NovelToon NovelToon
TERJEBAK DI DALAM PELUKAN MANIPULASI By NADA

TERJEBAK DI DALAM PELUKAN MANIPULASI By NADA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mengubah Takdir / Kelahiran kembali menjadi kuat / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) / Trauma masa lalu / Kekasih misterius
Popularitas:456
Nilai: 5
Nama Author: nandra 999

Sebuah kisah tentang cinta yang berubah menjadi jeruji. Tentang perempuan yang harus memilih: tetap dalam pelukan yang menyakitkan, atau berjuang pulang ke dirinya sendiri.
Terjebak di Pelukan Manipulasi menceritakan kisah Aira, seorang perempuan yang awalnya hanya ingin bermitra bisnis dengan Gibran, pria karismatik .

Namun, di balik kata-kata manis dan janji yang terdengar sempurna, tersembunyi perangkap manipulasi halus yang perlahan menghapus jati dirinya.

Ia kehilangan kontrol, dijauhkan dari dunia luar, bahkan diputus dari akses kesehatannya sendiri.

Ini bukan kisah cinta. Ini kisah bagaimana seseorang bisa dikendalikan, dikurung secara emosional, dan dibuat merasa bersalah karena ingin bebas.

Akankah Aira menemukan kekuatannya kembali sebelum segalanya terlambat?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nandra 999, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab - 14 Rumah yang Tidak Pernah Menjadi Rumah

Suara hujan mengguyur jendela kamar yang dingin itu, seperti irama yang menggali ingatan-ingatan lama dari benak Aira. Ia duduk diam di pojok ruangan, memeluk lututnya erat, seperti sedang mencoba mengikat semua rasa sakit agar tidak lagi keluar dan Mengqhancurkannya.

Ia ingat betul rumah masa kecilnya. Bukan tempat yang penuh tawa dan pelukan seperti rumah-rumah di film. Rumah itu dingin, bukan karena cuacanya, tapi karena kehadiran yang semestinya melindungi justru menjadi sumber ketakutan.

Ayah Aira—keras, penuh amarah, dan selalu merasa benar. Ibunya? Seperti bayangan yang menari di sudut dinding—selalu ada tapi tidak pernah benar-benar hadir. Aira tumbuh dengan luka-luka yang tidak terlihat. Pukulan bukan satu-satunya bentuk kekerasan. Kadang, diam dan pengabaian jauh lebih menyakitkan.

“Anak perempuan tidak usah banyak mimpi,” begitu suara ayahnya menggema dalam ingatan. “Tugasmu nanti ya jadi istri. Nurut. Nggak usah neko-neko.”

Kata-kata itu menancap dalam. Membentuk luka yang masih menganga hingga sekarang. Dan mungkin... itulah sebabnya Aira mudah percaya pada sosok seperti Gibran. Sosok yang awalnya terlihat kuat, melindungi, dan penuh perhatian—tapi ternyata hanya topeng.

Di dalam kamar Gibran yang kini sudah seperti penjaranya sendiri, Aira menulis yang Ia menuangkan semua ingatan masa kecilnya dalam tulisan. Satu per satu trauma yang selama ini ia pendam, ia tulis dengan jari gemetar. Tapi ada sesuatu yang berubah mqalam itu.

Aira sadar, selama ini ia tidak pernah membenci Gibran sepenuhnya—karena sebagian dirinya masih merasa bahwa ia layak diperlakukan seperti itu. Bahwa cinta memang harus dibayar dengan luka.

Tangisnya pecah. Tapi kali ini bukan karena ketakutan. Tangis itu seperti pembersihan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Aira ingin pulih. Bukan untuk Gibran. Bukan untuk membuktikan apa-apa pada orangtuanya. Tapi untuk dirinya sendiri.

“Kalau dulu rumah bukan tempatku, mungkin... aku bisa menciptakan rumah baru,” bisiknya pelan.

Rumah yang tidak lagi membuatnya takut. Rumah yang tidak dibangun dari kata-kata kasar, pengabaian, atau kekerasan. Rumah yang ia bangun dari keberanian, perjuangan, dan cinta untuk diri sendiri.

Dan dari sinilah semuanya dimulai—perjalanan Aira mencari arti rumah yang sebenarnya. Bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat ia bisa menjadi dirinya. Tanpa harus takut. Tanpa harus tunduk.

Hujan turun deras di luar, menciptakan irama samar yang mengetuk-ngetuk jendela kamar. Aira menatap kosong ke arah langit-langit, matanya sudah bengkak karena terlalu sering menangis. Di sebelahnya, layar ponsel menyala, menunjukkan halaman kosong dari aplikasi menulis yang baru ia unduh diam-diam.

Ia menghembuskan napas pelan, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih berdebar karena suara Gibran yang tadi siang sempat meninggi hanya karena Aira lupa menyiapkan kopi tepat waktu. Bukan hal besar sebenarnya, tapi dalam hubungan seperti ini, kesalahan sekecil apapun bisa berujung pada teriakan, tamparan, atau... keheningan yang menyiksa.

"Aku nggak bisa terus kayak gini…" gumam Aira lirih.

Tapi kata-kata itu sudah ia ulang ratusan kali dalam pikirannya. Dan tetap saja, kakinya tidak mampu melangkah pergi.

Dalam diam, ia menulis. Kata demi kata keluar seperti aliran air yang selama ini tertahan. Ia tulis tentang seorang anak perempuan yang selalu berharap rumah adalah tempat aman, tapi justru tumbuh dalam ketakutan. Tentang suara pintu dibanting ayahnya. Tentang ibunya yang hanya menunduk tanpa membela. Tentang malam-malam penuh isak diam karena tak ingin kedengaran.

“Aku tumbuh tanpa tahu apa itu cinta yang hangat. Tanpa tahu bagaimana rasanya dipeluk tanpa syarat.”

Tiba-tiba tangannya berhenti. Ada sesuatu yang mengganjal di dada. Ia mengingat kembali masa kecilnya yang dingin. Saat itu, usianya masih tujuh tahun ketika pertama kali melihat ibunya dipukul hanya karena makanan yang disajikan kurang asin. Aira hanya bisa berdiri membatu, tak paham mengapa ayahnya begitu marah. Dan sejak saat itu, ia belajar bahwa cinta sering datang bersama rasa takut.

“Apa aku memang ditakdirkan hidup seperti ini?” bisiknya.

Pikirannya melayang ke Gibran. Di awal, Gibran hadir bagai penyelamat. Pria dewasa yang perhatian, sopan, dan selalu tahu kata-kata manis untuk membuat Aira merasa berharga. Ia seperti seseorang yang bisa menambal luka masa kecil Aira. Tapi sekarang, Gibran tidak berbeda dari ayahnya. Bahkan lebih halus dalam menyakiti. Tidak selalu dengan tangan, tapi dengan kontrol dan manipulasi yang perlahan mengikis rasa percaya diri Aira.

Ia mulai kehilangan jati dirinya. Tak lagi punya hak menentukan apa yang ingin ia makan, pakai, atau lakukan. Semua harus sesuai dengan keinginan Gibran. Dan bila tidak, maka bersiaplah dengan omelan panjang, kata-kata merendahkan, bahkan sikap dingin berhari-hari.

Namun malam itu, ada sesuatu yang berbeda. Aira menatap layar ponselnya lagi dan melanjutkan tulisannya.

“Aku bukan gila. Aku hanya penuh luka. Tapi aku ingin pulih, bukan dimiliki. Aku ingin hidup, bukan hanya bertahan.”

Kalimat itu membuat tangisnya kembali pecah. Tapi kali ini tangis yang menandakan kesadaran. Ia mulai melihat ke dalam dirinya sendiri—mengapa ia selalu merasa tidak cukup baik, mengapa ia sulit mengatakan “tidak”, dan mengapa ia terus memberi maaf yang seharusnya tak lagi diberi.

Aira sadar, semua itu berakar dari masa kecil yang membuatnya percaya bahwa ia tidak layak dicintai tanpa syarat. Bahwa cinta harus dibayar dengan pengorbanan, luka, dan kepatuhan.

Tapi… tidak. Ia tidak ingin meneruskan warisan itu. Ia tidak ingin menjadi seperti ibunya yang hanya diam dan menerima. Ia ingin menjadi versi dewasa dari dirinya yang dulu, dan berkata:

“Maaf ya, Aira kecil. Maaf aku pernah diam. Tapi sekarang aku akan melindungimu.”

Ia mulai mencari cara untuk bisa mendapatkan penghasilan sendiri. Beberapa hari terakhir, saat Gibran tertidur, ia mencari informasi tentang pekerjaan freelance, jualan online, dan juga komunitas perempuan penyintas kekerasan.

Hanya dengan membaca kisah-kisah mereka, Aira merasa tidak sendirian.

Bukan hanya aku yang mengalaminya…

 batinnya.

Ia mulai menulis lebih serius. Cerita-cerita pendek tentang perempuan yang selamat dari hubungan toksik. Tentang anak-anak yang bertahan dari trauma rumah tangga. Tentang dirinya sendiri, yang perlahan ingin bangkit meski dunia seakan menertawakannya.

Setiap malam, Aira menulis diam-diam. Dan dari situ, ia mulai merasakan secercah kekuatan dalam dirinya. Walau belum bisa pergi hari ini, setidaknya ia sedang menyiapkan jalannya. Ia sedang membangun “rumah” baru, rumah yang tidak punya atap, tapi berisi keberanian. Rumah dalam dirinya sendiri.

Suatu malam, Gibran pulang dalam keadaan mabuk. Mata merahnya menatap Aira tajam, dan seperti biasa, omelan pun keluar. Aira hanya diam, bukan karena takut, tapi karena ia tahu—apapun yang ia ucapkan, tak akan didengar.

Tapi kali ini, Aira tidak menangis setelah Gibran tertidur. Ia menatap wajah Gibran yang terlelap di ranjang, dan dalam hati ia berbisik: “Waktuku akan tiba. Aku tidak akan di sini selamanya.”

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aira bisa memejamkan mata tanpa sesak. Ia merasa sedang berada dalam proses yang benar, meski lambat. Ia sedang menyusun kekuatannya, sedikit demi sedikit.

Esok paginya, ia bangun lebih awal dari biasanya. Ia menulis satu kalimat terakhir sebelum menyimpan draf ceritanya:

“Aku tidak punya rumah yang bisa kuceritakan dengan bahagia, tapi aku sedang membangunnya. Dari serpihan luka, dari sisa-sisa harapan.”

Dan itu cukup untuk hari ini.

Tapi Aira bukan tidak pernah mencoba pergi. Ia pernah, dan ia gagal.

1
gaby
Jgn2 Gibran pasien RSJ yg melarikan diri.
gaby
Di awal bab Gibran selalu mengatakan cm Gibran yg mau menerima Aira yg rusak. Dan kata2 Aira rusak berkali2 di sebutkan di bab pertama. Maksud Rusak itu gmn y thor?? Apa Aira korban pelecehan atau korban pergaulan bebas??
gaby
Smangat thor nulisnya. Ternyata ini novel pertamamu di NT y. Tp keren loh utk ukuran pemula, ga ada typo. Dr awal bab aja dah menarik, Gibran si pria manipulatif
Robert
Suka banget sama cerita ini, thor!
nandra 999: Thks yeah 🥰
total 1 replies
Gấu bông
Terinspirasi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!