan terbuka lebar, sebagai ajakan untuk makan bersama Basa dan keuarganya.
"Cil, kau kan seumuran denganku. Tapi kenapa tinggimu sama seperti anak-anak 10 tahun itu?" tanya Warta. Dari semua warga di Desa Rusa, hanya Basa yang memiliki keunikan dalam hal tinggi.
Hidra yang sedang makan, tiba-tiba mengangkat lengan kirinya dan menggaruk belakang kepala. Ia terkekeh dengan canggung dan berkata, "Itu pasti karena kesalahan genetik."
Warta, Basa, dan Zai serempak menatap Hidra meminta penjelasan. Hidra mengambil segelas teh hangat, meminum dua teguk air bersiap memberi penjelasan.
Hidra memandang tepat di mata Basa, "Ternyata, aku dan ibumu masih satu gen. Jadi , pasti ada keturunannya yang memiliki kekurangan."
Setelah memberitau penjelasannya, Basa berdiri. Ia berjalan ke berlakang Hidra,
bugh!
dan memeberikan tengkuk sang ayah pukulan telak.
Mulai memahami maksud dari ucapak Hidra, Warta mengangguk pelan. Tapi, wajahnya terlihat seperti sedang berpikir.
"Oh, jadi begitu. Pantas saja penguasa subuh melarang pernikahan sedarah. Jadi begitu," Warta kembali mengangguk sambil menyuapkan gumpalan nasi yang sudah bersatu dengan daging ayam ke dalam mulut.
"Eh, bernarkah?!" kaget Basa. Ia bergegas lari ke arah ibunya.
Diguncangnya dengan kuat bahu sang ibu, "Ibu, cepat tinggalkan orang hutan ini! Nanti penguasa subuh tidak mau membantu lagi."
Tangan Nalani terulur merengkuh pinggang sang anak, ia berusaha menenangkan Basa, Nalani meminta sang putra duuk di sampingnya. Nalani dengan lembut membelai surai Basa penuh kasih.
"Maaf, ya. Saat itu kami tidak tau. Setelah kabur dari penjara dan kami semua berembunyi di jurang, ayahmu menunjukan benda seperti lukisan nyata yang tergambar wajah Kakekmu, Basa. Yang ternyata juga ayahnya Ibu."
Warta lagi-lagi mengangguk, "Kalau tidak tau, mungkin tidak apa. Pasti penguasa subuh memaklumi. Tapi, kalau sudah tau ya..."
"Eh? apa tidak boleh?" panik Hidra bertanya kepada Warta.
""Menurut anjuran dari penguasa subuh, sebelum menikah harus memperkanalkan keluarga telebih dahulu.Kalau memang sudah tidak ada, ajak bertemu dengan sadara lain. Kalau ada lukisan wajahnya juga bisa, untuk sekedar memperkenalkan visual. Mungkin tujuannya agar kejaadian seperti ini tidak terjadi." jelas Warta panjang lebar.
Basa menatap Hidra penuh selidik, "Kau, baru membawa benda lukisan itu saat kembali dari kota?"
"Foto, nama benda lukisan itu foto. Dan, ya, tidak, benda itu selalu aku bawa... Bahkan, saat pertama kemari." badan HIdra terkulai lesu.
"Dasar bodoh!" Basa kembali berdiri di belakang sang ayah. Pukulan berutubi-tubi ia berikan pada puggung yang tinggi.
"Mungkin di buku yang aku bawa juga ada solusinya. Mau aku carikan?" tawar Warta.
Hidra menatap Warta penuh harap, "Buku mu itu, boleh aku salin semuanya? Logikan dan alasan yang ada dibalik semua larangan cukup masuk akal."
Wajah warta terlihat bersemangat, ia mengangguk dengan kencang. "Tentu! Eh, tapi perlu waktu lama. Paman bisa datang ke desaku kalau memang perlu salinan lainnya."
Hidra menggeleng, telapak tangan yang terbuka lebar terangkat kehadapan Warta.
"Tidak perlu!" tolak Hidra dengan tegas. Kadua tangannya terlipat didepan badan, dengan daguyang terangkat angkuh.
bugh!
Satu pukulan yang sangat keras Basa berkan. Hendak melakukan protes kepada sang ayah, tapi Hidra sudah lebih dulu menjelaskan.
"Kau bisa menggunakan mesin ciptaanku. Bahkan, buku dengan 351 bab sekali pun, dapat ia salin dengan sangat cepat." Hidra tertawa dengan lantang.
Tapi, tawa itu memudar seiring dengan tatapn yang diberikan oleh keluarganya di tambah Warta, menatap lekat wajah Hidra semakin lama semakin menajam.
Hidra bercicti, "Tenang, kali ini hanya mesin biasa dengan satu fungsi. Bentuknya juga cuma seperti sebuah balok besar, dengan lebar 30cm dan panjang 60cm."
Semuanya mengangguk, tapi masih dengan tatapan menyeldik ke arah Hdra.
"Lagi pula Paman," Warta kembali angkat bicara, "Penguasa subuh melarang membuat benda yang menyerupai makhluknya."
Bugh!
"Dengar itu!" ketus Basa yang masih setia berdiri di belakang Hisdra.
Hidra menundukan kepala dan bahunya jatuh terkulai. Ia mengangguk dengan lemas.
---
Esok paginya, semua orang berkumpul di gerbang desa. Mengantarkan kepergian akan berpamitan, bersamaan dengan Hidra yang mengembalikan buku milik Warta.
"Aku sduah membuat seluruh salinan buku ini," Hidra mengakat tumpukan kertas yang baru dipererat oleh tali-tali rami. Ia memberikan buku itu kepada Zai. "Akan Zai bacakan buku panduan hidup ini kepada warga desa, setiap hari jum'at di rumah utama."
Zai menerima buku yang Hidra sodorkan padanya, "Dasar merepotkan. Oi, dimana desamu? kalau ada yang tidak aku paham, tidak mungkin aku harus mencarimu, kan,"
Warta tersenyum canggunh dan mengangguk dengan kaku, jujur saja kalau bisa ia ingin jaga jarak dengan Zai. Wartapun merogoh tas selempangnya, ia memberikan selembar kertas yang merupakan jalan dari desanya menuju desa rusa. Kebetulan, itu adalah peta iseng yang dirinya buat sebagai penghilang jenuh.
Warta akhirnya berpamitan kepada para warga. Ia mulai membalik badan dan melangkah menjauh, membelakangi desa. Terdengar teriakan dari para anak-anak pemain takraw yang memintanya untuk segera mampir kembali dan bermain bersama mereka. Warta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi, menggerakan kekanan dan kekiri seperti apa yang ia lakukan saat meninggalkan desanya. Tidak perlu membalik badan, pikirnya. Toh, ia hanya hadir sementara, tidak selamanya dirinya bisa bersama para orang baik. Ia harus bisa tegar seorang diri.
Beberapa langkah setelah Warta kembali menuju tujuan utama. Basa, dari tempatnya berdiri, di samping pintu gerbang desa. Ia menendang sebuah bola takraw tepat mengenai kepala Warta, membuat Warta tanpa sadar membalikan badannya.
Matanya perlahan berkaca-kaca. Di seberangnya kini, Basa dan juga seluruh warga kota melambaikan tangan ke arahnya. Para anak-anak yang melambai sampai melomat-lomat dengan wajah ceria.
Warta membungkuk, mengambil bola takraw yang menggelinding tidak jauh dari kakinya.
"UNTUK MENJAGA DIRI!!!" teriak Basa. Tangan teman barunya itu masih setia melambai tanpa henti.
Warta mengangguk, ia memsukan bola ke dalam tas. Napas dalam ia hirup, langkahnya sekeltika menjadi semakin berat. Meski begitu, Warta tetap memaksakan diri untuk kembali melangkah di jalur tujuannya.
"Benar juga, kenpa aku tidak melakukannya saat meninggalkan desa."
Warta memandang langit yang saat cerah, "Padahal, aku tidak sendiri. Sendiri? tanpa penguasa subuh, tidak mungkin aku bisa sejauh ini.