Mereka bilang, Malaikat ada di antara kita.
Mereka bilang, esok tak pernah dijanjikan.
Aku telah dihancurkan dan dipukuli, tapi aku takkan pernah mati.
Semua darah yang aku tumpahkan, dibunuh dan dibangkitkan, aku akan tetap maju.
Aku telah kembali dari kematian, dari lubang keterpurukan dan keputusasaan.
Kunci aku dalam labirin.
Kurung aku di dalam sangkar.
Lakukan apa saja yang kalian inginkan, karena aku takkan pernah mati!
Aku dilahirkan dan dibesarkan untuk ini.
Aku akan kembali dan membawa bencana terbesar untuk kalian.
- Damien Ace -
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ferdi Yasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Bawa Aku ke Regalsen
Hari-hari berlalu cepat, seolah waktu melompat dari satu tanggal ke tanggal berikutnya. Kesehatan Alex terus membaik, tapi ingatan yang hilang tak kunjung kembali.
Semua kenangan yang lenyap tetap seperti kabut yang tak bisa ditembus, dan satu-satunya cara bagi Alex untuk mengingat adalah melalui cerita—cerita dari Eve, dari Nic, dan dari orang-orang di sekelilingnya.
Terutama tentang Daisy.
Ia belajar mengenali putrinya kembali dari kisah-kisah yang diceritakan Eve, dari tawa kecil yang mengisi rumah, dan dari senyum polos yang selalu menyapanya setiap pagi. Hubungan mereka tumbuh perlahan—seperti ayah dan anak yang baru dipertemukan oleh takdir.
Namun, tak seorang pun berani menyebut nama Damien di hadapan Alex.
Meskipun tubuhnya semakin kuat, pria itu masih sering mengeluh sakit kepala. Hingga kini, pikirannya belum boleh terbebani oleh hal-hal yang terlalu berat.
Hari ini, Alex akhirnya diperbolehkan pulang. Nic berpesan akan terus memantau kondisinya, tapi bagi Eve, cukup melihat Alex bisa berdiri dan tersenyum lagi sudah terasa seperti mukjizat.
Mereka pulang sebelum Daisy kembali dari sekolah. Alex ingin membuat kejutan kecil untuk putrinya.
Sebelum itu, Eve dengan hati-hati melepas semua foto yang menampilkan Damien dan menyimpannya sementara. Bukan untuk menghapus keberadaan anaknya—melainkan untuk menunggu waktu yang tepat hingga Alex siap menerimanya lagi.
“Kapan Daisy akan pulang?” tanya Alex tak sabar sambil memandangi kamar anaknya.
Semuanya tampak baru baginya, tapi juga anehnya terasa akrab.
“Sebentar lagi,” jawab Eve lembut. “Kau masih ingat rumah ini, kan?”
“Tentu saja. Tapi aku tak ingat kalau kamar ini sudah penuh dengan barang-barang anak kita.”
Alex menutup pintu kamar itu perlahan, lalu berjalan menuju kamar di sebelahnya.
Itu adalah kamar Damien.
Kini kamar itu tampak kosong—karena sejak Eve dan Damien pindah ke Regalsen, sebagian besar barangnya sudah dibawa pergi. Yang tersisa hanya beberapa perabot dan kenangan yang tak terlihat.
Pak Frans sudah membersihkannya, tapi Eve sengaja tidak mengambil semuanya, seolah masih ingin menyisakan jejak Damien di rumah ini.
“Kamar ini … siapa yang menempatinya?” tanya Alex pelan.
“Tidak ada,” jawab Eve cepat. “Dulu kau menyiapkannya untuk calon anak kita, tapi ternyata ….”
Alex menatap Eve dan menepuk punggung istrinya dengan lembut. “Tidak apa-apa,” katanya dengan senyum tipis. “Kita masih punya banyak kesempatan.”
Waktu berlalu. Daisy belum juga pulang.
Alex mulai gelisah dan meminta Eve menghubungi Edgar.
“Oh, baiklah, tidak masalah. Biarkan saja dia lebih lama di luar,” kata Eve setelah menutup telepon.
“Dia di mana?” tanya Alex langsung.
Eve tercekat sejenak.
Daisy sedang berada di makam kakaknya, Damien—namun ia tak bisa mengatakannya.
“Dia … sedang di taman,” jawabnya. “Hari ini tidak ada kursus, jadi Daisy meminta Edgar mengantarnya ke sana.”
“Bagaimana kalau kita menjemputnya?”
“Jangan!” sergah Eve refleks.
Tatapan Alex terkejut, dan Eve buru-buru menambahkan, “Maksudku … tidak perlu. Aku yakin Daisy tidak akan lama. Setelah ini dia pasti kembali.”
Eve berpaling, tidak berani menatap mata suaminya terlalu lama. Ada sesuatu di dadanya yang terasa sesak—perasaan bersalah yang ia pendam rapat-rapat.
Di taman pemakaman yang sunyi, Daisy duduk di sisi makam kakaknya.
Matanya menatap nama Damien Ace yang terukir di batu nisan itu, dengan pandangan yang kosong namun penuh kerinduan.
Angin berhembus lembut, menggerakkan ujung rambutnya, tapi gadis kecil itu hanya diam, memeluk lututnya dan menunduk.
Setiap hari, Daisy selalu merindukan Damien.
Namun hari ini, entah mengapa, rindunya terasa lebih berat dari biasanya—seolah seluruh isi dadanya penuh dengan sesuatu yang tak bisa ia keluarkan.
Ia bahkan tidak ingin Edgar menemaninya. Ia hanya meminta pria itu menunggu di mobil, karena ingin sendiri bersama kakaknya.
“Damien … apa yang sebenarnya terjadi padamu?” Suaranya lirih, hampir seperti bisikan. “Kenapa kau tidak menunggu sampai aku datang?”
Daisy menunduk semakin dalam. “Aku merindukanmu, Damien. Kapan kau akan kembali?”
Ia mengusap debu tipis di atas nisan itu dengan ujung jarinya.
“Kau tahu, aku merasa kau masih hidup. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa berpikir begitu, tapi rasanya … seperti kau tidak benar-benar meninggalkanku.”
Senyum kecil muncul di wajahnya, getir tapi tulus. “Kita ini saudara kembar. Kau tak bisa menipuku, Damien.”
Diam sejenak. Angin membawa aroma tanah basah dan bunga yang baru diletakkan.
“Tapi … di mana kau sekarang? Apa kau baik-baik saja? Aku harap kau bersama orang-orang yang baik, yang akan menjagamu dan mengembalikanmu padaku suatu hari nanti.”
Air mata jatuh perlahan di pipinya. Daisy mengusapnya cepat, mencoba tersenyum lagi.
“Oh, Damien, Ayah sudah lebih baik hari ini. Aku senang sekali. Tapi … aku juga sedih.”
Ia menarik napas, suaranya bergetar.
“Ayah melupakan kita. Dia tidak ingat padamu … bahkan padaku juga. Aku tahu, meskipun Ayah mencoba menutupi, tapi Ayah tidak pandai berbohong.”
Daisy menggigit bibirnya.
“Ayah tidak pernah menanyakan tentangmu, dan dia melupakan banyak hal tentangku. Aku tahu itu namanya … apa, ya? Amnesia!” serunya pelan sambil menepuk jidatnya. “Iya, itu! Aku lihat Ibu sering mencarinya di ponselnya. Jadi aku rasa Ayah sedang kena penyakit lupa.”
Ia kembali menatap nisan kakaknya.
“Tapi kau jangan marah, ya? Aku juga tidak marah. Ayah jadi begitu karena kecelakaan, dan kecelakaan itu terjadi karena dia mengejarku. Jadi … tunggulah sebentar. Setelah Ayah sembuh, aku akan memberitahunya kalau dia juga punya anak laki-laki. Kalau Ayah sudah ingat, aku akan membawanya kemari, untuk menemuimu.”
Hening sesaat. Lalu, dengan suara lembut yang penuh harapan, Daisy berbisik, “Damien, sebentar lagi hari ulang tahun kita. Cepatlah kembali, ya? Aku ingin meniup lilin bersamamu. Aku akan menunggumu … jadi jangan terlambat.”
Daisy berdiri perlahan, menepuk rok dan tangannya yang sedikit kotor.
Sebelum pergi, ia menatap nisan itu sekali lagi—seolah berharap batu itu bisa membalas tatapannya.
Kemudian, ia berjalan beberapa langkah menuju makam lain yang hanya berjarak beberapa petak batu nisan.
Di sana tertulis nama Eldy. Daisy meletakkan buket bunga krisan putih di atasnya, lalu tersenyum kecil.
“Eldy, aku datang menjengukmu. Tapi kali ini aku sendirian. Damien masih pergi. Kalau nanti dia sudah kembali, aku akan datang membawanya ke sini, ya.”
“Sudah cukup?” Suara Edgar terdengar dari belakang.
“Ya, aku sudah selesai.”
Daisy menoleh dan tersenyum kecil. Tidak ada lagi air mata di wajahnya. Mungkin, menangis tadi sedikit meringankan hatinya.
“Ed, sebentar lagi aku dan Damien akan ulang tahun,” kata Daisy sambil menendang-nendang batu kecil di jalan setapak pemakaman. “Kau mau memberiku hadiah apa?”
Edgar menatap gadis kecil itu sambil tersenyum lembut. “Hmm … apa yang kau inginkan?”
Daisy berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. “Tidak ada. Aku sudah punya semuanya. Tapi aku akan senang kalau ada seseorang yang memberiku hadiah.”
“Kalau begitu,” jawab Edgar dengan nada ringan, “itu akan jadi kejutan untukmu.”
Daisy menatapnya dengan mata berbinar. “Bagaimana dengan Damien? Kau juga mau memberinya hadiah, kan?”
Pertanyaan itu menusuk hati Edgar seperti duri halus. Ia tahu gadis itu masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa saudara kembarnya telah tiada. Tapi ia tak tega merusak harapan di mata Daisy.
“Tentu saja,” jawabnya lembut. “Itu juga akan jadi kejutan.”
Daisy tersenyum puas. “Sungguh? Damien pasti akan senang menerimanya.”
Edgar menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresinya. Hatinya terasa berat mendengar nama itu diucapkan dengan penuh keyakinan.
Daisy masih terlalu kecil untuk memahami makna kehilangan seperti ini, pikirnya.
Biarlah waktu yang perlahan menuntunnya.
Beberapa langkah berlalu dalam diam sebelum Daisy kembali bersuara, suaranya terdengar tenang namun dalam.
“Ed, apa kau percaya kalau aku bilang Damien masih hidup?”
Edgar terdiam. Ia menatap wajah Daisy dari samping—wajah mungil itu begitu serius, tak terlihat sedikit pun keraguan.
“Daisy …,” ujarnya, lembut tapi berat, “Aku tahu ini tidak mudah. Tidak apa-apa kalau hatimu belum siap. Tapi terkadang, kita harus belajar melepaskan supaya yang kita cintai bisa beristirahat dengan tenang.”
“Tapi aku benar-benar bisa merasakannya,” balas Daisy cepat, matanya memancarkan keyakinan penuh. “Aku dan Damien saudara kembar. Aku tahu kalau dia masih ada di suatu tempat. Aku bisa merasakannya di sini.”
Ia menepuk dadanya pelan.
Edgar menatapnya lama. Tidak ada gunanya membantah; semakin ia menyangkal, semakin dalam luka itu akan terasa bagi Daisy.
Beberapa saat kemudian, Daisy kembali membuka suara, kali ini dengan nada yang lebih serius.
“Ed, di mana laptop Damien? Di mana semua barang-barangnya?”
“Bukankah Ayahmu sudah memindahkannya ke rumah di Regalsen?” jawab Edgar hati-hati.
“Berarti semuanya masih ada di sana, kan?”
“Ya.” Edgar mengangguk. “Ibumu memang sengaja menyimpannya.”
Daisy berhenti melangkah. Matanya menatap lurus ke arah Edgar.
“Kalau begitu, bisakah kau membawaku ke Regalsen?” katanya pelan namun tegas. “Aku ingin melihat barang-barang Damien. Aku ingin membawa laptopnya.”
“Untuk apa, Daisy?”
“Aku ingin belajar menggunakannya. Kalau aku bisa memakainya, aku akan mencarinya lewat sana. Aku yakin Damien masih hidup. Dia akan kembali saat ulang tahun kita nanti.”
“Daisy ….” Edgar berjongkok, menatap matanya sejajar. “Aku tahu kau merindukannya. Tapi kalau kau terus berharap seperti ini, kau akan terluka. Damien sudah istirahat dengan tenang. Kau juga harus belajar mengikhlaskannya.”
Daisy menggigit bibir bawahnya, menatapnya tanpa gentar.
“Tidak apa-apa kalau kau tidak percaya padaku,” katanya pelan. “Tapi aku tetap ingin pergi ke sana. Bawa aku ke Regalsen, Ed. Kumohon.”
***