Zahira terpaksa bercerai setelah tahu kalau suaminya Hendro menikah lagi dengan mantan pacarnya dan pernikahan Hendro di dukung oleh ibu mertua dan anak-anaknya, pernikahan selama 20 tahun seolah sia-sia, bagaimana apakah Zahira akan melanjutkan pernikahannya atau memilih bercerai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KZ 17
Zahira hanya memandangi kepergian adiknya dengan bingung. Dia belum sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud Zaenab—hanya satu hal yang kini jelas baginya: dia benar-benar telah tertinggal jauh dari dunia yang dulu begitu dicintainya.
Tak lama kemudian, Zaenab dan Zahid datang tergesa-gesa.
“Kenapa kalian datang berdua? Ada apa ini?” tanya Zahira heran.
“Kakak mau jadi penulis lagi, Ka?” tanya Zahid, menatap kakaknya penuh harap.
“Iya, tapi kayaknya susah. Kata Zaenab, kalau mau jadi penulis sekarang harus punya HP kayak dia,” ucap Zahira pelan, nada suaranya mengandung keraguan.
“Pakai, Ka... pakai punyaku,” ucap Zahid sambil menyodorkan ponselnya. “Menulislah, dan guncanglah dunia ini, Ka. Kasih paham mereka, Ka... apa arti menulis itu.”
Ucapannya terdengar sok puitis, tapi tulus. Zahira memandang adiknya itu, terdiam, hatinya bergetar oleh dukungan yang tak disangka-sangka.
“Terus kamu pakai ponsel mana?” tanya Zahira, bingung menerima kebaikan adiknya.
“Haha, aku ini bisnisnya jual beli ponsel bekas secara online. Malam ini aku nggak punya ponsel, tapi besok pasti sudah ada lagi,” ucap Zahid santai, penuh percaya diri.
“Terus... gimana cara pakainya?” tanya Zahira, menatap ponsel di tangannya dengan canggung.
“Aku, Ka!” seru Zaenab lantang. Tangannya terkepal ke atas, ekspresinya dramatis, seperti WS Rendra sedang membaca puisi.
“Aku, Ka… aku, Zaenab, yang akan mengajarkan kursus singkat padamu, Ka! Menulislah, Ka, dan guncanglah dunia!”
Zahira menatap keduanya, perasaan haru membuncah dalam dadanya.
“Kalian ini kesurupan apa sih…” ucapnya, setengah tertawa, setengah menangis, terharu melihat semangat yang ditularkan adik-adiknya.
Dan dimulailah babak baru dalam hidup Zahira. Ia benar-benar belajar dari nol menggunakan ponsel Android—dari membuat email, mengenal YouTube, hingga membuka akun Facebook, TikTok, dan Instagram.
“Hari ini Kakak bisa nonton apa saja—tips menulis online, cara menghasilkan uang dari tulisan... Sekarang sudah banyak videonya,” ucap Zaenab semangat, sabar membimbing kakaknya langkah demi langkah.
Zahira, yang memang cerdas secara alami, tidak membutuhkan waktu lama untuk menyerap semua pelajaran itu. Dalam hitungan hari, ia mulai memahami dunia baru yang selama ini tak pernah tersentuh olehnya. Perlahan tapi pasti, Zahira mengubah semua rencana hidupnya.
Ternyata dunia yang dulu ia pahami sudah sangat jauh berbeda. Dua puluh tahun menjadi istri dari seorang pejabat, walau hanya di tingkat rendah, seharusnya membuat Zahira lebih melek perkembangan dibanding adik-adiknya yang tinggal di desa. Tapi nyatanya, dua dekade itu telah menjadikannya seperti burung dalam sangkar—terkurung, dibatasi, dan nyaris lupa cara terbang.
,,
,,
Sementara itu, Adit tidak pulang ke rumah kosannya, melainkan menuju sebuah rumah besar milik orang tuanya. Saat ia tiba di gerbang dengan sepeda motor dan mengenakan jaket ojek online, seorang security mendekat dengan sikap waspada, bersiap untuk mengusirnya.
Namun begitu Adit membuka helmnya, suasana seketika berubah. Wajah yang tadinya penuh curiga langsung tergantikan dengan keterkejutan. Para security yang berjaga pun segera menundukkan kepala, memberi hormat penuh hormat. Aura dingin dan tegas Adit membuat siapa pun tak berani meremehkan meski penampilannya sederhana.
Tanpa berkata apa pun, Adit melangkah masuk—meninggalkan kesan bahwa di balik jaket ojek online itu tersembunyi kekuasaan dan identitas yang tak bisa dipandang sebelah mata.
“Tuan muda, silakan masuk,” ucap security sambil membungkuk hormat.
Adit hanya mengangguk singkat. Ia memarkir sepeda motornya dengan tenang, lalu menghela napas panjang, seolah menyiapkan diri untuk sesuatu yang besar.
“Mah... aku siap mengakhiri masa lajangku,” gumamnya lirih, namun mantap.
Dengan langkah penuh tekad, Adit melangkah menuju pintu rumah besar itu—tempat masa lalu, beban keluarga, dan keputusan hidupnya menanti untuk dituntaskan.
Tampak seorang wanita tua, rambutnya sudah memutih, sedang duduk memandangi taman ditemani oleh seorang perawat. Tatapannya kosong namun tenang, seolah menunggu sesuatu yang tak pasti.
Adit melangkah pelan mendekatinya. Perawat yang berada di sisi wanita itu segera menyingkir dengan sopan, memberi ruang bagi keduanya.
Dengan lembut, Adit mengusap pundak wanita tua itu.
“Ibu, aku pulang,” ucapnya lirih.
Perempuan itu—Miranda namanya—mendongak perlahan. Matanya yang mulai berkabut menatap wajah putranya beberapa detik, lalu alisnya berkerut tajam.
“Laras! Ambilkan Ibu tongkat! Akan Ibu pukul dia sampai tak bisa pergi lagi dari rumah ini!” serunya kesal, suaranya gemetar antara marah dan rindu.
Adit hanya tersenyum tipis. Ia tahu, kemarahan itu bukan benci—tapi luka karena ditinggalkan terlalu lama.
Adit melangkahkan kaki lebih dekat, lalu perlahan berlutut di hadapan ibunya. Dengan penuh hormat dan penyesalan yang tertahan, ia bersimpuh dan mencium kaki wanita yang telah melahirkannya.
“Ibu… maafkan aku,” bisiknya lirih.
Miranda terdiam. Matanya berkaca-kaca, tapi wajahnya tetap keras, menyembunyikan perasaan yang selama ini ia pendam. Tangannya yang gemetar tak segera menyentuh Adit, namun napasnya mulai berat, menandakan gejolak batin yang tak bisa disembunyikan lagi.
Di balik kemarahan dan kata-kata tajamnya, Miranda hanya seorang ibu yang terlalu lama menunggu kepulangan anaknya.
“Dasar anak nakal, mana istri kamu?” tanya Miranda dengan nada setengah kesal, setengah cemas.
“Ya belum punya lah, Bu,” jawab Adit santai tapi penuh hormat.
“Kalau belum punya istri, bisa-bisanya kamu pulang, ha?” ucap Miranda, menggelengkan kepala.
“Aku belum menikah, tapi aku sudah mau menikah, Bu,” balas Adit serius.
“Dari dulu itu saja jawaban kamu. Sudah Ibu bilang, jangan pulang sebelum bawa istri! Atau kamu sudah siap dijodohkan?” sahut Miranda, nada suaranya meninggi.
“Aku sudah menemukan wanita yang aku suka, Bu. Kalau aku gagal lagi, maka aku siap dijodohkan. Sekarang... Adit mau berbakti sama Ibu,” ucap Adit tulus.
Ia berdiri, lalu memeluk tubuh Miranda yang mulai rapuh dimakan usia. Miranda tak berkata apa pun, wajahnya tetap datar, tapi dari sudut matanya jatuh setetes air mata—diam-diam, tanpa suara.
“Jangan pergi lagi. Anak-anak kamu kewalahan mengurus perusahaan. Kembalilah. Kalau tidak, aku akan hibahkan semua perusahaan ke orang lain,” ucap Miranda lirih tapi tegas.
“Tenang, Bu... Adit sekarang sudah kembali. Dan Ibu harus sehat, ya,” jawab Adit sambil mempererat pelukannya—sebuah janji yang lahir dari penyesalan, cinta, dan awal dari pengabdian yang tertunda.
,,
Sementara itu, Hendro seharian penuh disibukkan dengan negosiasi bersama seorang bos tambang. Bos tambang itu meminta bantuannya untuk mengurus perizinan tambang galian C. Padahal, lokasi yang diajukan merupakan kawasan rawan—jika digali, bisa memicu banjir ke wilayah sekitar. Namun, karena kualitas tanahnya bagus dan letaknya strategis, bos tambang tetap bersikeras ingin membuka tambang di sana. Sejumlah uang pun sudah disepakati sebagai imbalan di bawah meja.
Ponsel Hendro tiba-tiba berdering.
“Gimana, Dro?” tanya suara Hermawan, atasannya, dari seberang.
“Lokasinya rawan, Pak,” jawab Hendro hati-hati.
“Dia berani ngasih berapa?” tanya Hermawan cepat.
“Saya patok satu meter, Pak,” jawab Hendro. 'Satu meter' artinya satu miliar rupiah.
“Mentok di angka 800. Kalau nggak mau, nggak usah diurus,” balas Hermawan tegas, lalu sambungan langsung terputus.
Hendro menghela napas. Ia berjalan keluar dari hotel dengan wajah lelah. Namun saat melewati lobi, langkahnya terhenti. Matanya menangkap sosok yang sangat ia kenal.
“Ratna...?” gumam Hendro pelan, menyebut nama istri barunya.
Ratna tampak sedang duduk di sofa lobi hotel, mengenakan pakaian mewah dan tertawa bersama seorang pria asing. Seketika raut wajah Hendro berubah—campuran heran, curiga, dan tanda tanya besar mulai berkecamuk dalam pikirannya
Pa lagi gk Ada cctv dan bekingan km akn kalah zahira.
sebagai orang Awam dan baru hrse diam dulu jng nantangin terang terangan.
kl dah lama dan tau kondisi lingkungan br lah gerak.
kl dah gini km bisa apa.😅.