Hans dan Lily telah menikah selama 2 tahun. Mereka tinggal bersama ibu Meti dan Mawar. Ibu Meti adalah ibu dari Hans, dan Mawar adalah adik perempuan Hans yang cantik dan pintar. Mawar dan ibunya menumpang di rumah Lily yang besar, Lily adalah wanita mandiri, kaya, cerdas, pebisnis yang handal. Sedangkan Mawar mendapat beasiswa, dan kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota Bandung, jurusan kedokteran. Mawar mempunyai sahabat sejak SMP yang bernama Dewi, mereka sama-sama kuliah di bagian kedokteran. Dewi anak orang terpandang dan kaya. Namun Dewi tidak sepandai Mawar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ANGGUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Hans Dan Dewi
Kedatangan Dewi ke rumah Mawar untuk mengajak Mawar jalan-jalan ke mall, namun Mawar menolaknya dengan alasan harus menulis beberapa data untuk tugas kuliahnya. Dewi kecewa dengan penolakan Mawar, namun Dewi berusaha memahami situasi Mawar. Bagi Mawar belajar adalah nomor satu yang harus diutamakan, berbeda dengan Dewi yang sejak dulu hanya memikirkan tentang percintaannya. Dewi sangat bertolak belakang dengan Mawar, pandangan mereka sangat berbeda dalam hal cinta. Dewi sangat mudah jatuh cinta dan baperan, sedangkan Mawar punya pendirian yang kuat dalam hal cinta, dan takut untuk jatuh cinta karena pengalaman buruk kedua orang tuanya.
Mawar: "Maaf, Wi. Banyak tugas kuliah yang harus aku kerjakan." ucapnya dengan penuh penyesalan.
Dewi: "Iya, Mawar. Aku paham, kok." sahutnya sambil tersenyum kecil menatap sahabatnya itu. "Aku bangga padamu. Kamu wanita yang cerdas dan cekatan." ucapnya lagi dengan rasa bangga. Wajah Dewi kelihatan murung, dia merasa malu pada Mawar yang jauh lebih pintar darinya. Tinggal selangkah lagi Mawar akan menyelesaikan kuliahnya dan meraih gelar sebagai dokter umum, sedangkan dirinya masih jauh tertinggal karena ketidakseriusannya dalam belajar.
Mawar: "Kenapa, Wi? Wajahmu kelihatan sedih?" tanyanya dengan rasa penasaran. Dewi menundukkan kepalanya, dia merasa sangat malu pada Mawar.
Dewi: "Aku merasa malu padamu, Mawar. Kamu akan segera lulus." ucapnya dengan wajah sedih.
Mawar: "Kamu juga pasti bisa, Wi. Jangan sedih, dong." sahutnya. Mawar selalu berusaha menghibur Dewi.
Dewi: "Aku pulang dulu, ya." ucapnya. "Sampaikan salamku pada tante Meti." ucapnya lagi.
Mawar: "Iya, Wi. Hati-hati di jalan, ya." sahutnya. Dewi melangkah keluar dari rumah Mawar, dia berjalan beberapa langkah sampai akhirnya masuk ke dalam mobilnya. Dewi melaju dengan mobilnya secara perlahan di jalan raya tanpa tujuan.
Dewi: "Memang susah punya sahabat seorang kutu buku. Tidak bisa diajak untuk bersenang-senang." gumannya dengan sedikit kesal. "Aku tidak punya tujuan." gumannya lagi. Pandangan Dewi fokus ke depan kaca mobilnya, dia terus menyetir tanpa tujuan yang jelas. Tiba-tiba Dewi merasakan ada yang berguncang pada ban mobilnya bagian belakang. Dewi memberhentikan mobilnya secara perlahan di pinggir jalan, dia keluar dari dalam mobilnya lalu membungkuk memeriksa ban mobilnya bagian belakang.
Dewi: "Ban belakangnya kempes lagi. Aku tidak punya ban cadangan." gumannya dengan wajah panik. Dalam kepanikannya, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara klakson mobil yang cukup nyaring. Dewi menoleh ke belakang dan melihat seorang pria bertubuh tinggi, putih sedang keluar dari dalam mobilnya.
Dewi: "Haa? Mas Hans?" ucapnya dengan kaget.
Hans: "Kenapa dengan mobilmu, Wi?" tanyanya dengan rasa ingin tahu. Hans berjalan menghampiri Dewi yang masih berjongkok di belakang mobilnya. "Kebetulan aku baru pulang dari kantor. Aku melihatmu jongkok di pinggir jalan." ucapnya.
Dewi: "Ban mobilku kempes, mas." ucapnya dengan wajah yang bingung. "Aku tidak punya ban cadangannya." ucapnya lagi dengan rasa sesal. Hans menundukkan wajahnya lalu memegang dagunya seakan sedang memikirkan sesuatu.
Hans: "Tunggu sebentar." ucapnya. Hans mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celananya, dia mulai mencari nomor ponsel temannya yang bekerja di bengkel mobil, lalu mulai mencoba menelpon temannya itu. Setelah beberapa menit berbicara dengan temannya, wajah Hans kelihatan lega.
Hans: "15 menit lagi temanku akan datang." ucapnya dengan lega.
Dewi: "Maksudnya, mas?" tanyanya dengan wajah bingung.
Hans: "Nanti kamu akan mengerti." ucapnya. "Aku akan menemanimu menunggu di sini." ucapnya lagi.
Dewi: "Terima kasih, mas." ucapnya dengan wajah malu-malu.
Hans: "Kamu dari mana, sih?" tanyanya dengan rasa penasaran.
Dewi: "Aku dari rumahmu, mas. Aku hendak mengajak Mawar jalan-jalan, namun dia menolaknya." ucapnya dengan wajah sedih.
Hans: "Kenapa Mawar menolaknya?" tanyanya lagi.
Dewi: "Mawar sedang menyelesaikan tugas kuliahnya, mas." ucapnya.
Mawar: "Hehe. Dia memang kutu buku." sahutnya sambil tertawa kecil. 15 menit berlalu, akhirnya teman Hans datang. Teman Hans yang bernama Jai itu memeriksa mobil Dewi dengan seksama, mulai dari ban yang kempes, juga mesinnya. Setelah memeriksa semuanya, Jai menyarankan agar mobil Dewi dibawa ke bengkelnya agar bisa diperbaiki.
Jai: "Selain ban belakang yang kempes. Mesinnya juga harus cek." ucapnya.
Dewi: "Iya, mas. Kerjakan dengan baik, ya." sahutnya dengan rasa percaya. "Ini kuncinya." ucapnya lagi. Dewi menyerahkan kunci mobilnya kepada Jai. Dengan bantuan Hans, akhirnya mobil Dewi di bawa ke bengkel. Hans dan Dewi berdua berada di dalam mobil Hans, sedangkan Jai sendirian di dalam mobil Dewi. Mobil Dewi diikat dengan menggunakan tali tambang yang kuat, dan diderek oleh mobil Hans. Beberapa menit kemudian, Hans, Dewi dan Jai tiba di sebuah bengkel mobil milik Jai. Ketiga orang itu keluar dari dalam mobil. Hans dan Jai melepaskan mobil Dewi dari ikatan tali tambang.
Jai: "Mobil ini tinggalkan saja di sini." ucapnya.
Dewi: "Kapan selesai, bang?" tanyanya dengan tidak sabar.
Jai: "Besok siang." sahutnya dengan penuh keyakinan. "Ban belakang akan di ganti. Mesinnya juga akan diperbaiki." ucapnya lagi.
Dewi: "Baiklah, bang. Besok siang saya akan datang lagi." ucapnya dengan penuh keyakinan. Hans mengantar Dewi pulang ke rumahnya. Selama dalam perjalanan di dalam mobil, Dewi selalu tersenyum bahagia sambil melirik ke arah Hans karena Hans telah menolongnya.
Hans: "Kenapa senyum-senyum, Wi?" tanyanya dengan rasa penasaran. Hans menyadari jika Dewi sedang menatapnya.
Dewi: "Terima kasih atas bantuannya, mas." ucapnya dengan wajah bahagia.
Hans: "Itu sudah biasa, Wi." ucapnya.
Dewi: "Untung saja kamu lewat tadi, mas. Aku sudah hampir putus asa." ucapnya.
Hans: "Hehe. Namanya juga takdir dan jodoh." sahutnya sambil tertawa kecil. Dewi tersenyum malu-malu, sesekali dia melirik ke arah Hans yang sedang menyetir. Sekitar 25 menit, Hans tiba di depan rumah Dewi.
Hans: "Kita sudah sampai di depan rumahmu." ucapnya dengan perasaan lega.
Dewi: "Terima kasih, mas." sahutnya. "Masuklah dulu, mas. Sebentar lagi akan maghrib, loh." pintanya. Awalnya Hans menolaknya karena merasa tidak nyaman, namun Dewi terus membujuknya dengan alasan istirahat sebentar di dalam rumahnya sebelum Hans melanjutkan perjalanan pulang ke rumahnya.
Hans: "Apakah kedua orang tuamu di dalam?" tanyanya sambil menatap ke sekeliling rumah Dewi.
Dewi: "Kedua orang tuaku sedang berada di luar kota, mas. Mereka sama-sama pebisnis." ucapnya lagi.
Hans: "Kamu punya asisten rumah tangga, kan?" tanyanya lagi dengan rasa penasaran.
Dewi: "Tidak, mas. Terkadang aku bosan di rumah." ucapnya. Hans menatap Dewi dengan penuh keheranan, lalu dia menatap ke sekeliling rumah Dewi yang cukup besar.
Hans: "Rumahmu cukup besar, loh." ucapnya dengan terheran-heran. "Apakah kamu tidak takut tinggal sendirian?" tanyanya.
***