Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Savero yang Mencari Tahu…
Sepeninggal Jingga, Savero duduk sendirian di ruang kerjanya. Tumpukan berkas di meja hanya dipandanginya tanpa makna. Penanya berputar-putar di antara jari, namun pikirannya melayang entah kemana. Ia menghela napas berat, punggungnya menempel ke sandaran kursi kulit yang dingin.
Ada sesuatu yang janggal dari gadis itu. Keceriaannya terlalu mencolok, kepolosannya seperti dibuat-buat, tapi di balik itu… Savero merasakan ada lapisan lain yang Jingga sembunyikan rapat-rapat. Semakin dipikirkan, semakin kepalanya terasa panas.
“Apa sebenarnya yang dia sembunyikan…?” gumamnya lirih.
Tanpa banyak pertimbangan, Savero bangkit, meraih kunci mobil, dan keluar dari rumah. Entah kenapa, kali ini ia memutuskan untuk menuruti rasa penasarannya. Kalau terus dibiarkan, ia bisa gila sendiri.
Savero memarkir mobilnya tak jauh dari gang sempit di kawasan kumuh. Jalanan berdebu, rumah-rumah berdinding semen kasar, cat terkelupas, dengan jemuran pakaian menggantung di mana-mana. Bau gorengan dan got bercampur jadi satu. Jauh dari dunia ber-AC yang biasa ia tinggali.
Ia menunggu berjam-jam di dalam mobil hitamnya, kaca sedikit terbuka. Sesekali matanya melirik jam tangan. Seperti orang tolol, pikirnya sendiri, menunggu seorang gadis yang bahkan sering membuatnya kesal.
Akhirnya, sosok yang ditunggu muncul. Dari gang sempit itu, Jingga meluncur dengan motor butut berasap. Jok belakang penuh tumpukan kardus bekas yang sudah dilipat rapi dan diikat dengan tali rafia. Helmnya usang, jaket tipisnya terlihat lusuh.
Dahi Savero mengernyit; matanya menyipit. “Apa-apaan ini…”
Jingga tampak santai, bahkan sempat menyapa ibu-ibu penjual sayur di pinggir jalan, melambai pada anak kecil yang berlari-larian. Senyumnya hangat, matanya berbinar, seolah hidupnya sempurna tanpa beban.
Mobil Savero melaju pelan, menjaga jarak. Ia terus mengikuti motor itu sampai berhenti di sebuah warung kecil yang tampak seperti tempat penampungan kardus. Tumpukan kardus basah, botol plastik, dan karung-karung goni berserakan. Bau kertas lembap bercampur tengik plastik.
Jingga menurunkan kardusnya, lalu menyodorkannya pada seorang pria berkaus singlet lusuh. Pria itu menimbang sekilas, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang lima ribuan.
Savero hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Jingga menerima uang itu dengan kedua tangan, menunduk hormat, lalu tersenyum lebar. Ia bahkan menciumi lembaran lusuh itu seolah sedang memegang hadiah besar.
“Lima ribu rupiah… dan dia segitu bahagianya?” gumam Savero tak habis pikir. Kepalanya menggeleng pelan, seakan menolak logika.
Jingga kembali naik ke motornya. Sempat mogok sebentar, Jingga malah menepuk-nepuk setang motornya sambil berceloteh, “Ayolah, jangan ngambek dulu, habis ini aku traktir bensin, ya.”
Savero mendengus. “Dia bicara sama motor? Dasar gila.” Namun bibirnya tak sadar melengkung samar, entah geli atau kagum.
Motor itu terus melaju hingga sampai ke sebuah pasar tradisional. Hiruk pikuk langsung menyambut: teriakan pedagang, bau ikan asin, ayam hidup berkokok dari keranjang bambu, dan musik dangdut samar dari warung kopi.
Savero memarkir mobilnya tak terlalu jauh, cukup jelas untuk mengamati Jingga. Ia melihat Jingga membuka jok motornya, mengeluarkan sepatu boot hitam yang penuh goresan dan sudah lusuh, sepasang sarung tangan, dan topi lusuh. Semuanya dipakainya cepat, lalu ia mengikat rambutnya ke belakang.
Savero mengernyit. “Mau ngapain lagi dia?”
Jawabannya muncul tak lama. Jingga menghampiri sebuah truk besar yang sedang bongkar muat sayuran. Sopirnya tertawa kecil, memberi isyarat dengan dagu. Jingga mengangguk penuh semangat, lalu bergabung dengan beberapa gadis dan pemuda sebaya yang sudah lebih dulu sibuk memanggul karung-karung besar.
“Ayo Jingga, bantuin sini!” teriak seorang pemuda berkeringat, senyumnya lebar.
“Siap, Bos!” balas Jingga ceria. Ia meraih karung berisi kol yang ukurannya nyaris menutupi tubuh mungilnya. Dengan sedikit terhuyung, ia memanggulnya di pundak.
Savero membelalak. Karung itu jelas lebih besar dari tubuhnya, tapi gadis itu malah tertawa. “Beratnya minta ampun! Tapi gapapa, demi duit,” katanya, membuat teman-temannya ikut tertawa.
Bolak-balik ia membawa karung, sesekali bercanda dengan yang lain. Ada yang menyodorkan botol air minum padanya, ada yang menggoda ringan. Jingga membalas semuanya dengan tawa renyah, seolah kegiatan itu bukan beban, melainkan rutinitas penuh kebahagiaan.
Savero bersandar ke mobilnya, menatap tanpa berkedip. “Astaga… apa dia memang sangat butuh uang sampai harus melakukan ini? Atau… memang seperti ini kehidupannya?” suaranya nyaris tak terdengar, tapi wajahnya jelas diliputi rasa tak percaya.
Savero tak bergeser dari tempatnya bersandar. Matanya mengikuti setiap gerak Jingga yang tampak lincah mondar-mandir, menurunkan karung sayur, lalu kembali tertawa saat seseorang menggoda dengan candaan receh.
Waktu berjalan, truk sayur sudah kosong. Anak-anak muda itu lalu duduk bergerombol di lantai pasar yang sudah agak lengang. Kotak-kotak kayu dijadikan kursi seadanya. Dari kantong plastik, mereka mengeluarkan beberapa bungkus nasi, sederhana, masih hangat dengan aroma khas bumbu dapur yang semerbak.
“Udah, bagi rata aja, yang penting perut keisi,” kata seorang gadis berambut pendek sambil membuka bungkusan.
Jingga yang duduk bersila di lantai, tertawa renyah. “Eh, jangan ambil lauknya duluan ya! Biar kita bisa berbagi lauk.”
“Lah, isinya cuma telor ceplok, Jingga!” seru pemuda di sebelahnya sambil terkekeh.
Semua tertawa, Jingga ikut terkekeh. Ia membuka bungkusannya, terlihat nasi putih mengepul dengan sambal merah yang dioles seadanya, dan sebutir telor ceplok agak gosong di pinggirannya. Tangannya cekatan menyobek telor itu jadi beberapa bagian kecil, lalu membaginya ke kawan di kiri dan kanannya.
“Nih, cobain dikit. Enak, lho, gosongnya bikin kriuk,” ucapnya polos, membuat semua yang ada di sana kembali tertawa.
Savero yang berdiri agak jauh, di balik tiang besi kios, hanya bisa memperhatikan. Matanya menyipit, tidak habis pikir.
“Telor ceplok… dan dia masih bisa tertawa seperti itu?” gumamnya heran.
Jingga menyuap nasi ke mulutnya dengan lahap. Sesekali ia menggoda temannya yang makan terlalu cepat dan menahan tawa ketika sambal terlalu pedas hingga matanya berair. Wajahnya bersinar, polos, seolah tidak ada sedikit pun beban hidup.
Savero menyandarkan punggung ke tiang, menekan pelipisnya. Dunia yang ia lihat di depan matanya begitu kontras dengan kehidupannya. Di rumah, makanan mewah tersaji tiap hari: salmon panggang, steak empuk, wine impor. Tapi di sini, gadis itu tampak bahagia hanya dengan nasi bungkus dan telor ceplok.
“Apa dia benar-benar tidak merasa terbebani… atau dia hanya pintar sekali menyembunyikan lukanya?” pikir Savero dalam hati.
Mobil mewahnya yang terparkir tak jauh, kontras sekali dengan Jingga dan teman-temannya yang makan sambil jongkok di lantai pasar yang berdebu. Pemandangan itu membuat hatinya bergejolak, meski ia sendiri tak bisa mendefinisikan rasa itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Semalaman Savero tak bisa tidur. Bayangan Jingga yang memikul karung sayur dan tertawa lepas sambil makan nasi bungkus telor ceplok terus menari di kepalanya. Semua penilaiannya selama ini tentang gadis itu… ceroboh, konyol, tak sehat karena sering sekali makan mie instan… perlahan bergeser. Di matanya sekarang, gadis itu pekerja keras, kuat, tangguh.
Pagi itu, tanpa ragu, Savero kembali mengikuti motor butut Jingga. Kendaraan yang lebih pantas disebut rongsokan itu meraung pelan, sesekali tersendat karena mesinnya seperti ingin menyudahi hidup. Di bagian belakang, sebuah keranjang besar diikat seadanya dengan tali rafia, goyang ke kiri-kanan setiap kali motor melewati lubang jalan.
Berbeda dengan kemarin, kali ini Jingga tak memakai sepatu boot, sarung tangan, atau topi. Hanya celana jeans pudar dan kaos oblong gombrang dengan rambut digerai seadanya. Senyum merekah di wajahnya saat ia menurunkan keranjang besar itu. Tangannya yang kurus tampak kesulitan menahan beban berat, tubuhnya sampai sedikit oleng, tapi ia tetap bisa menurunkannya dengan wajah penuh semangat. Setelah itu, gadis itu masuk ke dalam pasar, lalu menghilang di sebuah tikungan sempit.
Savero mendengus pelan. “Brengsek… Jingga malah hilang.”
Ia menatap pasar di depannya, wajahnya tegang. Seumur hidupnya, Savero tak pernah benar-benar masuk ke pasar tradisional. Bau amis, tanah becek, sampah sayur yang berserakan, semuanya membuat bulu kuduknya meremang. Ia yang terkenal fobia kotor, harus menelan ludah. Tapi tekadnya pagi itu lebih kuat dari ketakutannya.
Ia membuka laci mobil, mengambil masker hitam, lalu memakainya. Kacamata hitam dipasang, menutupi sebagian wajah. Tubuhnya tegap, rapi dengan celana khaki dan kaos polo putih. Sepatu kulit branded yang biasa melangkah di lantai marmer kini menapak di tanah becek pasar. Dan seperti dugaan, kehadirannya langsung menarik perhatian.
“Eh, siapa tuh, kaya artis.”
“Bule kali ya, ganteng soalnya.”
“Pakai baju dan sepatu sebagus itu di pasar, astaga…”
Bisik-bisik terdengar dari kiri kanan. Beberapa pedagang sampai melongokkan kepala. Savero menunduk sedikit, tak ingin mencolok, lalu menyusuri gang sempit yang dipenuhi aroma rempah, terasi, dan keringat.
Hingga langkahnya terhenti.
Di pojok dekat tukang pecel sayur, Savero menemukannya.
Jingga duduk lesehan di atas tikar plastik, tepat di samping ibu-ibu penjual pecel yang sibuk mengulek sambal kacang. Di depannya ada tampah berisi aneka kue basah yang masih terbungkus plastik bening: klepon hijau dengan taburan kelapa, kue lapis warna-warni, nagasari, dan getuk.
Wajahnya ceria, senyumnya lebar. Tangannya lincah merapikan plastik kue yang terburai.
“Ayo, Bu, Cobain jajanannya. Baru aja dianterin sama tetangga saya, masih anget,” ucapnya penuh semangat sambil menyodorkan bungkusan.
Seorang ibu muda yang lewat menoleh. “Apa ada kleponnya, Nak?”
“Ada, Bu! Klepon isi gula Jawa asli. Begitu digigit, gulanya langsung lumer,” kata Jingga sambil membuka plastik dan menunjukkannya. “Harganya cuma dua ribu sebiji, Bu. Kalau ambil lima, bonus satu. Jadi hemat.”
Ibu muda itu tergoda. “Ya udah, ambil lima ya.”
Jingga sigap memasukkan klepon ke dalam kantong plastik kecil, lalu menyerahkannya dengan dua tangan, senyum tak lepas dari wajahnya. “Terima kasih, Bu. Semoga rezekinya lancar.”
Beberapa pemuda kuli angkut yang lewat juga berhenti. “Jingga ada kue lapis nggak? Buat cemilan nungguin truk.”
“Ada, Mas! Nih, kue lapis tujuh warna. Bisa dihitung lapisannya sambil nungguin truk sayur datang,” candanya ringan.
Tawa mereka pecah, Jingga ikut tertawa sambil membungkuskan kue.
Dari sudut tersembunyi, Savero berdiri mematung. Matanya menatap lekat gadis itu, seolah tak percaya dengan apa yang ia lihat. Jingga terlihat begitu… ceria. Padahal punggungnya kemarin baru saja memikul berkarung-karung sayuran, bahkan koyo masih terlihat menempel di tengkuknya, tapi kini ia sudah kembali mencari recehan. Ah… Savero jadi sedikit menyesal sering memotong gajinya Jingga.
Tapi entah kenapa, gadis itu terlihat begitu hidup. Ia tak sedang berpura-pura. Senyum itu nyata, tawanya lepas, matanya berbinar. Bukan ekspresi muram atau pura-pura ceria yang biasa ia tunjukkan di rumah.
Savero merasakan sesuatu meremas dadanya. Bukan sekadar rasa iba, tapi lebih dari itu.
“Kenapa kau bisa sebahagia itu dengan hidup seperti ini?” bisiknya pelan.
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya