NovelToon NovelToon
Jodohku Ternyata Kamu

Jodohku Ternyata Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Office Romance
Popularitas:225
Nilai: 5
Nama Author: Yoon Aera

Rizal mati-matian menghindar dari perjodohan yang di lakukan orang tuanya, begitupun dengan Yuna. Mereka berdua tidak ingin menikah dengan orang yang tidak mereka cintai. Karena sudah ada satu nama yang selalu melekat di dalam hatinya sampai saat ini.
Rizal bahkan menawarkan agar Yuna bersedia menikah dengannya, agar sang ibu berhenti mencarikannya jodoh.
Bukan tanpa alasan, Rizal meminta Yuna menikah dengannya. Laki-laki itu memang sudah menyukai Yuna sejak dirinya menjadi guru di sekolah Yuna. Hubungan yang tak mungkin berhasil, Rizal dan Yuna mengubur perasaannya masing-masing.
Tapi ternyata, jodoh yang di pilihkan orang tuanya adalah orang yang selama ini ada di dalam hati mereka.
Langkah menuju pernikahan mereka tidak semulus itu, berbagai rintangan mereka hadapi.
Akankah mereka benar-benar berjodoh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yoon Aera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ikut Menjauh

Pagi itu, suasana lantai eksekutif Danantara Corp. terasa lebih sibuk dari biasanya. Suara telepon berdering, printer bekerja, dan langkah para staf bergegas di lorong.

Yuna datang tepat waktu, seperti biasa. Rambutnya diikat sederhana, wajahnya tenang meski semalaman dia juga sulit tidur. Dia sengaja menaruh tasnya di meja, menyalakan komputer, lalu fokus pada laporan bulanan, berharap bisa menghindari satu sosok yang sejak tadi memenuhi pikirannya.

Namun, nasib tak berpihak.

Begitu lift terbuka, dan dari dalam, pria itu keluar dengan jas abu-abu rapi, kemeja biru muda yang kontras dengan tatapan matanya yang dingin. Beberapa staf otomatis menunduk memberi salam.

“Yuna.” Suaranya datar, tapi cukup keras untuk membuat Yuna berhenti mengetik.

Dia menoleh, mencoba tersenyum profesional.

“Ya, Pak?”

“Ada yang perlu saya bicarakan. Sekarang!” Rizal memberi isyarat dengan dagu agar Yuna mengikutinya.

Beberapa pasang mata di sekitar mereka saling melirik, mencium ada ketegangan. Yuna berdiri, mengikuti langkah Rizal, tapi jaraknya ia jaga benar-benar aman. Begitu pintu tertutup, suasana langsung berbeda, sunyi, tapi padat dengan hawa yang sulit dijelaskan.

“Kamu sengaja nggak balas pesan semalam?” Tanya Rizal tanpa basa-basi, suaranya rendah namun jelas.

Yuna menunduk, pura-pura sibuk merapikan rok yang di pakainya.

“Maaf, saya… tertidur.”

Rizal memutar bola matanya malas, jelas tidak percaya.

Yuna terdiam. Dia tahu, jika membalas sembarangan, pria ini akan tahu semua kebohongannya.

Rizal mendekat satu langkah, menatapnya dalam.

“Kalau kamu ada apa-apa, bilang sama aku. Jangan bikin aku khawatir dan terus menerka-nerka...”

Yuna mengangkat wajah perlahan, bertemu tatapan itu dan untuk sesaat, dunia di luar ruangan seakan lenyap.

Rizal berdiri di depan meja, kedua tangannya dia masukkan dalam kantong celananya. Tatapannya tak lepas dari wajah Yuna yang kini terlihat ragu-ragu untuk bicara.

“Saya mampir ke apotek… beli salep sama perban.” Ucap Yuna akhirnya.

“Buat lutut yang kemarin, sama…”

Dia menarik napas, lalu menunduk.

“Bekas kena tumpahan kopi panas waktu di pantry.” Imbuhnya

Rizal mendekat, nada suaranya lebih rendah namun menekan.

“Kenapa nggak bilang dari kemarin?” Rizal meraih tangan Yuna yang kemarin sempat terkena tumpahan kopi.

Memang tidak parah tapi jejak kemerahan yang saat ini mulai berubah kecokelatan, masih dapat Rizal lihat dengan jelas.

“Bukan masalah besar.” Jawab Yuna cepat.

Rizal menatapnya lama, seperti mencoba membaca pikiran di balik sorot matanya.

“Bukan itu alasannya kamu terus menghindar dari aku, kan?”

Yuna terdiam, jari-jarinya meremas ujung blazernya. Dia tak berani menatap langsung.

“Yuna.” Suara Rizal tegas, namun bukan marah, lebih seperti khawatir.

“Kalau ada yang membuat kamu nggak nyaman… apalagi tentang hubungan kita, aku harus tahu. Jangan cuma diam lalu menjauh.”

Yuna tetap bungkam. Sementara itu, Rizal menghela napas panjang. Sejelas apapun ia membaca sikap Yuna, ia tahu memaksa hanya akan membuat perempuan itu semakin mundur.

Meski tak mendapat jawaban memuaskan, Rizal tetap mendekat dan berkata pelan,

“Lain kali kalau sakit atau terluka, sekecil apapun… kamu bilang ke aku. Mengerti?”

Yuna mengangguk kecil, masih tak berani menatap.

Rizal menatapnya sebentar lagi, lalu maju dan memeluk erat tubuh Yuna. Dalam hati, ia mengutuk rasa frustrasi yang menumpuk, bukan karena Yuna tak jujur soal luka-lukanya, tapi karena dia tahu ada sesuatu yang jauh lebih dalam membuat calon istrinya itu terus menjauh darinya. Dan dia bertekad, cepat atau lambat, dia akan menemukan jawabannya.

*****

Rizal berjalan keluar dari ruang kerjanya dengan langkah berat. Wajahnya masih sama, kusut dan penuh tanda tanya. Di koridor, Kevin yang baru saja datang membawa beberapa dokumen langsung menghentikan langkah ketika melihat ekspresi bosnya.

“Pak, ini laporan...”

“Taruh di meja saya.” Potong Rizal singkat.

Kevin menelan ludah. Ia tahu, kalau Rizal sudah berbicara dengan nada seperti itu, berarti suasana hatinya sedang tidak baik. Namun, sebelum ia sempat mundur, Rizal menoleh.

“Kev...” Panggilnya, nada lebih rendah tapi mengandung beban.

“Kamu kan cukup dekat sama orang-orang di kantor. Coba… perhatikan Yuna. Cari tahu kalau dia ngomong sesuatu, atau ada yang aneh sama sikapnya. Jangan mencolok.”

Kevin mengerutkan kening.

“Ada masalah, Pak?”

Rizal menghela napas, matanya menatap kosong sesaat.

“Ada. Tapi dia nggak mau cerita.”

“Baik, Pak. Saya akan coba cari tahu.” Kevin mengangguk pelan, mulai mengerti arah pembicaraan ini.

“Jangan sampai dia merasa diintai. Aku cuma… butuh tahu apa yang dia sembunyikan.” Ucap Rizal, kali ini lebih lirih, seolah berbicara pada dirinya sendiri.

Kevin mengangguk sekali lagi.

“Mengerti.”

Saat Kevin pergi, Rizal kembali masuk ke ruangannya, menutup pintu rapat-rapat. Dia bersandar di kursi, menatap layar komputer yang tak benar-benar ia lihat. Di kepalanya hanya ada satu pertanyaan.

Kenapa Yuna terus menghindar? Padahal aku sudah siap menunggu, selama apapun itu, asal dia mau tetap di sini.

*****

Langkah Kevin terhenti ketika pintu rooftop terbuka dan angin siang yang sejuk menerpa wajahnya. Dia sebenarnya hanya ingin mencari udara segar setelah pagi yang penuh laporan. Namun pandangannya langsung tertuju pada satu sosok di ujung taman kecil itu, Yuna.

Gadis itu duduk di bangku kayu, roti di tangan kiri, susu kotak di tangan kanan. Kepalanya sedikit tertunduk, pandangan menerawang jauh melewati pagar pembatas.

“Sendiri aja bu bos?” Tanya Kevin pelan sambil mendekat, tak ingin membuatnya terkejut.

Yuna menoleh sekilas, lalu tersenyum tipis.

“Bu bos, bu bos.” Sewot Yuna.

Kevin hanya terkekeh.

“Cuma mau makan di sini. Di kantin rame banget.”

Kevin duduk di bangku sebelahnya, memberi jarak sopan. Beberapa detik, hanya suara angin dan gemerisik daun yang terdengar.

“Kamu jarang kelihatan akhir-akhir ini.” Ucap Kevin hati-hati, mencoba membuka percakapan tanpa kesan menginterogasi.

“Sibuk… atau mungkin lagi pengen sendiri.” Yuna tertawa kecil, tapi terdengar hambar.

Kevin menatapnya sejenak, lalu berkata pelan.

“Kadang… pengen sendiri itu karena lagi ingat sesuatu yang nggak enak, ya?”

“Dulu… waktu sekolah, aku pernah dibenci banyak orang. Hanya karena mereka pikir aku… dekat sama seseorang yang mereka sukai.” Yuna terdiam, jari-jarinya meremas kemasan susu kotak.

Kevin mengerutkan kening. Ia tahu siapa ‘seseorang’ yang dimaksud, tapi memilih tidak menyebut nama.

“Mereka pikir aku sengaja nyari perhatian. Padahal… dia memang perhatian ke semua orang. Cuma karena aku ceroboh, aku kelihatan lebih sering… dibantu.”

Suara Yuna mulai melemah, seperti tenggelam dalam kenangan yang pahit.

“Sahabatku sendiri… ikut menjauh. Itu yang paling sakit. Dan… sekarang, aku takut… kejadian itu terulang.”

Kevin mengangguk pelan. Ia tak menekan Yuna untuk bercerita lebih detail, tapi di dalam hati, dia mulai memahami mengapa gadis itu seperti membangun jarak dengan Rizal.

“Yun...” Ucap Kevin lembut,

“Nggak semua orang di masa sekarang akan sama kayak orang-orang di masa lalu. Tapi… kalau kamu cuma diam, orang bisa salah paham lagi.”

Yuna menatapnya sejenak, lalu tersenyum tipis, seolah berterima kasih tapi tak berjanji akan mengubah apa pun.

“Makasih, Pak Kevin. Aku cuma… butuh waktu.”

Kevin mengangguk, meski hatinya agak berat. Ia tahu, cepat atau lambat, Rizal harus mendengar alasan ini, atau ia sendiri yang akan menyampaikannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!