Rubiana Adams, seorang perempuan jenius teknologi dan hacker anonim dengan nama samaran Cipher, terjebak dalam pernikahan palsu setelah dipaksa menggantikan saudari kembarnya, Vivian Adams, di altar.
Pernikahan itu dijodohkan dengan Elias Spencer, CEO muda perusahaan teknologi terbesar di kota, pria berusia 34 tahun yang dikenal dingin, cerdas, dan tak kenal ampun. Vivian menolak menikah karena mengira Elias adalah pria tua dan membosankan, lalu kabur di hari pernikahan. Demi menyelamatkan reputasi keluarga, Rubiana dipaksa menggantikannya tanpa sepengetahuan Elias.
Namun Elias berniat menikahi Vivian Adams untuk membalas luka masa lalu karena Vivian telah menghancurkan hidup adik Elias saat kuliah. Tapi siapa sangka, pengantin yang ia nikahi bukan Vivian melainkan saudari kembarnya.
Dalam kehidupan nyata, Elias memandang istrinya dengan kebencian.
Namun dalam dunia maya, ia mempercayai Cipher sepenuhnya.
Apa yang terjadi jika Elias mengetahui kebenaran dari Rubiana sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19. MELARIKAN DIRI
Hujan mulai turun deras. Rintiknya membentuk garis miring di kaca depan, mengaburkan pandangan dan menelan cahaya lampu jalan jadi coretan samar keemasan. Elias menggenggam kemudi erat, menatap lurus ke depan sementara Raven memantau cermin belakang dengan mata waspada. Dua mobil hitam itu masih mengikuti mereka, lampunya menembus kabut, jarak hanya sekitar seratus meter.
"Berapa jauh lagi pom bensin?" tanya Elias, suaranya tajam menembus denting hujan.
"Kurang dari satu mil!" jawab Raven cepat. Ia menatap GPS, lalu menoleh keluar jendela. "Ambil jalan kanan di perempatan berikutnya. Kita bisa masuk ke jalur sepi di pinggir kota."
Elias mengangguk, berbelok tajam ketika lampu lalu lintas menyala kuning. Ban mobil berdecit keras, membuat percikan air menyebar di udara. Sirene samar terdengar di kejauhan, bukan polisi, tapi suara mesin besar dari kendaraan pengejar.
"Gila," ujar Raven pelan. "Mereka tidak membuang waktu."
Elias tak menjawab. Matanya menyipit saat kilat menyambar langit, sesaat menerangi jalan berliku yang dikelilingi bukit rendah dan pohon cemara basah. Ia menurunkan kecepatan ketika tanda pom bensin muncul di depan, lampu neonnya berkedip dengan tulisan 'Gas & Go'.
Mobil mereka berhenti di sisi pompa yang kosong. Tanpa banyak bicara, Elias menyalakan mode parkir dan menatap Raven.
"Kita harus ganti mobil sekarang. Ingat kata Chiper, GPS-nya pasti sudah dilacak," kata Elias.
Raven mengangguk, segera keluar dari mobil. Hujan mengguyur deras, membasahi rambut dan jaket mereka dalam hitungan detik. Udara malam dingin menusuk, tapi adrenalin membuat tubuh mereka tetap bergerak cepat.
Mereka berdua menyapu pandangan ke sekeliling, di area parkir pom bensin hanya ada tiga mobil lain: sebuah truk pengantar barang, sedan tua warna merah, dan SUV hitam dengan pintu setengah terbuka di dekat minimarket kecil.
Elias mendekat, memeriksa sekeliling dengan cepat. "Pemiliknya?" tanyanya.
Raven mengintip ke dalam minimarket. Seorang pria paruh baya dengan seragam pengantar logistik sedang membayar di kasir, tampak sibuk dengan ponselnya.
"Dia. Kalau kita pinjam truknya-" ucap Raven menunjuk pria di dalam minimarket itu.
"Itu lebih mencolok." Elias menatap sedan merah di sisi kiri. "Yang itu saja. Kecil, tidak menarik perhatian."
Raven mengeluarkan perangkat kecil dari sakunya, lock pick yang ia modifikasi sendiri. Hanya butuh tiga detik sampai pintu mobil terbuka dengan bunyi klik halus.
"Aku tidak tahu sejak kapan asistenku justru memiliki pekerjaan sampingan sebagai pencuri mobil," canda Elias.
"Diamlah, kau tahu kalau menjadi asistenmu artinya harus jadi penjahat juga," gerutu Raven.
Elias segera masuk ke kursi pengemudi dengan dengusan kecil, sementara Raven menyalakan melihat nanar ke luar sana.
Suara mesin sedan tua itu bergemuruh pelan, sedikit tersendat tapi hidup. Elias menyalakan lampu depan dan memutar arah mobil keluar dari pom bensin.
Namun sebelum mereka sempat melaju jauh, Raven menatap cermin sisi dan mengumpat pelan. "Sial. Mereka tiba di sini!"
Dua mobil hitam meluncur dari tikungan jalan, lampunya memantul di genangan air. Suara ban dan raungan mesin mengguncang udara malam. Elias menginjak pedal gas dalam-dalam. Sedan merah tua itu melesat keluar, menembus jalanan becek yang mengarah ke selatan.
"Pegang erat!" seru Elias.
Raven menahan dashboard ketika mobil menukik tajam melewati tanjakan kecil. Di belakang, lampu dari dua mobil hitam terus mengikuti, semakin dekat. Satu dari mereka menyalakan sorot lampu jauh, menyilaukan kaca belakang.
"Kalau mereka sampai sejajar, kita habis," kata Raven sambil membuka tas dan mengambil pistolnya. "Aku akan-"
"Jangan tembak dulu!" Elias memotong cepat. "Kita masih di area penduduk. Aku tidak mau menarik perhatian. Dan juga akan bahaya kalau mereka tahu siapa kita."
Raven menahan napas, tapi tetap bersiap dengan pistol di pangkuan. Napasnya memburu. "Kau sadar tidak, kalau ini semua bisa saja jebakan?"
"Jebakan?"
"Ya," balas Raven cepat. "Kalau Death Eater tahu Darian membawa data itu, bisa jadi mereka sengaja biarkan file D-13 bocor untuk menarik siapa pun yang masih mencari jejaknya. Termasuk kita."
Elias terdiam sejenak. Ia tahu Raven mungkin benar. Tapi rasa amarah dan kehilangan yang telah ia pendam enam tahun terlalu besar untuk membuatnya berhenti.
"Kalau memang jebakan," katanya datar, "aku akan tetap menelusurinya. Aku harus tahu kenapa Darian mati."
Sedan mereka berbelok lagi, memasuki jalan tanah menuju hutan pinus yang basah. Pohon-pohon tinggi berbaris di kanan-kiri, seolah menutup dunia luar. Suara ranting bergesekan dengan mobil, menimbulkan bunyi mencicit yang menegangkan.
Raven melirik ke belakang. "Mereka masih mengikuti."
"Aku tahu." Elias menatap GPS kecil di ponselnya. "Ada jembatan tua di depan, menyeberangi sungai kecil. Setelah itu, kita bisa belok ke jalan logging, tidak ada kamera di sana."
"Dan kalau mereka tetap mengejar?" tanya Raven.
Elias menatap sekilas. "Maka kita buat mereka berhenti."
Raven menelan ludah, mengenal nada dingin di suara Elias. "Kau punya rencana?"
"Selalu," jawab Elias penuh keyakinan.
Sedan itu melesat ke arah jembatan kayu yang basah. Air sungai di bawahnya bergemuruh deras karena hujan, sementara kilat menerangi langit sekali lagi. Di belakang, dua mobil hitam mulai memersempit jarak, suara mesin mereka meraung seperti binatang lapar.
Saat mobil pertama lawan hampir sejajar, Elias tiba-tiba menginjak rem mendadak dan memutar setir ke kiri. Sedan mereka melintir setengah, membuat ban belakang menabrak pagar jembatan dan menghujani air ke udara. Mobil pengejar pertama tidak sempat mengerem dan menabrak sisi belakang sedan Elias, membuat suara logam beradu keras memenuhi udara malam.
"Sekarang, Raven!" teriak Elias.
Raven membuka jendela, mengarahkan pistol dan menembak ke arah ban depan mobil hitam itu. Dua tembakan, satu meleset, satu tepat sasaran. Mobil lawan berputar, kehilangan kendali, lalu menabrak pembatas jembatan dan terguling ke sungai di bawah dengan bunyi dentuman yang bergema panjang.
Mobil kedua segera melambat, mungkin untuk memastikan kondisi rekannya, memberi waktu bagi Elias dan Raven untuk kabur. Elias tak membuang kesempatan. Ia kembali menginjak gas, sedan mereka melesat melewati jembatan, meninggalkan jejak air dan asap.
"Kurasa aku harus bersikap lebih sopan padamu setelah ini. Takutnya diam-diam asistenku adalah ketua mafia," ujar Elias yang herannya masih sempat bercanda di situasi seperti ini.
"Elias, berhenti bercanda dan fokus saja ke jalanan!" seru Raven.
Elias ternyata lalu menginjak pedal gas untuk menaikkan kecepatan laju mobil.
Beberapa menit berlalu dalam diam, hanya terdengar napas berat mereka berdua dan deru mesin. Raven menatap ke luar jendela, wajahnya pucat tapi matanya masih fokus.
"Kau tahu mereka tidak akan berhenti," katanya pelan. "Kalau Death Eater benar-benar menginginkan file itu, kita hanya menunda kejar-kejaran ini."
Elias tetap menatap jalan, rahangnya mengeras. "Aku tahu. Tapi selama aku bernapas, aku tidak akan membiarkan Darian mati sia-sia."
Raven menarik napas panjang. "Elias, aku tahu kau ingin membalaskan dendamnya, tapi ini lebih besar dari sekadar kematian Darian. Project D-13 bukan proyek biasa. Mereka bisa saja masih melanjutkannya dan kalau itu benar, berarti ada lebih banyak korban di luar sana."
Elias menatapnya sekilas. Hujan mulai reda, hanya tersisa kabut tipis di udara. "Kau pikir Darian mati karena mereka takut dia membocorkan data ini?"
Raven mengangguk. "Dan mungkin karena dia tahu sesuatu yang lebih dalam. Mungkin tentang siapa yang memimpin proyek itu."
Keheningan turun kembali. Di luar, kabut bergulung seperti tirai, menelan cahaya lampu dari kejauhan. Elias melambatkan laju mobil, memastikan mereka tidak diikuti lagi.
"Kita tutup dulu pembicaraan tentang D-13 ini dan untuk sementara diam sampai situasi aman. Kita kembali ke Boston malam ini juga," kata Elias, tahu kalau ini ternyata sangat berbahaya dan mereka tidak punya kekuatan untuk melawan group besar saat ini.
"Pilihan bagus. Kita juga bisa berkompromi nanti tentang masalah ini dengan Chiper untuk menggali lebih dalam," setuju Raven.
Elias menatap lurus ke depan, matanya menyala dingin. Walau dalam hati ia baru menyadari kalau ada sesuatu yang aneh; kenapa Chiper sepanik itu? Jika karena uang, bukankah paniknya berlebihan?
antara kasian n seneng liat ekspresi Rubi.
kasian karena d bohongin kondisi Elias,seneng karena akhirnya Elias tau siapa Rubi sebenarnya.
😄
hemmmm....kira kira Ruby mo di kasih
" HADIAH ' apa ya sama Elias....😁🔥
tapi tak kirain tadi Elies pura² terluka ternyata enggak 😁
Elias tau Rubi adalah chiper,,hm
apa yg akan Rubi katakan setelah ini semua
Rubiiii tolong jujurlah sama Elias,apa susahnya sh.
biar xan jadi punya planning lebih untuk menghadapi si adams family itu,,hadeeeh
syusah banget sh Rubi 🥺
makin penasaran dgn lanjutannya