NovelToon NovelToon
Pernikahan Palsu Dadakan

Pernikahan Palsu Dadakan

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Identitas Tersembunyi
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Volis

Adriella menjalani hidup penuh luka dalam balutan kemewahan yang semu. Di rumah milik mendiang ibunya, ia hanya dianggap pembantu oleh ayah tiri dan ibu tirinya. Sementara itu, adik kandungnya yang sakit menjadi satu-satunya alasan ia bertahan.

Demi menyelamatkan adiknya, Adriella butuh satu hal, warisan yang hanya bisa dicairkan jika ia menikah.

Putus asa, ia menikahi pria asing yang baru saja ia temui: Zehan, seorang pekerja konstruksi yang ternyata menyimpan rahasia besar.

"Ini pasti pernikahan paling sepi di dunia,” gumam Zehan.

Adriella menoleh pelan. “Dan paling sunyi.”


Pernikahan mereka hanyalah sandiwara. Namun waktu, luka, dan kebersamaan menumbuhkan benih cinta yang tak pernah mereka rencanakan.

Saat kebenaran terungkap dan cinta diuji, masihkah hati memilih untuk bertahan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13. Proyek Velveta

Suasana kantor pusat PT. Bintang Serasi Textile terasa lebih sibuk dari biasanya. Telepon di meja resepsionis terus berdering, beberapa staf keluar masuk ruang rapat dengan ekspresi gugup. Di salah satu sudut lantai tiga, Adriella sedang mengecek ulang lembar kontrol produksi di tangannya ketika suara khas dan dingin terdengar dari arah belakang.

“Adriella!”

Ia menoleh. Suara itu, serak dan penuh tekanan, milik Bastian, ayah tirinya, sekaligus pemilik perusahaan tempat ia bekerja dengan status serba tanggung. Adriella menegakkan tubuh.

“Ya, Pak?” ucapnya sopan.

“Ke ruang kerja saya. Sekarang,” perintahnya tanpa basa-basi.

Tanpa banyak tanya, Adriella mengikuti langkah pria itu menyusuri lorong menuju ruang kerjanya. Sekretaris Bastian buru-buru menyingkir begitu melihat keduanya datang.

Begitu pintu tertutup, Bastian melempar sebuah map tebal ke atas meja kerjanya. “Buka.”

Adriella membuka map tersebut perlahan. Di sana tertulis logo dan nama besar yang langsung membuat napasnya tercekat: Velveta, perusahaan pakaian premium yang hanya bekerja sama dengan vendor terpilih.

“Mereka menghubungi kita dua hari lalu. Minggu depan, tim utama mereka akan datang ke sini untuk meninjau bahan produksi. Jika semua sesuai, kita dapat kontrak jangka panjang,” kata Bastian sambil menyilangkan tangan.

Mata Adriella masih menatap halaman pertama dengan sedikit tak percaya. Velveta adalah perusahaan yang sangat selektif, ia tahu karena dulu sempat membaca liputan khusus tentang sistem kerja sama mereka yang ketat. Mereka tidak hanya melihat kapasitas produksi, tapi juga inovasi desain dan keahlian tim kreatif.

“Kenapa Bapak menunjukkan ini pada saya?” tanyanya hati-hati.

Bastian mengerutkan kening. “Karena kamu akan menjadi perwakilan kita dalam tahap awal.”

Adriella membelalak. “Saya?”

“Dengar baik-baik,” potong Bastian tegas. “Kamu bekerja di bagian bahan dan kontrol desain. Kamu tahu alur produksi lebih dari siapa pun yang sekarang masih aktif di bawah, dan meski saya benci mengakuinya, kamu punya kepala yang tajam. Saya ingin kamu siapkan dua hal: satu, proposal bahan untuk produk musim panas Velveta. Dua, sketsa kasar model kain dengan teknik cetak lokal. Tiga hari.”

“Tiga... hari?” suara Adriella tercekat. “Pak, ini—”

“Jangan berargumen, Adriella,” potong Bastian tajam. “Kalau kamu gagal, kita kehilangan kesempatan besar. Dan kamu tahu apa artinya.”

Ia tahu. Gagal di mata Bastian bukan sekadar mengecewakan. Itu bisa berarti pemecatan, atau sesuatu yang akan tidak menyenangkan akan menimpanya.

“Akan saya kerjakan, Pak,” ucapnya akhirnya.

Bastian menatapnya lama. “Pastikan kamu tidak mempermalukan nama perusahaan ini.”

Dan tanpa menunggu tanggapan, ia sudah menunduk kembali pada layar laptopnya, menyiratkan bahwa pertemuan telah selesai. Adriella keluar dari ruangan itu dengan tangan mengepal erat di sisi tubuhnya, gugup, tapi juga nyala semangat kecil mulai menyala dalam dadanya.

Ini mungkin satu-satunya kesempatan untuk menunjukkan bahwa ia bisa melangkah lebih jauh.

🍁🍁🍁

Dua jam setelah pertemuannya dengan Bastian, Adriella duduk di ruang kerja lantai dua, ruang kecil yang dulunya hanya digunakan untuk menyimpan arsip. Di depannya terhampar lembar-lembar kertas desain, contoh kain, dan referensi produk musim panas dari berbagai klien lama. Kepalanya penuh, tapi ada bara kecil semangat yang menyala.

Ia tahu ini bukan sekadar tugas. Ini adalah ujian.

Namun ketenangan itu tak bertahan lama. Suara langkah hak tinggi terdengar mendekat. Pintu terbuka tanpa ketukan.

"Wah, rajin sekali," suara itu meluncur dengan nada sarkastik yang tak asing.

Tante Rika.

Wanita itu berdiri di ambang pintu dengan setelan blazer mahal berwarna gading dan rambut disanggul sempurna. Di tangannya, sebuah tablet menyala. Wajahnya tersenyum, tapi mata itu tak menyembunyikan amarah.

"Kamu tahu, kerja sama dengan Velveta seharusnya ditangani oleh saya. Itu bagian dari divisi saya. Tapi entah kenapa suami saya malah... menyelipkan kamu." Nadanya merayap seperti racun.

Adriella menatapnya, mencoba tetap tenang. "Saya hanya menjalankan tugas, Bu. Pak Bastian yang memerintah langsung."

"Oh tentu saja. Kamu selalu patuh, ya? Selalu tampak, tidak bersalah," sindir Rika, melangkah masuk. Ia mengambil selembar sketsa Adriella dan mengangkat alis.

"Kamu sungguh percaya ini bisa membuat Velveta terkesan? Naif sekali."

"Kalau Ibu punya saran, saya terbuka mendengarnya," ujar Adriella hati-hati.

Rika meletakkan kembali kertas itu dengan senyum menyeringai. "Tentu. Bahkan saya punya beberapa bahan dan referensi lama yang mungkin bisa kamu gunakan. Aku akan minta staf mencarikannya. Jangan sampai kamu kehabisan ide dan mempermalukan nama keluarga kami."

Adriella tahu betul bahwa setiap 'bantuan' dari Rika selalu punya harga.

🍁

Benar saja, satu jam kemudian, seorang staf membawa map cokelat berisi dokumen dan sketsa lama dari gudang arsip. Rika bahkan menyertakan catatan kecil dengan tulisan tangannya:

"Ini jauh lebih aman daripada ide-ide mentahmu. Pakailah dengan bijak."

Adriella menatap dokumen itu lama. Ada yang tidak beres. Kertas-kertas ini tampak, usang. Beberapa bahkan pernah ditolak klien. Ia segera menyisihkan map itu ke samping dan kembali fokus pada rancangannya sendiri.

Tapi di sudut matanya, ia tahu: perang diam-diam telah dimulai.

Dan ia tidak boleh kalah.

🍁🍁🍁

Malam sudah turun saat rumah kembali sunyi. Lampu-lampu lorong menyala redup, hanya menyisakan cahaya temaram yang mengalir dari sela pintu-pintu kamar. Dari dapur, aroma hangat sup jagung dan ayam kukus masih samar tercium.

Alessia baru saja selesai makan malam bersama Bi Nani dan sedang berjalan menuju kamarnya, namun sebelum ia sampai di kamarnya dia harus melewati kamar Adriella.

Dia berhenti dan matanya menoleh ke arah kamar Adriella. Cahaya dari balik celah pintunya masih menyala.

"Tok... tok... tok..."

Alessia mengetuk perlahan. "Kak?"

Dari dalam terdengar suara samar. "Hmm? Masuk aja, Les."

Alessia mendorong daun pintu. Ia mendapati Adriella duduk di depan meja kerja kecil, dikelilingi kertas-kertas desain, kain perca, dan beberapa sketsa yang tergantung di dinding. Gadis itu membungkuk, menulis sesuatu sambil sesekali merobek lembar coretan lama.

"Kamu belum makan, ya?" tanya Alessia pelan. Biasanya di malam hari mereka akan malam bersama, tapi hari ini tidak.

Adriella tidak menoleh. "Nanti, aku makan habis ini."

Alessia menghela napas. Ia tahu persis apa arti 'nanti' dari bibir kakaknya. Kadang bisa berarti satu jam, kadang tidak makan sama sekali.

"Kak, kamu udah kerja dari sore. Kamu lupa makan lagi?"

"Aku nggak lupa, Les. Cuma, aku pengen beresin konsep ini dulu. Besok aku harus kasih draft pertama ke Pak Bastian."

Alessia melangkah pelan mendekat, menatap lelah yang tersembunyi di balik bahu tegak kakaknya. Matanya bergerak ke arah lembaran sketsa yang tertata rapi di sebelah kanan meja. Ia tersenyum tipis, meski ada kekhawatiran dalam tatapannya.

"Tunggu di sini ya. Aku ambilkan makanan dulu," katanya sebelum Adriella bisa mencegah.

"Les, nggak usah. Kamu baru sembuh. Istirahat aja."

"Aku cuma ke dapur. Nggak berat, kok."

Dan sebelum bisa dibantah lagi, Alessia sudah keluar dari kamar, menuju dapur. Bi Nani yang sedang merapikan piring-piring sempat menatap heran saat gadis itu membuka tudung saji dan menyiapkan satu piring nasi hangat, sup, dan tumis brokoli. Tak lupa satu gelas air putih dan sendok yang diletakkan di atas serbet kecil.

"Untuk Nona Adriella?" tanya Bi Nani lembut.

Alessia mengangguk. "Dia belum makan malam, jadi aku ingin membawakannya."

Bi Nani tersenyum dan mengusap pelan bahu Alessia. "Kamu memang adik yang baik."

Dengan hati-hati, Alessia membawa nampan kecil itu kembali ke kamar kakaknya.

Adriella tidak bisa lagi menolak permintaan Alessia, untuk sementara dia menyingkirkan pekerjaannya dan mulai makan.

1
Mar lina
up lagi thor
biar tahu kelanjutannya
Mar lina
coba orang tua Zehan
menyelidiki tentang menantunya
yg blm mendapat restu...
pasti bakal kaget...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
emak sama anak
sama" gak tahu malu...
padahal mereka cuma numpang hidup...
yg punya kendali & peran penting adalah pemilik sah nya...
lanjut thor ceritanya
Mar lina
ya ampun bara...
semoga Pak Bastian
menendang kamu...
setelah melihat bukti...
Mar lina
semoga Bastian
murka terhadap Bara
setelah menerima buktinya...
lanjut thor ceritanya di tunggu up nya
aku sudah mampir...
dan baca sampai part ini...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!