Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.
Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.
Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.
Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12: Kedatangan Zevian
Pagi itu, Zevian telah bersiap dengan setelan santainya—kemeja linen berwarna krem yang digulung rapi di bagian lengan, dipadukan dengan celana panjang berpotongan ramping dan jam tangan kulit di pergelangan kirinya. Ia berdiri di hadapan cermin besar yang terpasang di sudut kamarnya, memandangi bayangannya sendiri. Jemarinya membenahi kerah kemeja, lalu tersenyum tipis ketika menatap wajah tampannya yang tegas dan tubuh proposional hasil rutinitas kebugaran yang disiplin.
Setelah merasa penampilannya cukup, ia melangkah keluar dari kamar pribadi. Suasana di dalam penthouse terasa hening dan mewah, dinding kaca memantulkan cahaya matahari pagi yang hangat. Zevian menuruni anak tangga spiral berbahan marmer dengan langkah tenang namun hati-hati, seperti seseorang yang tengah mempersiapkan diri untuk sebuah keputusan besar.
Map berwarna kuning yang berisi biodata Nayara, yang diberikan Aditya kemarin, masih tersimpan di ruang kerjanya. Ia telah membacanya semalam, bahkan mengulanginya beberapa kali. Semakin ia memahami sosok Nayara, semakin kuat keyakinannya untuk mengejar wanita itu—bukan sekadar keinginan, tapi sebuah keputusan yang mulai mengakar. Daripada menerima pilihan yang ditentukan orang tuanya atau kehilangan jabatan yang telah ia perjuangkan, menikahi Nayara terasa seperti jalan tengah yang masuk akal. Terlebih lagi, Aditya pun mendukung niat tersebut.
Namun, di balik keyakinan itu, terselip keraguan. Apakah yang ia rasakan terhadap Nayara adalah cinta? Ataukah hanya obsesi semata, lahir dari luka masa lalu yang belum sepenuhnya sembuh? Sosok wanita dari masa lalunya masih sesekali hadir di benaknya—membayangi dan menyisakan perih yang dalam diam tetap ia bawa.
Tangannya kini sibuk menyiapkan kopi di mesin pembuat kopi otomatis di dapur modern yang minimalis. Jarinya menekan beberapa tombol, lalu menyentuh layar sentuh pada mesin, memilih jenis seduhan yang diinginkan. Aroma biji kopi segar mulai menguar memenuhi udara, memberikan sentuhan hangat di tengah pagi yang sunyi. Sambil menunggu seduhan selesai, Zevian melangkah ke ruang keluarga dan menyalakan proyektor besar yang menempel di langit-langit ruangan.
“System Stell, turn on the main screen,” ucapnya santai namun tegas.
Beberapa detik kemudian, sistem pintar rumah merespons dengan suara lembut yang khas, lalu layar proyektor menyala, menampilkan berita terbaru seputar dunia bisnis dan investasi. Setelah beberapa saat, Zevian mengangkat tangan dan berkata.
“System Stell, switch to the business news channel.” Layar proyektor berganti menampilkan siaran yang lebih spesifik sesuai perintahnya.
Wajah Zevian tetap fokus pada berita yang sedang disampaikan, namun sesekali matanya melirik ke arah mesin kopi yang mulai mengeluarkan suara halus tanda proses seduhan hampir selesai.
Ketika aroma kopi semakin menguat, terdengar suara pintu apartemen otomatis yang membuka dengan lembut. Pandangan Zevian langsung teralihkan ke arah pintu masuk, di mana seorang pria dengan tubuh tegap dan wajah yang amat dikenalnya melangkah masuk dengan santai — Aditya.
Pria itu adalah satu-satunya orang yang memiliki akses lebih luas ke apartemen pribadinya, setelah orang tuanya, Valen dan juga Mega. Zevian tidak tampak terkejut, hanya mengangkat alis sedikit sebagai tanda pengakuan, sambil mengambil cangkir kopi hangat dan menyeruputnya perlahan, menikmati rasa pahit dan aromanya yang menenangkan.
"Morning, Ze," ujar Aditya dengan wajah santai, lalu duduk di sofa yang empuk dan mulai menatap layar proyektor yang masih menyala.
"Bawa makanan?" tanya Zevian sambil berjalan membawa cangkir kopi yang baru saja selesai dibuatnya, langkahnya tenang namun penuh percaya diri.
"Makan di kantor saja," jawab Aditya tanpa terburu-buru, nada bicaranya tetap santai seperti biasa.
"Aku tidak masuk kantor, Dit. Ada urusan," sahut Zevian sambil menyeruput kopi, kakinya disilangkan dengan elegan saat ia duduk di samping Aditya.
"Pantas saja pakaianmu berbeda. Mau menemui my Angel?" goda Aditya dengan senyum kecil di bibirnya.
"Iya. Oh ya, ada jadwal apa untukku di kantor hari ini?" tanya Zevian santai, matanya tetap tertuju pada layar, namun nadanya tetap penuh rasa ingin tahu. Aditya mengangkat bahu dengan santai, senyum tipis mengembang di sudut bibirnya.
“Aku tidak begitu yakin, Ze. Kamu lebih baik langsung tanya Mega saja. Dia yang selalu memegang kendali jadwalmu.” ujar Aditya yang membuat Zevian mengangguk perlahan, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku jas dengan gerakan tenang. Duduk kembali di sofa, ia menyibakkan jari-jarinya di layar sentuh, mencari kontak Mega.
“Baiklah, aku akan menghubunginya sekarang.” balas nya di sertai dering singkat terdengar, kemudian suara Mega yang familiar dan ceria memenuhi ruangan.
“Halo, Ze! Ada apa?” tanya Mega di sebrang sana, Zevian menampakkan senyum tipis di wajahnya, suaranya tetap terkontrol tapi hangat.
“Aku ingin memastikan jadwalku hari ini. Apa ada meeting penting atau agenda lain yang harus aku hadiri?” ujar Nya yang membuat Mega tertawa ringan, penuh keceriaan yang mengendurkan ketegangan suasana.
“Hari ini memang ada meeting pukul 10 pagi, lalu presentasi pada pukul 3 sore. Tapi aku dengar kamu tidak masuk kantor?” tanya nya yang membuat Zevian mengangkat alis, menjawab dengan suara lembut.
“Ya, ada urusan pribadi yang harus kuselesaikan hari ini, jadi aku akan atur waktu sendiri.” Ujar nya yang membuat Mega berseru pelan, seakan berbicara kepada teman dekatnya.
“Kalau kamu mau, aku bisa coba mengatur ulang jadwal meeting agar tidak mengganggu urusanmu.” ujar nya dan Zevian tertawa kecil, santai namun tetap serius.
“Itu bagus... terimakasih," ujar nya sembari mematikan sambungan telponnya. Setelah menutup telepon, Zevian menatap Aditya dengan tatapan penuh arti, disertai sedikit senyum.
“Jadi hari ini aku punya ruang untuk menentukan langkah sendiri.” ujar nya yang membuat Aditya membalas dengan tawa ringan. Keduanya kembali memandang layar proyektor besar yang memancarkan cahaya lembut, menampilkan berita bisnis terkini, suasana ruangan terasa hangat namun penuh dengan konsentrasi.
“Ya sudah, serahkan urusan kantor padaku. Dan selamat berjuang untuk wanita itu,” ujar Aditya sembari terkekeh pelan. Ia menyandarkan punggungnya ke sofa dengan santai, lalu tanpa ragu mengambil cangkir kopi milik Zevian yang masih menyisakan setengah isinya. Dengan tenang, ia menyeruput dari gelas yang sama—tanpa sedikit pun rasa jijik.
Zevian hanya meliriknya sekilas, tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Ia sudah terbiasa berbagi seperti itu dengan sahabatnya, dan ini bukan pertama kalinya. Keduanya memang memiliki hubungan yang lebih dari sekadar mitra bisnis—mereka tumbuh bersama, melewati banyak hal hingga membentuk kepercayaan yang kuat.
“Pesankan makanan. Aku lapar,” ucap Zevian seraya menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke sofa, matanya masih tertuju pada layar proyektor yang terus memutar siaran berita. Aditya mengangguk tanpa suara, jemarinya mulai lincah menggesek layar ponsel. Cahaya dari layar memantul lembut di wajahnya, membuat ekspresinya terlihat lebih fokus. Setelah beberapa detik, ia bersuara,
“Selesai.” Ia lalu menoleh pada Zevian, kali ini dengan nada yang lebih serius. “Oh ya, sudah kamu baca semua yang aku temukan tentang dia?” lanjut nya yang membuat Zevian menoleh perlahan, sorot matanya tenang namun menyiratkan sesuatu yang dalam.
“Ya… dan aku semakin tertarik padanya. Aku tidak tahu ini cinta, obsesi, atau hanya pengalihan dari perasaan kecewaku di masa lalu.” Nada suaranya terdengar pelan, nyaris seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Pandangannya kembali lurus ke depan, menatap proyektor yang menampilkan headline berita terbaru. Suara dari layar seolah menjadi latar alami yang menyelimuti percakapan itu, membuat atmosfer ruangan terasa hidup namun tetap tenang.
“Kita hanya perlu waktu untuk melihatnya. Yang penting, kamu harus membuat dia berada dalam lingkunganmu dulu sebelum orang lain mengambilnya. Seiring waktu, cinta akan menjawab dengan sendirinya.” ujar nya yang membuat Zevian menarik napas perlahan, lalu berkata.
“Aku mungkin akan menikahinya.” Suaranya datar, tapi jika didengarkan lebih saksama, ada getar halus yang mengindikasikan keraguan sekaligus keyakinan yang bertabrakan di dalam dirinya. Aditya memandangnya dengan tenang, kemudian mengangguk tulus.
“Langkah yang baik. Aku mendukungmu, apa pun itu.” balas Nya, sedangkan Zevian hanya menatap sahabatnya tanpa berkata apa-apa. Tidak ada senyum, tidak ada anggukan. Tapi sorot matanya sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ia menghargai dukungan itu—lebih dari yang bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Beberapa menit berlalu. Aroma kopi yang tersisa di udara kini bercampur dengan wangi tipis kayu dari furnitur dan sentuhan maskulin khas ruangan itu. Di sela-sela suara dari layar proyektor, keheningan sejenak membuat percakapan mereka meredup… sampai akhirnya Aditya kembali membuka suara.
“Ngomong-ngomong, kamu sudah dengar kabar tentang Karmila Group? Mereka resmi menyatakan bangkrut kemarin sore.” tanyanya santai, satu kaki disilangkan ke atas paha satunya, wajahnya setengah menoleh ke arah Zevian.
“Akhirnya juga jatuh, ya?” ujar nya dengan alis terangkat, dan Aditya mengangguk.
“Terlalu agresif ekspansi, tapi pondasi finansialnya lemah. Mereka pikir bisa kejar kita di sektor properti premium dengan modal investor dadakan.” balas nya.
“Dan tidak tahu kapan harus berhenti. Sudah kukira sejak mereka mulai ambil alih proyek Marina Heights itu." Zevian menyeruput sisa kopinya, kali ini dengan senyum tipis yang samar.
“Yup, dan parahnya lagi… mereka tidak bayar penuh ke subkontraktor. Sekarang banyak yang bawa masalah itu ke ranah hukum.” Aditya menggeleng pelan, matanya menatap layar proyektor yang masih memutar berita bisnis—seolah mengonfirmasi apa yang baru saja ia katakan.
“Kalau kamu jadi aku, kamu akan beli aset-aset bekas mereka?” tanya Zevian pelan, seolah melempar bola ke arah Aditya, hal itu membuat Aditya berpikir sejenak, matanya menyipit.
“Kalau harganya masuk akal, iya. Tapi bukan untuk dikembangkan. Lebih ke... mengamankan supaya tidak jatuh ke tangan orang yang salah.” Ujar nya yang membuat zevian mengangguk pelan.
“Strategi pertahanan,” gumam Zevian pendek, Aditya hanya mengangguk sambil mengangkat cangkir kosong.
“Seperti biasa. Kita tak perlu ikut bersaing di lumpur. Kita cukup beli lumpurnya.” ujar Nya yang membuat Zevian terkekeh pelan, nada tawanya rendah dan dalam.
“Kau terdengar seperti ayahku.” balas Zevian.
“Yah… mungkin karena kita sudah cukup lama di medan ini. Kalau terus-menerus mengandalkan insting tanpa hitung kalkulasi, kita bisa seperti mereka.” jawab Aditya pelan.
“Dan itu bukan kita. Aku tidak ingin berada di titik di mana aku harus menjual idealismeku demi bertahan hidup.” Zevian menatap lurus, pandangannya kembali tajam. Aditya memiringkan kepala sambil menyunggingkan senyum kecil.
“Tenang saja. Kita tidak akan jatuh. Selama kamu tetap waras dan aku tetap di sebelahmu.” ujar nya yang membuat mereka tertawa kecil bersamaan. Bukan tawa lepas, tapi lebih pada tawa yang menyiratkan pengertian akan beban dan dunia tempat mereka berdiri.
Dan saat itulah, bel pintu otomatis berbunyi nyaring, memecah keheningan pagi di penthouse mewah itu, menandakan pesanan makanan mereka telah tiba.
Tak lama kemudian, Bi Arum membawa makanan yang dipesan Aditya masuk ke ruang tamu dengan langkah tenang dan sigap. Aroma harum dari hidangan itu langsung menggoda indera penciuman mereka. Mereka pun duduk bersama di sofa empuk, menikmati santapan dengan suasana hangat penuh keakraban.
Setelah beberapa saat menikmati makanan, percakapan mengalir ringan di antara mereka, namun akhirnya waktu memanggil. Dengan langkah mantap, kedua pria tampan itu beranjak dari tempat duduk mereka dan turun menuju lobi apartemen.
Mereka berpisah untuk masuk ke dalam mobil masing-masing, karena tujuan yang berbeda menanti. Aditya kembali ke urusan kantornya yang sibuk, sementara Zevian menatap jauh ke depan, niatnya bulat untuk menyusul Nayara yang menurut penelusuran Aditya dan Giant sedang berada di Bogor.
Meski perjalanan itu jauh dan penuh risiko, Zevian tidak peduli. Dalam hatinya yang gelisah, ada tekad kuat untuk menemui wanita yang telah berhasil membuat pikirannya kacau balau, dan perasaannya bergejolak tanpa henti.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya Zevian sampai di kawasan menuju villa milik Nayara. Mobil sport Ferrari miliknya tampak sedikit kesulitan berbelok di jalanan yang menurutnya cukup sempit dan berliku. Rasa menyesal langsung menghinggapi dirinya karena membawa mobil mewah dengan bodi rendah ke tempat seperti ini tanpa perhitungan matang. Seharusnya, dia membawa kendaraan lain yang lebih cocok dengan kondisi jalan yang kurang bersahabat tersebut. Namun, setelah dipaksa, walaupun harus merelakan sedikit lecet dan goresan di bodi mobilnya, Zevian berhasil mencapai belokan terakhir.
Di sana, terlihat jelas villa mewah bergaya klasik milik keluarga Harrison, berdiri megah dengan paduan arsitektur yang anggun dan kokoh.
Jangan tanya bagaimana dia tahu tentang tempat ini. Tentu saja, semua informasi itu ada dalam map yang diberikan Aditya kemarin. Bahkan, hal-hal pribadi yang seharusnya tak layak diketahui oleh orang asing seperti dirinya pun tercatat dengan rinci.
Dengan penuh keyakinan, Zevian masuk ke halaman villa. Gerbang besi yang kokoh sudah terbuka lebar, memudahkan dia untuk melangkah masuk tanpa hambatan. Dia mengambil ponsel dan kacamata hitam dari dashboard mobil, lalu keluar dari Ferrari kesayangannya dengan sikap tenang namun tegas.
Mata Zevian menatap sekeliling, mengagumi suasana yang tenang dan nyaman di tempat itu. Air jernih kolam renang di depan villa mengalir tanpa henti, seolah-olah mendapat pasokan langsung dari sumber pegunungan yang segar. Udara pagi yang segar menyambutnya, membawa rasa damai yang kontras dengan gejolak hatinya.
Dengan langkah mantap, dia berjalan menuju pintu utama villa, lalu mengetuk beberapa kali dengan harapan ada yang membuka. Namun, hingga tiga kali ketukan, tidak ada jawaban sama sekali yang menyambutnya.
Hening.
Sunyi.
"Akh... sial, ke mana semua orang?" gerutu Zevian dengan nada gemas, suaranya yang biasanya tenang kini sedikit terpecah oleh rasa frustrasi. Ia mengerutkan kening, matanya menatap sekitar villa yang sunyi tanpa tanda kehidupan. Saat pria tampan itu masih asyik menggerutu, tiba-tiba pintu utama villa terbuka perlahan dari dalam.
Seorang wanita berumur, dengan rambut yang mulai memutih dan kerutan halus di wajahnya, muncul di balik pintu. Senyumnya kecil namun hangat tersungging di bibirnya, memberi kesan ramah meski usianya tak lagi muda. Dengan suara lembut, ia bertanya.
"Mencari siapa, Mas?"Tanya nya pelan yang membuat Zevian yang masih dalam mood kesal langsung membalas dengan nada tajam.
"Siapa kamu? Bukankah ini villa milik keluarga Harrison?" Tanya nya.
Wanita itu tidak tersinggung, hanya tersenyum kecil lagi seolah sudah terbiasa menghadapi orang seperti Zevian yang arogan. Ia melangkah keluar sedikit lebih leluasa dan berkata dengan santun.
"Masnya benar, ini memang rumah milik keluarga Harrison. Tapi sekarang, Bibi ingin tahu, Mas siapa dan ada keperluan apa?" Tanya nya memastikan, namun Zevian tidak mau basa-basi, suaranya berubah menjadi lebih sarkas.
"Di mana Nayara? Saya akan mengajaknya pulang. Dia calon istri saya." Ujar nya pelan.
"Oh, calon suaminya Non Nayara, ya? Silakan masuk, Mas. Non Nayara sedang keluar sebentar, tapi mungkin akan segera kembali. Masuk saja dulu, ingin dibuatkan apa selama menunggu? Makanan atau minuman?" Tanya nya.
Zevian melangkah masuk ke dalam villa. Pandangannya mengelilingi ruang tamu yang tertata rapi, dengan perabotan klasik yang memancarkan aura mewah dan keanggunan. Furnitur-furnitur antik yang ada di sana mengingatkannya pada ibunya, Dira, yang memang sangat menyukai koleksi barang-barang antik mewah.
"Untuk apa Nayara keluar?" Tanya Zevian yang membuat wanita tua itu, bernama Bi Sri, mengikutinya dan dengan suara ramah berkata.
"Beliau mengantarkan sahabatnya, Mas. Sudah pergi dari tadi, mungkin akan kembali sebentar lagi." Ia memperhatikan Zevian yang kini duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu. Zevian menatap Bi Sri dengan tatapan selidik dan bertanya.
"Sahabat? Pria atau wanita?" Tanya nya yang membuat Bi Sri terdiam sejenak, ragu-ragu, kemudian menjawab jujur.
"Ehm... pria, Mas." Jawab nya yang membuat Wajah Zevian berubah seketika, sorot matanya menjadi tajam penuh kecurigaan.
"Siapa?" Lanjut nya dengan nada sedikit tinggi hal itu membuat Bi Sri menundukkan kepala, suaranya bergetar kecil, seolah takut menghadapi tatapan pria itu.
"Saya tidak tahu, Mas. Saya tidak kenal. Jadi mas nya mau minum apa?" Tanya nya.
"Eum.. sudahlah.. bawakan cocktail saja," ucapnya santai tanpa beban. Cocktail memang salah satu minuman favoritnya setelah vodka dan wine. Setelah berkata begitu, dia segera membuka ponselnya, pura-pura sibuk dan tak terlalu memperhatikan ekspresi kebingungan sang asisten rumah tangga itu. Maklum saja, Bi Sri tentu tak mengerti jenis-jenis minuman mahal seperti itu. Ia menggaruk kepalanya dengan ragu, lalu bergumam pelan.
"Cocktail?" katanya setengah bingung, setengah pasrah.
"Sudah sana, tunggu apalagi," kata Zevian dengan nada sedikit mendesak saat menyadari Bi Sri masih ragu-ragu untuk beranjak. Dengan berat hati, Bi Sri akhirnya melangkah pergi. Saat berjalan keluar, ia bergumam sendiri dengan nada tak paham.
"Masnya ini kenapa, ditawarin makanan dan minuman malah minta yang aneh?" Ia celingukan, mencoba memahami ucapan Zevian yang tiba-tiba aneh di telinganya.
Setelah Bi Sri pergi, Zevian kembali duduk dan mulai mengamati sekeliling villa dengan tatapan jeli. Sejak pertama kali memasuki ruangan itu, kesan yang ia dapat sangat jelas: klasik dan elegan. Banyak barang antik tersebar di berbagai sudut, guci-guci dan ornamen-ornamen khas yang biasa dijumpai pada bangunan peninggalan orang Belanda atau Eropa kuno.
Namun, di antara semua keindahan itu, satu hal justru membuat Zevian gagal fokus.
Matanya tertuju pada sebuah foto yang terpampang di dinding—foto seorang wanita yang tak lain adalah mantan kekasihnya. Tangan Zevian tiba-tiba terkepal dengan kuat, urat-urat putih menonjol di lengan kekarnya. Suaranya bergumam penuh amarah.
"Mengapa foto wanita itu ada di sana?" Tanya nya pada dirinya sendiri, dengan langkah mantap, dia mendekati foto itu, menatap lama wajah wanita yang tersenyum di dalam bingkai foto yang tak terlalu besar itu. Tatapannya penuh pertanyaan dan rasa penasaran yang bercampur amarah.
"Apa hubungannya dengan Nayara?" ucapnya lirih, kemudian dengan cepat ia mengeluarkan ponselnya dan memotret foto tersebut. Dia berniat menunjukkan foto itu pada Aditya nanti, berharap mendapat jawaban dari sahabatnya.
...
Sementara itu, di luar villa, tak lama kemudian Nayara turun dari mobil dengan langkah pelan. Matanya segera tertuju pada mobil sport merah yang terparkir di depan rumahnya. Sebuah perasaan tidak enak langsung merayapi dadanya. Ia pun mengintip dari balik pintu depan dengan hati-hati, menahan napas agar tidak ketahuan.
Betapa terkejutnya Nayara ketika melihat sosok Zevian duduk santai di ruang tamu villa miliknya. Hanya Razka dan Vina yang tahu tentang tempat ini, namun pria itu bisa mengetahuinya, bahkan hal-hal terkecil yang seharusnya menjadi rahasia.
Hatinya bergejolak, campur aduk antara takut dan kesal. Dengan cepat, dia berlari menuju dapur, lalu menapaki pintu samping villa untuk mencari Bi Sri. Dengan suara setengah berbisik, penuh kecemasan, ia bertanya.
"Psttt... Bi Sri," panggil Nayara, takut Zevian tiba-tiba menyadari keberadaannya.
"Iya, Non, akhirnya kembali juga," jawab Bi Sri sambil mendekat dengan senyum hangat.
"Kenapa laki-laki itu bisa ada di sini?" bisik Nayara, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Oh, pria tampan itu?" Bi Sri tersenyum tipis, seolah sudah biasa menghadapi situasi seperti ini.
"Iya, Bi. Siapa yang menyuruh dia masuk?" tanya Nayara, nada putus asanya terdengar jelas. Ia sudah berusaha keras menjauh dari pria itu, namun kini malah ia yang dikejar.
"Iya, Bibi yang menyuruh nya masuk, Non," jawab Bi Sri dengan tenang, tanpa rasa bersalah. Lalu Nayara menatap tajam ke arah Bi Sri, kesal tak tertahankan.
"Lah, kenapa malah bibi suruh dia masuk? Dia bukan siapa-siapa, kenapa malah dipersilakan?" Ujar Nayara kesal.
"Maaf, Non. Bibi tidak tahu kalau dia bukan siapa-siapa. Dia bilang kalau dia calon suami Non, jadi Bibi biarkan saja," ucap Bi Sri sambil menunduk, wajahnya penuh rasa bersalah. Ia benar-benar tak menyadari telah melakukan kesalahan. Nayara mengernyit, merasa tak percaya.
"Mana mungkin, Bi? Bi Sri pernah lihat aku punya pacar atau tunangan yang aku bawa ke sini? Aku bahkan belum punya pacar. Mana mungkin tiba-tiba punya calon suami?" Ujar nya yang membuat bi Sri Kembali bicara dengan suara lembut dan penyesalan.
"Bibi benar-benar tidak tahu, Non. Tolong maafkan Bibi." Ujar nya yang membuat Nayara menghela napas, mencoba menenangkan diri.
"Dia bukan siapa-siapa ku, Bi. Aku juga belum mau menikah." Ujarnya kesal yang membuat Bi Sri hanya mengangguk penuh hormat.
"Non, bibi benar-benar tidak tahu. Tolong maafkan bibi." Ujar nya yang membuat Nayara terdiam dan akhirnya mengangguk, dia tahu kebingungan itu karena dia pun tidak menyangka jika Zevian akan mengatakan hal seperti itu. Nayara mengusap wajahnya, menyerah pada situasi yang makin rumit.
"Yasudah, Bi. Biarkan saja. Aku akan pergi lagi. Tujuanku datang ke sini adalah untuk menghindarinya, tapi semua usaha itu sia-sia. Aku berusaha melawan traumaku dan rela tinggal di sini, tapi dia malah mengejarku sampai ke mari," ucap Nayara dengan nada kecewa yang dalam. Bi Sri hanya bisa terdiam, merasa bersalah atas keteledorannya.
"Maaf, Non. Bibi benar-benar tidak tahu kalau pria itu bukan siapa-siapa buat Non Nayara. Bibi sungguh minta maaf," kata Bi Sri dengan tulus. Nayara mengangguk pelan, memilih untuk diam. Semua sudah terjadi, dia tak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dengan langkah pelan dan hati yang berat, Nayara beringsut menuju halaman depan villa. Setiap gerakannya dipenuhi kecemasan, seolah berusaha mengendap-endap agar tak ada yang menyadari kepergiannya. Suasana sekitar sunyi, hanya terdengar suara gemerisik daun yang tertiup angin, menambah kesunyian yang mencekam di dadanya.
Namun sayang, sejak Nayara tiba tadi, Zevian sudah memperhatikannya dengan seksama. Pria itu memilih diam, menunggu dengan tenang di tempatnya, seperti predator yang siap menangkap mangsanya.
Saat Nayara hampir mencapai gerbang depan villa dan mulai melangkah dengan santai, tiba-tiba tangan Zevian meraih pergelangan tangannya. Tarikan kuat itu membuat Nayara tersentak, seketika tubuhnya membeku.
"Berhentilah bermain-main," suara Zevian keluar dengan nada tegas dan dingin, matanya menatap tajam ke arah Nayara.
Nayara hanya bisa diam, terpaku seperti pencuri yang terpergok pemilik rumah, jantungnya berdegup kencang, dan dunia seolah berhenti berputar di sekelilingnya.