Selina Ratu Afensa tak pernah menduga hidupnya berubah drastis saat menerima pekerjaan sebagai pengasuh di keluarga terpandang. Ia pikir hanya akan menjaga tiga anak lelaki biasa, namun yang menunggunya justru tiga badboy yang terkenal keras kepala, arogan dan penuh masalah
Sargio Arlanka Navarez yang dingin dan misterius, Samudra Arlanka Navarez si pemberontak dengan sikap seenaknya dan Sagara Arlanka Navarez adik bungsu yang memiliki trauma dan sikap sedikit manja. Tiga karakter berbeda, satu kesamaan yaitu mereka sulit di jinakkan
Di mata orang lain, mereka adalah mimpi buruk. Tapi di mata Selina, mereka adalah anak anak kesepian yang butuh di pahami. Tanpa ia sadari, keberaniannya menghadapi mereka justru mengguncang dunia ketiga badboy itu dan perlahan, ia menjadi pusat dari perubahan yang tak seorang pun bayangkan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Blue🩵, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengunjungi seseorang
Errick menatap mereka dengan tenang “Tuan besar tidak percaya tuduhan itu. Beliau justru yakin Selina hanya korban keadaan. Gadis itu… masih polos. Bahkan ketika sadar, hal pertama yang ia lakukan adalah meminta maaf karena merasa sudah merepotkan Tuan besar. Tidak ada kebencian di matanya, hanya rasa takut dan bingung”
Sagara mendengus pendek, tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa penasaran
“Lalu bagaimana bisa dia sampai masuk ke rumah ini?”
Errick menundukkan kepala sedikit “Selina sendiri yang menawarkan diri. Dia bilang… dia bersedia bekerja apa saja, bahkan jadi asisten rumah tangga, asal di beri tempat tinggal. Dia sudah tidak punya siapa siapa lagi. Tuan besar… melihat itu sebagai kesempatan. Bukan untuk menjadikannya ART, tapi untuk sesuatu yang lebih penting”
Ketiganya serempak menatap Errick
Errick menatap mereka bergantian, lalu menekankan setiap kata dengan hati hati
“Karena beliau harus bolak balik ke luar negeri… Tuan besar memutuskan menjadikan Selina pengasuh kalian. Seseorang yang bisa mendampingi di rumah, menjaga, sekaligus mengawasi… dari dekat”
Keheningan menelan ruangan gym. Errick menunduk dalam dalam, wajahnya nyaris tanpa ekspresi
“Itu semua yang bisa saya katakan untuk sekarang Tuan muda”
Samudra tiba tiba berdiri dari bangkunya, tubuh tegapnya membuat suasana gym langsung berubah tegang. Tatapannya dingin menusuk Errick
“Kau ikut denganku sekarang”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dari ruangan. Sagara spontan memanggilnya
“Hei Sam! Kau mau ke mana?!”
Namun Samudra tak menoleh sedikit pun, langkahnya mantap meninggalkan gym. Sargio hanya memperhatikan dalam diam, keningnya berkerut dalam rasa ingin tahu
Errick sempat menatap ke arah Sagara dan Sargio, seakan hendak memberi isyarat, tapi perintah Samudra terlalu tegas untuk ia abaikan. Ia pun mengikuti langkah cepat tuan muda kedua itu
Mereka keluar dari rumah, menuju garasi. Mobil hitam mengilap terparkir rapi di depan. Samudra membuka pintu belakang dan duduk, gerakannya penuh wibawa meski usianya masih muda. Ia memberi perintah singkat, tanpa emosi
“Masuk. Jalankan mobil, bawa aku ke tempat Selina sekarang berada. Aku tahu kau pasti tahu”
Errick menatap Samudra lewat kaca spion, ragu sesaat, tapi kemudian mengangguk. Ia segera menyalakan mesin, mobil itu meluncur mulus keluar dari halaman rumah besar keluarga mereka
Di dalam kabin, hanya ada keheningan. Samudra menyandarkan tubuhnya, tatapan matanya menembus kaca jendela, dingin dan penuh tekad. Ia tidak mau lagi menunggu penjelasan setengah setengah
Mobil itu pun melaju menuju salah satu rumah sakit ternama di pusat kota
Tak lama mobil berhenti tepat di depan lobi rumah sakit. Samudra langsung turun tanpa banyak bicara, langkahnya cepat, dingin dan penuh tujuan. Errick buru buru menyusul dari belakang. Aroma antiseptik menusuk hidung begitu mereka masuk melewati pintu otomatis kaca yang terbuka
Samudra melirik kanan kiri, matanya tajam menyapu ruang tunggu yang di penuhi pasien dan keluarga. Namun wajah Selina tidak terlihat. Ia berdiri tegap, tangan di masukkan ke dalam saku celana, sementara menunggu Errick yang sedang berbicara dengan suster di meja resepsionis
“Permisi pasien bernama Vera Lyncya. Ruangan berapa ya?” tanya Errick dengan sopan
Suster muda itu menunduk, memeriksa layar komputer, lalu mengangguk
"Ibu Vera ada di lantai tiga, ruang rawat VIP nomor 313”
Errick mengucapkan terima kasih singkat sebelum kembali ke sisi Samudra
“Tuan muda mari ikut saya. Ruangan beliau ada di lantai tiga”
Mereka berdua melangkah menuju lift. Begitu pintu terbuka dan lantai dua tercapai, Samudra berjalan lebih dulu di lorong rumah sakit yang tenang. Lampu putih terang menyorot dinding yang steril, suara langkah mereka menggema pelan
Namun tiba tiba langkah Sagara terhenti, matanya menangkap sosok yang familiar. Selina
Gadis itu berdiri tak jauh dari pintu salah satu ruangan, dengan wajah lelah tapi penuh ketulusan. Di tangannya ada kantong berisi buah buahan segar dan sebungkus bubur hangat. Ia berbicara dengan suster yang berdiri di hadapannya
“Tolong berikan ini untuk pasien di dalam, Bu Vera. Jangan katakan siapa yang mengirimnya. Katakan saja… ada yang peduli dan mendoakan kesehatannya” ucap Selina lembut, suaranya nyaris bergetar
Suster itu menatapnya sejenak, lalu tersenyum memahami
“Baiklah, saya akan sampaikan”
Ia masuk ke dalam ruangan, menutup pintu perlahan. Tinggallah Selina sendiri di depan pintu itu
Selina melangkah mendekat, berdiri tegak pada kaca kecil yang menempel di pintu. Dari balik sana, ia bisa melihat Vera wanita yang telah mengusirnya, menerima bubur dan buah itu dengan tatapan bingung, lalu pelan pelan menyantap buburnya
Senyum tipis terukir di bibir Selina. Air matanya menggenang, tapi kali ini bukan karena sakit hati. Ada rasa lega, ada rasa bahagia yang sederhana
“Maafkan Selina bi, maaf telah membuatmu seperti ini” bisiknya lirih pada dirinya sendiri
Tanpa ia sadari, beberapa meter dari tempatnya berdiri, sepasang mata tajam sedang mengamati setiap gerak geriknya
Tatapannya sulit di tebak, antara kagum, heran atau marah
Langkah kaki Samudra terdengar mendekat. Selina yang masih fokus pada kaca pintu itu, Samudra ikut menunduk sedikit, menatap melalui kaca yang sama. Wajahnya datar, suara rendahnya tiba tiba membuat Selina tersentak
“Kau begitu peduli dengannya…”
Selina terlonjak kaget, matanya membelalak. Refleks, ia langsung menutup mulut Samudra dengan tangannya
“Samudra!” bisiknya cepat, wajahnya panik
Tanpa menunggu balasan, Selina menarik lengan Samudra, setengah menyeretnya menjauh dari pintu itu. Nafasnya terengah, langkahnya tergesa melewati lorong rumah sakit hingga akhirnya mereka tiba di taman kecil di belakang gedung
Taman itu sepi. Hanya ada bangku panjang di bawah pohon rindang, suara burung bercampur samar dengan deru lalu lintas dari luar pagar
Selina terengah engah, napasnya berat, keringat halus membasahi pelipis. Ia berlari terburu buru, hampir menyeret Samudra hingga sampai di tempat itu. Jemarinya masih erat menggenggam tangan pemuda itu, seolah enggan melepaskan meski tujuannya sudah tercapai
Samudra menunduk, menatap tangannya yang masih berada dalam genggaman Selina. Tatapannya dalam, tak banyak bicara, hanya membiarkan dirinya di tarik sejauh ini
Barulah Selina sadar. Ia menoleh ke bawah, menatap tangannya sendiri, lalu buru buru melepaskannya seakan tersengat
“Ma-maaf” ucapnya terbata, wajahnya memerah karena malu bercampur lelah
Samudra mengangkat wajahnya perlahan, menatap Selina. Ada sesuatu di matanya, bukan kemarahan, bukan pula sekadar keheranan. Lebih seperti rasa penasaran yang dalam
Selina langsung duduk di bangku itu, meletakkan tangannya di pangkuan, menunduk dalam
Samudra berdiri tegak di hadapannya, kedua tangannya masuk ke saku celana, menatap gadis itu dengan sorot yang sulit di tebak. Diamnya menekan, membuat Selina merasa semakin gelisah
“Kenapa kau melakukan semua itu diam diam?” suara Samudra akhirnya memecah keheningan
“Kau di usir, di caci, tapi masih… peduli”