Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jerat Yang Tak Terlihat
Aku tidak tidur semalaman.
Setiap kali memejamkan mata, bayangan wajah Leonhart Revanza kembali hadir, menyusup seperti racun yang mengalir dalam darahku. Tatapan matanya yang dingin, sentuhan tangannya yang lembut tapi mengikat… semua itu bukan sekadar kenangan. Mereka seperti jerat yang tak terlihat, menggenggam leherku pelan-pelan.
Pagi ini aku berdiri di depan kaca kamar kos yang sempit, mengenakan kemeja putih dan rok hitam sederhana,seragam wajib magang. Tapi tak peduli seberapa profesional aku mencoba tampil, aku tahu mata itu akan tetap melihatku sebagai... miliknya.
Dan aku benci kenyataan itu.
Namun yang lebih ku benci,aku tidak tahu bagaimana caranya melepaskan diri.
Ruang kantor Leon di lantai paling atas bagai dunia yang berbeda.
Pintu kaca terbuka otomatis, dan di dalamnya, aroma kopi mahal dan parfum maskulin menyeruak ke hidungku. Suara AC nyaris tak terdengar, tapi hawa dinginnya menggigit kulitku.
Aku berdiri kaku beberapa langkah dari meja kerjanya. Dia sedang menandatangani beberapa dokumen, seolah aku tidak ada di sana.
Diam. Dingin. Mematikan.
"Lana." Suaranya akhirnya terdengar, dalam dan pelan. "Duduk."
Aku menurut. Kursi kulit di depanku terlalu empuk hingga aku merasa seperti tenggelam di dalamnya.
"Apa tujuanmu masuk ke sini?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Aku tidak tahu ini perusahaanmu," jawabku cepat. "Aku hanya ingin... bekerja. Menjalani hidup."
Leon menatapku lama. "Hidup? Setelah kau menjualnya padaku malam itu?"
Aku menggertakkan rahang. "Itu hanya satu malam. Dan sudah berakhir."
Dia tertawa pendek. Suara itu dingin, tapi ada nada menghina di dalamnya.
"Kau naif, Lana. Dunia ini tidak sesederhana kontrak semalam. Apalagi saat pihak yang membelinya adalah aku."
Aku berdiri. "Kalau Anda berpikir bisa mempermainkan hidup saya karena uang"
"Diam."
Suaranya pelan, tapi cukup untuk membuat lututku melemas. Matanya menyala. Seperti binatang buas yang merasa terganggu oleh mangsanya.
"Aku membantumu. Membebaskan keluargamu. Memberimu pekerjaan. Memberi makan. Tempat tinggal. Dan kau pikir kau masih bebas?"
Aku menelan ludah.
"Bahkan Tuhan pun meminta balasan atas setiap karunia-Nya, Lana. Dan aku jauh dari Tuhan."
Deg.
Kata-katanya menikam lebih dalam daripada sentuhannya.
"Jadi sekarang apa yang Anda inginkan?" tanyaku akhirnya. "Tubuh saya? Lagi?"
Dia berdiri. Mendekat perlahan. Tangannya menyentuh daguku, seperti malam itu.
"Aku ingin semuanya," bisiknya.
Aku menarik wajahku. "Maaf. Tapi saya bukan boneka."
Matanya menajam. Tapi sebelum dia sempat bicara lebih jauh, pintu diketuk.
"Masuk," ucapnya, nada suaranya langsung berubah profesional.
Seorang wanita tinggi dengan rambut gelombang cokelat masuk. Penampilannya elegan. Wajahnya cantik dengan senyum penuh percaya diri.
"Leon," sapanya sambil berjalan langsung ke arahnya dan mencium pipinya dengan akrab. "Kau lupa kita ada lunch meeting hari ini?"
Leon mengangguk. “Tidak lupa.”
Wanita itu baru menoleh padaku. Matanya memindai tubuhku dari atas ke bawah. “Dan ini?”
“Peserta magang,” jawab Leon ringan. “Lana Ayudia.”
Wanita itu tersenyum tipis. “Aku Anastasia. Wakil CEO. Dan tunangannya.”
Dunia runtuh sejenak.
Tunangannya?
Aku berusaha menyembunyikan reaksi di wajahku, tapi rasanya pipiku terbakar. Mataku mencari Leon, tapi dia hanya berdiri santai, seolah tak terjadi apa-apa.
“Senang bertemu denganmu,” ucap Anastasia sambil tersenyum tipis. “Hati-hati, Lana. Di tempat seperti ini, wanita muda bisa dengan mudah terjebak dalam fantasi.”
Dia tertawa kecil. Tapi nadanya menusuk.
Aku membalas senyuman itu. “Terima kasih atas peringatannya. Saya di sini untuk bekerja, bukan bermimpi.”
Anastasia melirik Leon sejenak sebelum pergi. Pintu tertutup dengan bunyi ‘klik’ yang pelan, tapi menyesakkan.
Aku berdiri.
“Saya akan kembali bekerja,” kataku singkat.
Namun sebelum aku sempat melangkah, Leon berkata, “Anastasia bukan tunanganku.”
Aku berhenti. “Tapi dia bilang begitu.”
Dia menatapku lama. “Aku tidak menjelaskan diriku pada siapa pun. Bahkan padamu.”
“Lalu kenapa Anda mengatakannya sekarang?” bisikku, tanpa menoleh.
Hening.
Lalu dia berkata pelan, “Karena aku ingin kau tahu... aku hanya memilih apa yang ingin ku miliki. Dan aku memilihmu.”
Tubuhku gemetar.
Aku berjalan keluar ruangan tanpa berkata apa-apa.
Tapi dalam hati, aku tahu… semakin aku berusaha lari, semakin dalam aku terhisap dalam permainannya.
Hari-hari selanjutnya berlalu dalam kabut emosi.
Leon tidak menghubungiku. Tapi dia ada di mana-mana.
Setiap kali aku lewat di lorong kantor, aku bisa merasakan matanya dari kejauhan.
Setiap kali rapat, dia hanya menyapaku dengan satu tatapan singkat,tapi cukup untuk membuat napasku tercekat.
Dan tiap malam… aku menerima transfer tanpa nama.
Lima juta. Sepuluh juta. Kadang hanya satu juta.
Tanpa pesan. Hanya inisial: L.
Aku ingin menolak. Tapi bagaimana?
Aku butuh uang itu untuk membayar pengobatan ibu. Untuk adikku yang mulai ujian akhir sekolah.
Leon tahu itu. Dia tahu persis di mana letak kelemahanku.
Suatu malam, aku duduk di halte bus dekat rumah sakit, menunggu angkutan pulang. Hujan turun deras. Ponselku berbunyi. Nomor tidak dikenal.
Aku mengangkat. “Halo?”
“Kenapa tidak kau pakai payung?”
Suara itu... Leon.
Aku menoleh panik ke sekeliling. Mobil-mobil melaju, lampu-lampu berpendar basah karena hujan. Tapi aku tahu, dia melihatku dari suatu tempat.
“Aku tidak butuh perlindunganmu,” kataku gemetar.
“Tapi kau tetap membiarkanku melindungimu,” jawabnya tenang.
Deg.
“Pulang sekarang,” lanjutnya. “Tak aman di sana.”
Klik. Telepon ditutup.
Beberapa detik kemudian, mobil hitam berhenti di depanku. Sopir membuka pintu.
“Silakan, Nona Lana.”
Aku nyaris menolak. Tapi udara terlalu dingin, tubuhku sudah basah, dan jiwaku... lelah.
Aku masuk.
Dan di dalam mobil itu, aroma Leon langsung menyambutku meski dia tak ada di sana.
Dua minggu kemudian
Aku mulai merasa seperti boneka dalam permainan yang tidak kumengerti. Setiap langkahku diawasi. Setiap gerakku tercatat.
Sampai suatu malam, pintu kamar kosku diketuk.
Aku membuka pintu perlahan.
Leon berdiri di sana. Basah oleh gerimis. Jasnya melekat pada tubuhnya, rambutnya sedikit berantakan. Tapi matanya… sama. Tajam. Mematikan.
“Aku tak bisa menahan diri,” ucapnya pelan.
Aku tak tahu harus marah atau takut.
“Kenapa kau terus melakukan ini?” tanyaku. “Apa kau senang melihatku bingung? Hancur? Terjerat?”
Dia masuk tanpa izin. Menutup pintu. Menatapku.
“Aku benci melihatmu bersama orang lain.”
Deg.
“Aku benci jika ada yang menatapmu.”
“Kau tidak berhak mengatakan itu!” bentakku. “Kau bahkan tidak mencintaiku!”
Dia menghampiriku.
“Aku tidak tahu apa itu cinta,” bisiknya. “Tapi aku tahu… aku tidak ingin kehilanganmu.”
Dia menyentuh pipiku. Lembut. Dan untuk pertama kalinya... sentuhan itu membuatku menangis.
Malam itu, dia tidak menyentuh tubuhku. Tidak seperti malam pertama kami.
Dia hanya duduk di lantai kamarku. Menatapku dalam diam.
“Ayahku membunuh ibuku,” ucapnya tiba-tiba.
Aku menoleh, terkejut.
“Dia kaya, berkuasa… tapi kejam. Ibuku hanya wanita penghibur. Ketika dia tahu ibuku hamil, aku...dia membuang kami. Tapi ibuku tidak pergi. Dia bertahan. Sampai akhirnya... mati bunuh diri.”
Aku menahan napas.
“Aku tumbuh membenci cinta. Karena cinta, ibuku mati. Karena cinta, aku jadi monster.”
Dia menatapku.
“Tapi sejak malam itu... kau mengganggu pikiranku. Aku tidak tahu kenapa. Tapi aku tidak bisa berhenti.”
Aku menutup mata.
Mungkin... ini awal dari sesuatu. Entah luka, entah cinta, atau keduanya.
Yang pasti, aku sudah masuk ke dunianya.
Dan jalan keluar... tak lagi terlihat.
Aku membuatkan teh hangat untuknya, dan kami duduk berdampingan di kasur kecilku.
Hening. Tapi tidak lagi menakutkan.
“Kenapa kau terus menolongku?” tanyaku akhirnya, menatap cangkir di tanganku.
“Karena aku ingin kau tetap ada,” jawabnya pelan. “Meski harus kubayar. Meski harus kupaksa.”
Aku menoleh. “Itu bukan cinta.”
“Aku tahu,” katanya datar. “Tapi aku tidak butuh cinta. Aku butuh kendali.”
Deg.
Dia menyesap tehnya perlahan, lalu menatapku dalam.
“Kau bisa pergi jika mau, Lana,” ucapnya tiba-tiba. “Aku tidak akan mengejarmu.”
Aku terdiam.
“Benarkah?”
Dia mengangguk pelan. “Tapi kau tahu kan... saat kau pergi, utang-utangmu akan kembali. Perlindunganmu lenyap. Dan orang-orang yang memburumu... tak sebaik aku.”
Ancaman halus itu membuat darahku membeku.
Aku sadar… Leon bukan hanya pria kaya. Dia punya jaringan. Pengaruh. Kekuatan di luar nalar.
“Jadi aku ini tawanan?” bisikku.
Dia tak menjawab. Tapi tatapannya menjelaskan semuanya.
Malam semakin larut. Hujan turun lagi, rintik-rintiknya menempel di jendela kamar.
Leon masih duduk di sisiku. Kali ini lebih dekat.
“Kau menggigil,” katanya. “Pakai ini.”
Dia membuka jasnya dan menyampirkan di pundakku. Kehangatannya menempel di kulitku. Aroma tubuhnya begitu dekat, menusuk hingga ke tulang belakangku.
“Aku tidak terbiasa... didekati seperti ini,” ucapku lirih.
“Seperti apa?”
“Dengan ketenangan... setelah kau menghancurkanku.”
Dia menunduk. Matanya terlihat rapuh sejenak.
“Maaf.”
Aku menoleh cepat. Tidak yakin dengan apa yang baru saja kudengar.
Leon… meminta maaf?
“Kenapa minta maaf?” tanyaku.
“Karena... saat kulihat tubuhmu malam itu, aku berpikir aku sudah menang. Tapi aku salah.”
Dia mengangkat tanganku, menggenggamnya erat.
“Aku tak tahu kenapa... tapi kau menanam sesuatu dalam diriku. Dan sialnya, aku tak bisa mencabutnya.”
Hatiku berkecamuk. Kata-katanya menyakitkan dan manis dalam waktu yang sama.
Aku ingin percaya dia tulus.
Tapi aku juga tahu, orang seperti Leon... bisa mengucapkan apapun yang dia mau. Dan membuat siapa pun percaya.
Menjelang subuh, dia pergi.
Tak ada ciuman perpisahan. Tak ada pelukan. Hanya satu kalimat sebelum dia melangkah ke luar pintu.
“Kau akan tahu, Lana… aku bukan hanya mimpi burukmu. Aku juga kenyataan yang tak bisa kau lupakan.”
Dan dia pergi, meninggalkan jejak basah di lantai dan jejak lebih dalam... di hatiku.
Esok paginya aku terbangun dengan perasaan campur aduk.
Di meja kamar, ada kotak kecil berisi ponsel baru.
Di layar, satu pesan tunggal:
Nomor ini hanya untukku. Jangan gunakan untuk yang lain.
L
Aku menatap ponsel itu lama. Tanganku enggan menyentuhnya. Tapi dalam diriku... ada bagian yang justru ingin membalas.
Aku tahu aku sedang dijerat.
Tapi kenapa... aku tidak benar-benar ingin lepas?