Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
014. Sosok Idola Baru
“Udah Ibu bilang, kamu jangan keluar kalau laki-laki itu datang ngamuk-ngamuk—”
“Ibu berdarah—”
“Dul, dengar Ibu ….”
Dul memandang tangan Dijah yang mencengkeram erat pergelangannya. Tangan ibunya kotor dan banyak pasir yang menempel. Wajah ibunya amburadul. Bagaimana Bara akan suka dengan ibunya kalau tampilannya begitu? Pikiran Dul kini dipenuhi kekhawatiran yang lain.
“Dul ….” Sentakan tangan Dijah membuat tatapan Dul kembali ke wajahnya. “Apa yang barusan kamu liat?” tanya Dijah.
“Bapak mukuli Ibu,” jawab Dul.
“Yang lain …. Kamu liat apa?”
Dul membalas tatapan ibunya dengan sungguh-sungguh. “Aku liat Om Bara dateng nolong Ibu,” jawabnya.
Ibunya cepat-cepat menutup mulutnya. “Jangan keras-keras, Mbah Wedok lagi sakit, kan? Sampai enggak denger ada keributan di luar. Lagian Mbah bakal murka kalau kamu sebut-sebut nama Om Bara.”
Ibunya mengurai rambut dan merapikan tergesa-gesa. Mengusap beberapa bagian wajah yang mungkin dirasa ibunya sakit dan terkena pukulan bapaknya tadi.
Dul melihat ibunya melirik ke kamar. “Om Bara di luar ….”
Perkataan Dul membuat Dijah tersentak dan tatapannya berpindah ke pintu yang tertutup. “Jangan keluar, kamu di dalem aja.”
Dan Dul kembali gelisah. Teriakan ibunya terdengar dari luar. Teriakan amarah bercampur panik itu semakin menambah kegelisahannya. Ia khawatir langsung ditinggalkan oleh Bara dan ibunya. Mau mengintip ke luar, tapi takut kalau bapaknya masih berada di sana. Dul berdiri mematung di balik pintu.
Terdiam beberapa saat, Dul tersentak karena ketukan di pintu. Cepat-cepat ia membukanya. Wajah Bara muncul. Dahinya berkeringat dan rautnya masih memerah. Walau pria itu tersenyum lebar, sisa amarahnya masih terlihat. Entah kenapa Dul senang melihatnya. Mengetahui kalau ada seseorang yang marah saat ibunya disakiti.
“Om tadi mau ngasi untuk kamu, dimakan, ya. Maafin Om, ya ….”
*Minta maaf untuk apa? Mukul laki-laki itu? Harusnya aku atau Ibu yang terima kasih. *
Bara mengacak rambutnya. Sorot mata pria itu semakin melembut. Sudah benar-benar berubah dari tatapannya pertama kali saat muncul.
“Makasih Om Bara. Pasti aku makan,” sahut Dul, membuka kantongan dan melongok isinya. Banyak jajanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Saat itu Dul paham maksud kedatangan Bara malam itu. Beberapa bungkusan cokelat terlihat sedikit kotor. Bara pasti mencampakkan bungkusan itu karena ingin segera menolong ibunya.
"Kunci pintunya. Tidur, ya ….”
Dul mengedarkan pandangannya ke luar pagar. Ibunya berdiri sedang menatap ia dan Bara. Lalu pandangan ibunya berpindah pada bapaknya yang mungkin terduduk di luar pagar. Ia tak bisa melihat bapaknya dari tempatnya berdiri.
Bara masih menatapnya untuk menunggu jawaban. Dul lalu mengangguk dan mundur untuk menutup pintu. Malam itu ia bisa memastikan dirinya akan mengikuti perkataan Bara. Mengunci pintu dan segera tidur. Pria itu memintanya melakukan hal yang benar. Ia harus membuat Bara yakin bahwa ia adalah anak penurut.
Setiap hari Dul memandang kalender untuk menghitung berapa lama lagi ia menjadi anak TK. Ia berniat menagih janji pada ibunya untuk tinggal bersama. Bukan berarti ia tidak menyayangi mbahnya. Ia menyayangi kedua orang tua ibunya itu dengan caranya sendiri. Ia akan tetap menyayangi mereka meski tak tinggal serumah. Ia hanya ingin di dekat ibunya.
Akhir-akhir ini Dul mendengar ibunya sudah jarang memulung. Ibunya mengatakan kalau Bara memberinya uang untuk meringankan belanja mereka. Hatinya senang, tapi ia belum merasa aman. Bara hanya seorang pria asing yang sedang dekat dengan ibunya. Bara bisa pergi meninggalkan ia dan ibunya kapan pun pria itu mau.
Setengah hari itu Dul hanya membongkar isi laci dan memakan cokelat yang diberikan Bara tempo hari. Mbah Lanang sampai penasaran karena ia berkali-kali menjenguk isi lacinya. Dan mata pria tua itu membelalak saat melihat jajanan yang sangat banyak.
“Kok, banyak? Dari siapa?”
Mbah Lanang melihat-lihat tulisan di kemasan cokelat cukup lama. Dul tahu mbahnya itu tidak bisa membaca. Jadi, melihat-lihat cokelat itu diartikan Dul sebagai keinginan pria itu untuk ditawari.
“Mbah, mau? Semua ini dikasi Om Bara. Katanya baru pulang dari Belanda. Ini oleh-olehnya. Cokelatnya enak, Mbah. Ini buat Mbah.” Dul menyodorkan dua cokelat batangan dengan kemasan mengkilap.
Dul merasakan perubahan pada sikap mbahnya. Ibunya lagi-lagi benar. Sepertinya Mbah Lanang ataupun Mbah Wedok tidak terlalu suka ibunya dekat dengan Bara. Atau lebih tepatnya … kedua mbahnya tidak menyukai ibunya dekat dengan lelaki mana pun. Mungkin mereka tidak mau terlibat masalah dengan bapaknya yang kasar dan sering menggila tiap kali mabuk.
“Enggak usah. Simpan sana. Kayak enggak pernah makan aja,” kata Mbah Lanang meletakkan bungkus cokelat sedikit kasar.
“Ya, aku cuma nawarin. Aku memang enggak pernah makan ini,” ucap Dul, memunguti cokelatnya dan kembali memasukkannya ke laci.
Itu sudah beberapa hari yang lalu. Hari itu ia sedikit tenang karena Mbah Lanang semakin betah di warung dan Mbah Wedok keluar rumah melalui pintu belakang dengan alasan memanggil suaminya. Dul berharap Mbah Wedok disapa tetangga dan berlama-lama mengobrol. Ia ingin menguasai rumah itu sendirian sebentar saja. Ingin bermalas-malasan tanpa ditanya-tanya yang biasa akan berujung diomeli.
“Dul,” panggil Dijah dari luar.
Dul meletakkan gambar-gambar Ultraman yang sedang diguntingnya, lalu menghambur ke pintu.
“Udah makan?” tanya Dijah langsung.
Mata Dul membulat memandang sosok di belakang ibunya. Bara muncul setelah sekian lama tak menampakkan hidung di sana. Ketertarikannya pada pria itu membuatnya menjadi sosok pemerhati. Bara yang selalu memakai kaos oblong di balik kemeja flanelnya. Jeans biru dengan sepatu semi boots yang terlihat kokoh. Juga tak ketinggalan sebuah ransel hitam yang selalu disandang pria itu ke mana-mana.
Perhatian Dul tercurah pada Bara hingga lupa dengan ibunya yang sudah duduk dengan sepiring nasi dan bersiap menyuapinya makan.
“Om Bara udah makan?” tanya Dul menatap Bara yang duduk di gawang pintu.
“Udah. Kamu makan yang banyak biar cepat besar.”
Iya, Om .... Aku bakal makan yang banyak biar cepat besar
Dul mengambil alih piringnya dan menyendokkan makanannya sendiri tanpa menunggu ibunya. Ia kembali melirik Bara yang terlihat sibuk dengan ponselnya. Pria itu duduk di lantai dengan setengah tubuhnya menghadap ke luar rumah.
“Om Bara ganteng, ya, Bu.” Dul memandang wajah ibunya untuk melihat reaksi. Di bawah gawang pintu, Bara mengubah posisinya menjadi setengah menghadap ke dalam rumah. Dul senang dengan reaksi pria itu.
“Iya …,” sahut Dijah.
Dul melonjak-lonjak di dalam hati. Tatapannya sibuk berpindah-pindah melihat wajah ibunya dan wajah Bara yang terlihat menahan senyum.
Setiap lagi sama-sama dengan Om Bara, Ibu terlihat lebih cantik dan ceria.
“Hari Sabtu kamu sekolah enggak?” Bara memutar duduknya untuk menatap Dul.
“Enggak, kenapa Om?”
Kayaknya mau diajak jalan-jalan ….
“Om mau ngajak jalan-jalan. Ke arena bermain yang ada di puncak. Mau?”
Bara terlihat menyimpan ponselnya dan kini menatap Dul menunggu jawaban. Saat itu Dul merasa bahwa ternyata masih ada pria yang menyukai ibunya dan disaat bersamaan menganggap keberadaannya. Detik itu ia merasa bahwa dirinya cukup berarti.
Bara menjelma menjadi sosok idola baru buat Dul. Semua sikap Bara itu dirasanya benar. Sedikit pasir di kemasan cokelat yang diberikan pria itu dengan mudah dimakluminya. Dul memakluminya. Sikap Bara dianggapnya sudah terlampau baik buat ia dan ibunya.
To Be Continued