Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Sekedar Murid Baru
Pagi itu, Zee sudah terbangun lebih awal dari biasanya.
Selama di asrama, Zee terbiasa bangun pukul lima pagi-berbanding kebalik saat dirumah, ketika ia nyaris selalu bangun menjelang pukul tujuh.
Sejak awal, Zee sudah memesan sendiri peralatan dapur dan bahan makanan. Ia enggan makan di kantin—bukan karena makanan di sana buruk, tetapi karena ia tak suka berinteraksi dengan murid lain.
Untungnya, kamar Zee punya sudut kecil yang bisa ia sulap jadi dapur mini. Lemari kecil, kulkas, dan alat-alat memasak sudah tertata rapi.
Pagi ini, Zee menyiapkan nasi goreng. Zee bukan tipe gadis manja-tangannya cetakan mengaduk nasi di atas teflon.
Beberapa menit kemudian, aroma harum memenuhi kamarnya. Setelah matang, ia menyajikan nasi goreng lengkap dengan sayuran.
Siapa pun yang melihat porsi makannya pasti tak menyangka—karena tubuh Zee yang mungil sangat kontras dengan jumlah makanan yang ia habiskan.
Usai makan, Zee bergegas ke kamar mandi. Ia ingin segera bersiap—bukan hanya untuk sekolah, tetapi juga untuk misinya.
Sepuluh menit berlalu, Zee sudah rapi dengan seragam sekolah. Ia menatap pantulan dirinya di cermin sebentar, lalu mengambil ransel dan keluar dari kamar.
“Hai, Zee!”
Viola sudah berdiri di depan kamarnya, menyapa dengan senyum cerah khasnya.
Zee mengangguk singkat, lalu menutup pintu.
“Kita bareng ke kelas, yuk.”
Zee diam sebentar, lalu mengangguk pelan. Viola tersenyum lebar, lalu spontan menggandeng tangan Zee.
Zee sedikit risih, tapi tidak menepis. Ia tahu, Viola bisa membantunya mencari tahu sesuatu yang penting.
“Kamu udah tiga hari di sini, baru kali ini kita ke kelas bareng,” kata Viola riang.
“Iya,” jawab Zee pendek.
Tapi Viola tidak terganggu. Ia memang tak pernah mempermasalahkan sikap dingin Zee.
“Oh iya! Di sekolah ini, setiap murid wajib ikut ekstrakurikuler. Apalagi kelas 12, itu bisa jadi nilai tambah.”
Zee langsung terdiam, pikirannya mulai memutar.
“Wajib?” tanyanya.
“Banget,” jawab Viola semangat.
Senyum tipis muncul di sudut bibir Zee. Ada ide lain yang muncul di benaknya.
“Mungkin sebentar lagi kamu akan didatangi pengurus OSIS,” lanjut Viola.
Zee mengangguk tanpa menjawab. Ia kembali tenggelam dalam pikirannya.
Sepanjang jalan ke kelas, Viola tak berhenti bercerita—tentang sekolah, teman-teman, hingga kebiasaan di Wolfe House. Zee hanya berpura-pura mendengarkan. Di pikirannya hanya satu hal: rencana.
“Zee, kamu mau gak jadi teman aku?”
Pertanyaan Viola cukup mengejutkan.
“Soalnya di kelas, sebenarnya aku gak punya teman,” tambahnya, dengan senyum yang menutupi luka.
Zee sempat terdiam. Ia tak benar-benar memperhatikan Viola selama ini.
“Serius?”
“Serius. Kelihatan banget kamu gak pernah sadar aku ada di kelas," Viola terkekeh.
Zee sempat merasa bersalah, tapi segera menyingkirkan perasaan itu. Meski begitu, ia mulai menilai Viola sebagai sosok yang bisa berguna.
“Baiklah.”
Viola terbelalak.
“Serius kamu mau temenan sama aku? Makasih banget!”
Ia langsung memeluk lengan Zee. Tapi kali ini, Zee tidak merasa risih seperti sebelumnya.
Mereka sampai di kelas. Beberapa murid langsung menatap mereka aneh.
“Mereka gak suka aku, Zee. Jadi kalau kamu bareng aku... ya, tatapannya begitu," bisik Viola.
Zee hanya mengangkat bahu tanda tak peduli, lalu duduk di bangkunya.
Bangku di sebelahnya masih kosong—Rey belum datang. Tapi Zee tak mempermasalahkannya. Ia hanya mengambil buku dan duduk diam, walau pikirannya melayang menyusun rencana.
••••
Di sebuah ruangan tersembunyi dekat kompleks asrama Wolfe house, seorang Pria duduk menatap deretan monitor. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard, sementara tatapannya terpaku pada layar dengan raut penuh ketidakpuasan.
Langkah kaki mendekat. Seseorang berhenti di sampingnya, ikut menatap ke arah layar yang sama.
“Lo juga curiga sama dia?” tanyanya datar, tanpa basa-basi.
Laki-laki di depan layar hanya mengangguk pelan, tanpa melepaskan pandangan.
“Gue gak tahu siapa dia. Tapi perasaan gue bilang, dia bukan murid biasa. Bukan murid yang datang cuma karena pindahan biasa.”
Laki-laki bermata tajam itu tetap diam, sorot matanya penuh perhitungan.
"Gue masih nggak tahu siapa dia," lanjut temannya, suaranya mulai pelan. "Tapi feeling gue bilang, dia bukan sekadar murid pindahan biasa.”
Hening sejenak.
Kemudian, suara pelan namun tegas terdengar dari laki-laki yang sejak tadi membisu.
“Gue punya informasi.”
Temannya langsung menoleh. “Apa?”
Laki-laki itu akhirnya menatapnya, tajam dan serius.
“Zia... dia nggak bunuh diri.”
Deg.