“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Bayangan yang menyertai hati
Senja menuruni langit Samudra Jaya dengan warna keemasan yang lembut. Angin dari arah barat membawa harum bunga tanjung dari taman belakang istana, namun bagi Putri Dyah Anindya, keharuman itu tak memberi ketenangan sedikit pun. Ia duduk di beranda paviliunnya, menatap kolam teratai yang tenang, sementara jari-jarinya memainkan selendang sutra tanpa arah. Di hadapannya tergeletak selembar surat bersegel merah dengan cap lambang kadipaten Mandalapura.
“Surat dari Raden Kusumanegara, Gusti,” ujar salah seorang dayang sambil menunduk sopan.
Putri Dyah mengangguk lemah. “Letakkan di meja saja, Warih.” Dayang itu menurut, lalu mundur perlahan, meninggalkan sang putri dalam keheningan.
Sesaat Dyah hanya menatap surat itu tanpa berani membukanya. Ia tahu siapa pengirimnya, tahu pula apa isi pesannya. Raden Kusumanegara — calon suami yang telah dijodohkan sejak beberapa bulan yang lalu oleh ayahandanya sendiri, Prabu Harjaya. Lelaki gagah, keturunan bangsawan utama Mandalapura, sekaligus sekutu penting bagi Samudra Jaya. Tapi mengapa hati ini justru terasa semakin berat setiap kali mendengar namanya?
Perlahan, ia membuka segel merah itu. Tulisan tangan Kusumanegara yang rapi dan tegas terbentang di atas lembar daun lontar
“Kepada Sang Putri Dyah Anindya, penerang Samudra Jaya.
Dalam waktu tujuh hari lagi, hamba akan datang kembali menghadap Paduka Prabu, membawa rombongan dari Mandalapura untuk menyampaikan sesembahan jelang hari pertunangan kita.
Semoga Sang Dewata melindungi Paduka dalam damai dan sukacita.”
Dyah menutup surat itu cepat-cepat, seolah kata-kata itu membakar ujung jarinya. Dadanya terasa sesak, pikirannya bergolak. Ia berdiri dan berjalan mondar-mandir di serambi, sementara bayangan wajah seseorang yang lain terus muncul di benaknya — tatapan tegas tapi lembut, suara rendah yang selalu menenangkan, dan senyum samar yang begitu ia kenal. Panglima Aruna.
“Kenapa justru wajah itu yang terus terbayang…” bisiknya lirih. Ia berjalan menuju meja di sudut ruangan, di mana potret ibunya yang telah lama wafat terpajang dalam bingkai kayu cendana. Wajah lembut itu menatapnya dalam diam. Dyah menyentuh bingkai itu perlahan, matanya mulai berkaca-kaca.
“Andai Ibu masih ada…” suaranya bergetar. “Mungkin Ibu mengerti apa yang sedang hamba rasakan.” Ia terdiam lama, menatap potret itu dengan tatapan penuh rindu.
“Ayahanda bilang semua ini demi negeri,” katanya pelan, “tapi apakah negeri akan hancur bila aku memilih dengan hatiku sendiri?” Di luar, cahaya matahari mulai redup. Bayangan pepohonan jatuh ke dinding, seperti menyelimuti paviliun dalam warna keemasan yang sendu. Dyah menatap langit yang berubah jingga, lalu menghela napas panjang. “Panglima Aruna… kenapa harus kau yang mengusik hati ini?”
Dari kejauhan, terdengar suara genderang latihan prajurit. Dyah mencondongkan tubuh ke jendela, dan di sanalah—di bawah cahaya senja—tampak Panglima Aruna tengah memimpin barisan. Gerakannya tegas, suaranya menggema lantang di udara, tapi Dyah dapat merasakan gurat lelah di wajah pria itu.
Hatinya bergetar. Ia tahu, di balik ketegasan itu, Aruna pun menyimpan luka yang sama. Sejak ramalan Brahma Satyajaya diucapkan di hadapan raja, bayangan takdir seolah mulai melingkupi seluruh istana. Ada sesuatu yang besar—sesuatu yang tak terlihat—yang kini bergerak di antara mereka.
Dyah menggenggam selendangnya erat-erat. “Apakah hati kita memang ditakdirkan berjalan di jalan yang salah?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Sementara itu, di bawah cahaya temaram obor, Panglima Aruna berhenti sejenak di tepi lapangan. Ia menatap ke arah paviliun sang putri—samar, namun cukup jelas untuk melihat sosok anggun yang berdiri di jendela. Wajahnya menegang, namun di matanya terpantul rindu yang tak terucap. Seorang prajurit mendekat, memberi hormat. “Panglima, surat dari Mandalapura baru saja tiba. Raden Kusumanegara akan datang dalam tujuh hari.” Aruna mengangguk perlahan, tapi dadanya serasa diremas. Ia menatap langit yang berawan dan berbisik pada dirinya sendiri,
“Jadi… waktu kita memang hampir habis.”
Dan malam itu, angin Samudra Jaya berembus lirih, membawa dua hati yang sama-sama terikat oleh kewajiban, namun diam-diam masih menantang langit dengan rasa yang tak bisa mereka padamkan.
Dyah masih berdiri di serambi itu lama sekali, menatap langit yang kian gelap. Cahaya jingga senja perlahan berganti menjadi ungu keabu-abuan. Suara burung walet kembali ke sarang, sementara di kejauhan terdengar genta kuil berdentang pelan. Semua terasa sepi, tapi di dada sang putri justru riuh oleh pergolakan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya, namun suara hatinya terlalu keras untuk diabaikan. “Apakah ini yang disebut takdir, Ibu…?” gumamnya lirih, seolah berbicara kepada arwah ibunya yang telah tiada. “Mengapa jalan yang kau wariskan padaku begitu sempit, padahal aku hanya ingin mencintai tanpa harus takut?” Udara malam mulai turun. Dayang Warih datang membawa pelita dan hendak menutup jendela, tapi Dyah menahan tangannya. “Biarkan terbuka, Warih. Aku ingin melihat lapangan malam ini.”
Warih ragu, tapi menunduk. “Baik, Gusti.”
Dari jauh tampak cahaya obor berbaris rapi di lapangan latihan. Prajurit-prajurit Samudra Jaya tengah berlatih formasi malam, dan di depan mereka berdiri sosok tegap berseragam perang: Panglima Aruna. Gerakannya tegas, suaranya keras memberi aba-aba, namun Dyah bisa melihat gurat lelah di wajahnya.
Ia menatap lama, dan tanpa sadar bibirnya bergetar.
“Andai saja kau bukan prajuritku, Aruna…”
Putri Dyah menundukkan kepalanya airmatanya tak terbendung, ingin sekali untuk mengatakan tidak dalam perjodohan ini tapi apa yang dilakukannya nanti pasti akan membawa keburukan bagi negaranya dan itu yang tidak dia inginkan. Putri Dyah keluar dari paviliun mencoba untuk berbicara dengan sang ayah.
Senja baru saja turun di langit Samudra Jaya. Cahaya keemasan menimpa dinding-dinding istana, memantulkan siluet lembut di lantai marmer putih. Dari balik tirai sutra, Putri Dyah Anindya melangkah perlahan menuju balairung belakang, tempat sang ayah, Raja Harjaya, tengah duduk memandang halaman istana yang dipenuhi bunga kamboja. Angin berhembus membawa aroma dupa, menenangkan tapi juga menyesakkan dada sang putri.
“Paduka Ayahanda,” ucap Dyah Anindya sambil menunduk hormat. Raja Harjaya menoleh perlahan, senyumnya teduh namun matanya menyimpan keruh yang dalam. “Duduklah, Anindya. Ada yang ingin putriku bicarakan?” Dyah Anindya menarik napas panjang. Suaranya lembut, tapi hatinya bergetar menahan kegelisahan yang sedari tadi menyesak. “Ayahanda… tentang pertunangan itu. Apakah keputusan Paduka sudah bulat?”
Raja Harjaya menghela napas, menatap ke langit yang mulai merah di ufuk barat. “Kau tahu, Anindya, Samudra Jaya tidak bisa berdiri sendiri. Mandalapura telah menerima tawaran pernikahan. Itu kehendak dewata—dan kewajiban seorang raja adalah menjaga keseimbangan antara kehendak langit dan kemakmuran bumi.”
“Tapi Ayahanda,” suara Anindya bergetar, “apakah kemakmuran negeri harus dibayar dengan hati seseorang? Bukankah Samudra Jaya bisa berdiri karena rakyatnya, bukan karena ikatan pernikahan antar kerajaan?” Raja Harjaya menatap putrinya lama sekali, ada bangga sekaligus iba di matanya. “Kau benar, Anindya. Kau mewarisi semangat ibumu—gagah, berani, dan berpikir jauh. Tapi seorang putri kerajaan bukan hanya tentang gagasan, melainkan juga pengorbanan. Kadang dewata memilih jalan yang paling berat bagi mereka yang paling kuat.” Dyah menunduk. Suara ayahandanya menusuk hatinya pelan-pelan seperti pisau yang dingin.
“Aku tidak ingin menjadi alat persekutuan, Ayahanda,” ucapnya lirih. “Aku ingin menjadi bagian dari Samudra Jaya bukan karena siapa yang akan kucintai, tapi karena apa yang bisa kulakukan untuk negeri ini.”
Raja Harjaya berdiri perlahan. “Kau sudah melakukannya, Anindya,” katanya lembut sambil menepuk pundak putrinya. “Tapi jangan lupakan—setiap takhta memiliki bayangannya sendiri. Kita semua hidup di bawah titah dewata. Apa yang terjadi hari ini bukan semata keputusan manusia.” Anindya terdiam. Angin malam berembus dari jendela, mengibaskan helaian rambutnya yang terurai. Hatinya ingin berteriak, ingin menolak nasib yang sudah digariskan, tapi di depan sang raja, ia hanya bisa menunduk dengan mata yang mulai basah.
“Jika memang itu kehendak dewata…” suaranya nyaris tak terdengar, “…maka Anindya akan menjalaninya, meski hati ini tak sejalan dengan restu langit.” Raja Harjaya menatapnya dengan iba. Dalam diam, ia tahu bahwa malam itu—lebih dari sekadar percakapan ayah dan anak—adalah malam di mana takdir mulai memisahkan cinta dan kewajiban.
***
Kabar tentang kedatangan Raden Kusumanegara juga sampai ditelinga para adipati dan bangsawan beberapa dari mereka ada yang menanggapinya dengan sangat baik walau dalam hati mereka tanggapannya sangat bertolak belakang termasuk Tumenggung Wiranata karena kemungkinan besar jika Putri Dyah Anindya menikah dengan Raden Kusumanegara takhta Samudra Jaya akan jatuh ke tangan Putri Dyah dan itulah yang ditakutinya.
“Ampun Gusti Prabu, kapan sekiranya Raden Kusumanegara sampai ke Samudra Jaya?”tanya Tumenggung Wiranegara.
“Menurut surat yang aku terima tadi Raden Kusumanegara berangkat 7 hari dari sekarang,”
Para bangsawan serentak menunduk memberi hormat. Namun tak semua kepala yang menunduk itu benar-benar tunduk dalam hati. Sebagian dari mereka justru menelan ludah, menyembunyikan rasa tidak suka. Adipati Wirangga, lelaki bertubuh besar yang duduk di sisi kiri raja, membuka suara dengan nada hati-hati.
“Gusti Prabu, hamba hanya ingin memastikan… apakah keputusan itu sudah mutlak? Maksud hamba, apakah perjodohan ini memang sudah ditetapkan oleh restu para brahmana dan penasehat istana?”
Raja Harjaya tersenyum tipis. “Tentu. Bahkan Resi Brahma Satyajaya sendiri telah merestuinya. Segala yang terjadi di Samudra Jaya, Adipati Wirangga, tidak akan luput dari kehendak dewata.”
Kata “kehendak dewata” itu menggema di balairung, seolah menjadi tameng yang tak bisa disanggah. Namun di sudut lain, Tumenggung Wiranata menggenggam lututnya erat. Matanya menatap lantai, tapi pikirannya bergolak.
“Kehendak dewata, atau kehendak istana?” gumamnya dalam hati. “Jika Putri Dyah menjadi permaisuri Mandalapura, kekuasaan Samudra Jaya akan lebur dalam genggaman mereka. Dan Raden Raksa? Akan menjadi bayangan di negerinya sendiri…”
Ia menahan amarah yang hampir tampak di wajahnya. Prabu Harjaya melanjutkan, “Kita akan menyiapkan penyambutan besar. Aku ingin Samudra Jaya tampil megah dan penuh wibawa. Kirim kabar ke pelabuhan timur, pastikan kapal Mandalapura disambut dengan iring-iringan upacara kerajaan.”
“Daulat, Gusti Prabu,” jawab para pejabat serempak. Namun tak lama, Tumenggung Wiranata mengangkat kepala. “Ampun, Gusti Prabu… perkenankan hamba bertanya. Apakah Raden Kusumanegara datang hanya untuk pertunangan, atau juga untuk membicarakan kerja sama militer antara Mandalapura dan Samudra Jaya?”
Raja menatapnya, seolah tahu arah pikirannya. “Pertunangan ini adalah lambang penyatuan dua kekuatan besar. Dan kau benar, Tumenggung, ada hal lain yang akan dibicarakan. Mandalapura tengah menyiapkan pasukan untuk ekspedisi ke timur, dan mereka meminta aliansi Samudra Jaya. Maka, kehadiran Raden Kusumanegara bukan hanya sebagai calon menantu, tapi juga duta yang membawa titah.” Suasana seketika berubah hening. Para adipati saling berpandangan—antara kagum dan khawatir. Aliansi militer berarti kekuasaan akan berpindah keseimbangan. Siapa pun yang berada di sisi pangeran Mandalapura akan ikut naik derajat.
Wiranata menunduk kembali, tapi tatapannya tajam menusuk lantai.
“Aliansi dengan Mandalapura berarti menyingkirkan darah Samudra Jaya sendiri,” pikirnya getir.
“Dan itu berarti menyingkirkan Raden Raksa—keponakanku sendiri.”
Prabu Harjaya melanjutkan pembicaraan dengan nada mantap, “Aku ingin semua persiapan dilakukan dalam tujuh hari. Adipati Wirangga, kau urus keamanan perbatasan barat. Tumenggung Wiranata, pastikan jalur upacara dari pelabuhan hingga balairung utama dihiasi sesuai adat.”
“Daulat, Gusti Prabu,” jawab Wiranata datar. Tapi dalam hatinya, ia menahan perasaan yang jauh berbeda.
“Menghias jalan untuk menyambut orang yang akan mengambil tahta keluarga kami…” pikirnya getir. “Raden Raksa, sepupuku, jika saja kau tahu betapa besar permainan yang sedang berlangsung di istana ini.”
Sementara itu, Adipati Wirangga dan beberapa bangsawan yang lebih muda berbisik lirih di baris belakang.
“Raden Kusumanegara memang gagah,” ujar salah satu dengan nada menyanjung.
“Gagah, ya. Tapi Mandalapura pernah menolong Samudra Jaya tanpa pamrih,” jawab yang lain pelan.
“Kalau nanti mereka bersatu lewat pernikahan, bukan tidak mungkin takhta Samudra Jaya perlahan berpindah tangan.”
“Benar. Dan siapa yang bisa menandingi mereka setelah itu?” Bisik-bisik itu akhirnya sampai juga ke telinga Tumenggung Wiranata. Ia berpura-pura tak mendengar, tapi senyum tipis di ujung bibirnya menyiratkan sesuatu. Rencana sudah mulai berputar di kepalanya. Ia tahu, untuk melindungi darahnya sendiri—Raden Raksa—ia harus mulai melangkah sebelum Mandalapura benar-benar menancapkan kuku di Samudra Jaya. Dan sore itu, di bawah langit yang mulai berwarna tembaga, Prabu Harjaya menutup sidang dengan satu kalimat yang menggema di seluruh balairung
“Segala yang terjadi di negeri ini adalah kehendak dewata. Dan tak seorang pun boleh menentang titah langit.”
Namun tak ada yang tahu, di balik kalimat itu, banyak hati yang bergolak—hati yang merasa kehendak langit seolah sedang memihak pada yang lain. Termasuk hati seorang Tumenggung tua yang diam-diam telah menanam niat berbahaya di balik sembah hormatnya.
Tumenggung Wiranegara menatap Tumenggung Wiranata dengan tatapan penuh curiga, dia tahu jika teman sejawatnya itu tidak terima dengan lamaran Pangeran Mandalapura pada Putri Dyah Anindya.
“Wiranata, sampai mana kau akan merencanakan niat licikmu itu,” gumam Tumenggung Wiranegara dalam hati.
***
Malam harinya Tumenggung Wiranata menghadiri pertemuan rahasia antara pendukung Raden Raksa di paviliun Raden Raksa. Mereka tetap menyusun rencana licik untuk membatalkan pernikahan itu. Tapi Raden Raksa masih teringat akan ramalan sang Brahma jika memang takdirnya untuk Puspa maka dia akan menduduki Takhta Samudra Jaya.
Cintanya untuk Puspa semakin besar terlebih jika semua kehendak sang Dewata. Tentu ini menjadikannya alasan jika sang ibu tidak merestuinya dengan Puspa. Tumenggung Wiranata duduk di kursi kehormatan, menatap keponakannya dengan pandangan penuh rencana. Di sisi lain, beberapa adipati dan bangsawan pendukung Raden Raksa duduk berderet, wajah mereka tampak tegang namun menyimpan harapan.
“Ananda Raksa,” ujar Tumenggung Wiranata membuka suara dengan nada rendah, “waktu kita tidak banyak. Jika Raden Kusumanegara benar-benar datang ke Samudra Jaya dan pertunangan itu terjadi, maka takhta akan jatuh ke tangan Putri Dyah dan keluarga Mandalapura. Apakah itu yang kau inginkan?” Raden Raksa yang sedari tadi duduk bersandar dengan kaki disilangkan hanya tersenyum tipis. Tatapan matanya redup namun licin seperti air yang memantulkan cahaya. “Paman terlalu cemas. Semua yang datang terlalu dini, biasanya juga akan hancur lebih cepat.” Beberapa bangsawan saling pandang, tak mengerti maksudnya. Tumenggung Wiranata berdeham, mencondongkan tubuh ke depan. “Kau bicara seolah tak menginginkan takhta itu, Raksa. Padahal darahmu jelas pewaris sejati Samudra Jaya.” Raksa mengangkat cawan berisi tuak di depannya, menatap pantulan cahaya di permukaannya. “Takhta, Paman? Aku tidak perlu merebutnya. Kadang, yang duduk di atas singgasana justru yang paling cepat jatuh darinya.” Ia lalu meneguk anggurnya perlahan, lalu menambahkan dengan nada lembut namun penuh sindiran, “Biarkan saja sang pangeran Mandalapura datang. Kadang tamu yang datang terlalu percaya diri justru mudah dijatuhkan.” Tumenggung Wiranata tersenyum puas, mengira keponakannya mulai berpikir sama dengannya. “Kau ingin menunggu waktu yang tepat?”
Raksa menoleh, senyumnya melebar sedikit — senyum miring yang lebih mirip ejekan. “Aku tidak menunggu, Paman. Aku hanya menonton. Mereka semua sedang memainkan peran masing-masing. Dan pada akhirnya, siapa yang bertahan, itulah yang akan disebut takdir.” Adipati Mahesapati yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara, nada suaranya berat dan hati-hati. “Namun, Raden Raksa… Mandalapura pernah membantu Samudra Jaya melawan Parang Giri di Benteng Narasoma. Bukankah terlalu berisiko jika kita menentang mereka secara terbuka?”
Raden Raksa menatap Mahesapati dengan senyum dingin. “Aku tidak menentang siapa pun, Adipati. Aku hanya tidak mempercayai siapa pun. Bantuan Mandalapura bukan tanpa niat. Mereka menolong agar suatu hari bisa menuntut balas budi. Dan balas budi yang paling berharga bagi mereka… adalah kekuasaan Samudra Jaya.” Ucapan itu membuat ruangan hening. Tumenggung Wiranata tersenyum licik sambil mengangguk. “Itulah sebabnya kita harus bertindak duluan. Jika Raden Kusumanegara sampai di istana, semuanya terlambat.” Raksa kembali bersandar santai di kursinya, jemarinya mengetuk-ngetuk meja pelan. “Jangan terburu-buru, Paman. Permainan yang baik dimulai dari kesabaran. Jika kita menyerang sebelum waktunya, Dewata pun bisa berpaling.”
Tumenggung Wiranata menatapnya curiga. “Kau terdengar terlalu tenang untuk seorang calon pewaris yang hampir kehilangan takhta.” Raden Raksa terkekeh pelan, suara tawanya datar, tanpa rasa. “Karena takhta itu tak akan kemana-mana, Paman. Bahkan jika Putri Dyah menikah dengan Kusumanegara, pada akhirnya semua akan kembali padaku.” Ia menatap ke luar jendela, matanya menyipit. “Karena darah yang berhak, tidak bisa dikubur hanya dengan upacara pernikahan.” Tumenggung Wiranata menyunggingkan senyum puas, sementara bangsawan lain menatap Raksa dengan kagum sekaligus takut. Adipati Mahesapati hanya menggeleng pelan, tahu bahwa Raden Raksa menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak. Raksa menegakkan tubuhnya, lalu menatap pamannya dengan tatapan menusuk. “Paman ingin aku merebut takhta? Baik. Tapi bukan dengan pedang, bukan pula dengan pemberontakan. Biarkan aku memakai cara yang lebih halus. Cara yang tak meninggalkan darah… tapi membuat semua tunduk tanpa sadar.”
Tumenggung Wiranata mengernyit, “Kau bermaksud—”
Raksa memotong pelan dengan suara rendah tapi tajam, “Paman akan tahu saat waktunya tiba. Untuk sekarang, jangan ganggu pergerakanku. Aku tahu kapan harus menyingkirkan orang… dan kapan harus membuat mereka datang dengan sendirinya ke perangkap.” Angin malam berhembus masuk dari celah jendela, menggoyangkan tirai sutra. Lentera bergoyang pelan, memantulkan cahaya di wajah Raksa yang kini menunduk sambil tersenyum miring — senyum yang lebih menyeramkan daripada ancaman.
“Dewata mungkin menulis takdir,” ujarnya pelan, “tapi aku… yang akan menentukan bagaimana akhir ceritanya.” Tumenggung Wiranata mengangguk perlahan, matanya berkilat penuh ambisi. Ia tahu, keponakannya bukan sekadar pangeran muda — tapi seekor ular yang sabar menunggu mangsanya mendekat sendiri. Dan malam itu, di paviliun yang diterangi cahaya redup, sebuah rencana busuk mulai berakar — perlahan, senyap, dan mematikan.