Kepergok berduaan di dalam mobil di daerah yang jauh dari pemukiman warga membuat Zaliva Andira dan Mahardika yang merupakan saudara sepupu terpaksa harus menikah akibat desakan warga kampung yang merasa keduanya telah melakukan tindakan tak senonoh dikampung mereka.
Akankah pernikahan Za dan Dika bertahan atau justru berakhir, mengingat selama ini Za selalu berpikir Mahardika buaya darat yang memiliki banyak kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22.
Mahardika kembali merapatkan pintu kamar mandi saat melihat Za mengerucutkan bibirnya kesal. Kalau perempuan sudah kesal bakal panjang urusannya, begitu pikir Mahardika yang tengah mengulum senyum melihat ekspresi menggemaskan istrinya.
Selesai mandi dan juga bersiap, Mahardika serta Zaliva pun lanjut sarapan bersama, sebelum berangkat kerja.
"Mama dan papa kapan pulang, mas?." tanya Za, sepertinya wanita itu sudah merindukan mertuanya. Ya, mertua yang baik pasti akan dirindukan oleh menantunya.
"Mungkin empat hari mendatang, sayang."
Za pun Akhirnya mengangguk paham dan kembali melanjutkan pergerakannya memasukan suapan ke dalam mulutnya.
Setelah selesai sarapan mereka pun berangkat. Seperti biasa, setelah mengantarkan Za ke rumah sakit Mahardika kembali melanjutkan perjalanannya menuju perusahaan.
Setibanya di depan ruangan IGD, Zaliva menyaksikan perdebatan di antara seorang pria dan seorang wanita.
"Kenapa kamu tidak mengizinkanku bertemu dengan anakku, mas? Dia itu anakku, darah dagingku."
"Anakmu kau bilang? Kalau memang kau menganggapnya anakmu, lalu kenapa kau pergi meninggalkannya? Kenapa dulu kau pergi meninggalkan kami tanpa rasa iba sedikitpun? Kau pergi di saat anak kita masih membutuhkan kasih sayangmu, kalau kau lupa."
"Aku memang bersalah mas, tapi kamu juga tidak bisa bersikap seperti ini padaku, mas! Ayolah mas....Aku mohon Izinkan aku bertemu dengan anak kita! Sekarang dia sedang sakit, anak kita pasti sangat membutuhkan aku." ibu muda tersebut terus memohon dihadapan seorang pria yang disinyalir Za adalah mantan suaminya.
"Dulu kami memang sangat membutuhkan kasih sayangmu, tapi sekarang tidak lagi. Sebaiknya kau pergi dari sini! Bukankah dulu kau tega meninggalkan kami tanpa perasaan, lalu kenapa sekarang kau kembali dengan alasan perasaan seorang ibu. Jangan menodai kesucian kasih sayang seorang ibu dengan keegoisanmu!."
"Maaf, ibu....bapak..... mohon untuk tidak berdebat di rumah sakit karena itu bisa mengganggu ketenangan dan kenyamanan pasien lainnya." Dokter Kiki terlihat menghampiri keduanya dan meminta mantan pasangan suami istri tersebut untuk berhenti berdebat di sana. Sementara Za kembali melanjutkan langkahnya memasuki ruangan. Bukannya tidak ingin melerai perdebatan diantara keduanya, tapi saat Ini Za justru kepikiran dengan perjanjian serta syarat yang diajukan oleh Mahardika jika ia ingin berpisah.
Apa setelah ia mengandung dan melahirkan anaknya nanti Mahardika juga akan melakukan hal yang sama kepadanya, benar-benar menghalangi dirinya bertemu dengan darah dagingnya sendiri, mengingat Tempo hari Mahardika mengatakan hal itu jika ia memang ingin berpisah. Di mana Za tak boleh lagi bertemu dengan buah hati mereka, menyerahkan sepenuhnya hak asuh anak ditangan Mahardika selaku ayahnya.
"Apa aku sanggup berpisah dengan anakku? Apa aku sanggup menyerahkan sepenuhnya hak asuh anakku pada mas Dika, nantinya?." batin Za. membayangkannya saja sudah membuat da-da Za terasa sesak, seakan ada batu besar yang mengganjal di saluran pernapasannya.
"Apa aku batalkan saja perjanjianku dengan mas Dika? Tapi mas Dika tidak mencintaiku, bagaimana kami bisa hidup bersama selamanya tanpa adanya cinta?." lagi-lagi Za sibuk berbicara dalam hati, bahkan sapaan dari suster Hilda tak disadari oleh wanita itu.
"Apa kau yakin tidak memiliki perasaan apapun terhadap suamimu, Za?." tiba-tiba kalimat tersebut terlintas begitu saja dibenak Zaliva. Bohong, jika selama kebersamaan mereka hampir tiga Minggu ini Za tidak merasakan perasaan yang berbeda terhadap Mahardika, mengingat Mahardika selalu bersikap lembut padanya, terlebih sentuhan pria itu ketika menjamah tu-buhnya begitu lembut. Kalau pun aku memiliki perasaan terhadap mas Dika, bagaimana jika mas Dika justru mencintai wanita lain? Siapapun yang menikah dengan cara seperti ini pasti akan berpikir demikian, bukan? Begitu pula dengan Zaliva.
"Aku harus membicarakan masalah ini dengan mas Dika. Pokoknya aku tidak mau berpisah dengan anakku, jika suatu hari aku mengandung anaknya mas Dika, apapun yang terjadi. Sekalipun mas Dika tidak mencintaiku, aku tetap ingin bersama anakku." Membayangkan ada di posisi wanita tadi, Za pasti tidak akan sanggup, hingga wanita itu memutuskan untuk tetap mempertahankan rumah tangganya bersama Mahardika.
Baru kali ini Za merasa tak sabar jam dinasnya berakhir agar ia bisa segera bertemu dengan sang suami.
"Apa dokter Za berantem dengan tuan Mahardika?." Hilda bertanya-tanya dalam hati melihat sikap aneh Za.
"Apa dokter Za baik-baik saja?." pertanyaan Hilda sekaligus membangunkan Zaliva dari lamunannya.
"Aku baik-baik saja." Jawab Za dengan seulas senyum diwajahnya.
"Syukurlah... tadinya aku pikir dokter Zaliva dan tuan ganteng berantem. Soalnya aku lihat dokter Za seperti sedang kepikiran sesuatu." Hilda jadi tenang sekaligus merasa bersyukur karena ternyata dugaannya salah.
"Terima kasih sudah peduli padaku, Hilda. Di kota ini hanya kau temanku. Aku bersyukur, Tuhan mempertemukan aku dengan rekan kerja sekaligus teman sebaik dirimu." ungkap Za dari lubuk hati terdalam dan itu membuat Hilda tersenyum mendengarnya.
"Sama-sama dokter, Justru saya yang merasa bersyukur karena dokter mau berteman dengan saya."
Sesaat kemudian, keduanya mulai disibukkan dengan pekerjaan masing-masing.
Sekitar setengah jam berlalu, Za dikejutkan dengan kedatangan Omanya bersama dengan salah seorang wanita berpakaian baby sitter tengah menggendong seorang anak laki-laki berusia lima tahun. Anak itu tak lain adalah keponakan Za, anak dari kakak sepupunya, Abil.
"Tolong periksa kondisi cucu saya, badannya panas sekali, dokter!" Pinta Oma dengan wajah paniknya.
"Ada apa dengan Zaki, Oma?." tanya Za yang kini telah berdiri dihadapan Oma.
"Za ...Semalam Zaki menangis ingin es cream, Oma yang merasa kasihan akhirnya memberikannya. Hiks.....hiks ....hiks....." Oma sudah menangis karena mencemaskan kondisi cucunya. Oma tidak menyangka jika tindakannya yang memberikan es cream pada cucunya justru berakibat fatal seperti ini.
"Oma tenang...! Dokter sedang memeriksa kondisi Zaki, semoga Zaki hanya demam biasa." Za berusaha menenangkan Omanya itu.
"Apa mas Abil tahu kalau Zaki dilarikan ke rumah sakit?."
Oma mengangguk. "Oma sudah menghubungi mas mu, dan sekarang mas Abil sedang dalam perjalanan ke sini." jawab Oma. Di usianya yang sudah lebih dari tujuh puluh tahun, Oma masih terlihat bugar, Mungkin karena wanita itu rajin mengikuti senam lansia.
"Om sama Tante kamu sedang berada diluar negeri, ada urusan pekerjaan. Sudah hampir sebulan mereka di Singapore." jawab Oma di saat Za menanyakan keberadaan Papa Abimanyu dan mama Livia. Jika papa Abimanyu dan mama Livia tahu cucunya masuk rumah sakit, keduanya pasti langsung kembali ke tanah air saat ini juga.
"Bagaimana kondisi keponakan saya, dokter?." Za bertanya pada rekan sejawatnya yang memeriksa kondisi Zaki.
"Menurut hasil pemeriksaan sementara, sepertinya pasien mengalami tonsilitis hingga menyebabkan pasien demam tinggi. Pasien disarankan opname untuk memastikan apakah hanya mengalami tonsilitis atau ada penyebab lain yang menyebabkan pasien mengalami demam tinggi." jelas rekan sejawat Za setelah memeriksa kondisi Zaki.
"Baik, terima kasih dok."
"Sama-sama, dokter Za." Dokter wanita yang usianya sekitar lima tahun di atas usia Za tersebut lantas meminta perawat untuk memasang selang infus pada pasien.
Jangan lupa vote and ⭐⭐⭐⭐⭐ nya ya sayang-sayangku.... ramaikan cerita Mahardika dan Za dengan komentar kalian...!! 😘😘🥰🥰🥰🥰🙏🙏🙏
bener nih kata papa Okta,baru juga ditinggal sebentar udah sedih...
gimana nanti jika pisah beneran...