NovelToon NovelToon
EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

EMPRESS ELARA (Transmigrasi Kedalam Tubuh Permaisuri Lemah)

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno / Masuk ke dalam novel / Mengubah Takdir
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Senja Bulan

Seorang wanita modern Aira Jung, petinju profesional sekaligus pembunuh bayaran terbangun sebagai Permaisuri Lian, tokoh tragis dalam novel yang semalam ia baca hingga tamat. Dalam cerita aslinya, permaisuri itu hidup menderita dan mati tanpa pernah dianggap oleh kaisar. Tapi kini Aira bukan Lian yang lembek. Ia bersumpah akan membuat kaisar itu bertekuk lutut, bahkan jika harus menyalakan api di seluruh istana.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja Bulan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10, Elara vs Valen

Angin siang berhembus lembut di halaman barat.

Bunga kamelia bermekaran, harum dan berwarna merah tua seperti darah yang menetes di kelopak putih.

Di tengah taman itu, Selir Valen duduk dengan tenang, mengenakan gaun merah menyala, dan di tangannya secangkir teh melati yang menguap hangat.

Ia tampak seperti dewi lembut di bawah matahari, tapi semua yang mengenalnya tahu: di balik senyumnya, ada racun.

Hari ini, Elara datang menemuinya tanpa pengawalan penuh.

Hanya ditemani satu pelayan dan Kaen yang berdiri jauh di belakang.

Langkahnya tenang. Tatapannya tajam, tapi bukan tajam karena marah tajam karena tahu ia tak akan kalah.

Selir Valen menatapnya datang dengan senyum manis.

“Wah… matahari ternyata masih tahu jalan ke istana barat. Siapa sangka, Permaisuri sendiri yang datang?”

Elara berhenti dua langkah dari meja teh.

“Tentu saja. Aku pikir sudah saatnya aku melihat sendiri dari mana sumber racun pagi tadi berasal.”

Suasana langsung tegang.

Pelayan-pelayan menunduk, menahan napas.

Valen tersenyum lebih lebar, tapi matanya tidak ikut tersenyum.

“Kau menuduhku, Yang Mulia? Tanpa bukti?”

“Aku tidak menuduh,” Elara duduk tanpa diundang, menyilangkan kaki dengan tenang.

“Aku hanya ingin berbincang. Seorang istri dengan wanita yang terlalu sering berada di sekitar suaminya.”

Valen mengangkat alis.

“Kau terdengar cemburu.”

“Tidak,” Elara membalas datar. “Cemburu berarti aku merasa kalah. Tapi aku tidak pernah kalah, Valen.”

Suara itu tenang, tapi menampar lebih keras dari bentakan.

Valen meletakkan cangkirnya, lalu bangkit, berjalan pelan mengelilingi Elara seperti seekor kucing memutari mangsanya.

“Kau mungkin berhasil membuat Kaisar menatapmu hari ini,” bisiknya, “tapi dia tidak akan mencintaimu. Karena cinta tidak bisa dibeli dengan ancaman atau permainan berani.”

Elara menatap lurus ke depan, tidak menoleh.

“Lucu. Aku pikir cinta tidak bisa dibeli dengan air mata dan tipu daya juga. Tapi lihatlah, kau masih mencoba.”

Valen berhenti, suaranya berubah dingin.

“Hati-hati, Elara. Istana ini tidak akan berpihak pada orang yang baru belajar berjalan di dalamnya.”

Elara berdiri perlahan.

Matanya menatap tajam, tapi senyum di bibirnya tetap lembut.

“Kau benar. Tapi aku tidak berjalan di sini untuk belajar. Aku berjalan untuk memimpin.”

“Memimpin?” Valen tertawa rendah. “Seorang permaisuri tanpa cinta, tanpa kuasa, tanpa dukungan bangsawan? Apa yang bisa kau pimpin selain kesepianmu sendiri?”

Elara melangkah mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal.

Suaranya turun menjadi bisikan yang menggigit.

“Kau lupa, aku berasal dari dunia di mana cinta tidak memberi makan, dan kekuasaan tidak datang dari darah, tapi dari keberanian. Jadi jika kau ingin melawanku, pastikan kau siap kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar harga diri.”

Valen menahan napas. Ada sesuatu di tatapan Elara bukan sekadar ancaman, tapi kekuatan yang asing bagi wanita-wanita istana ini.

Bukan kekuatan darah biru… tapi kekuatan seseorang yang tahu cara bertahan hidup.

Elara memutar badan, hendak pergi. Tapi sebelum melangkah keluar, ia berkata pelan:

“Oh, dan satu hal lagi…”

Ia menoleh sedikit.

“Kau terlalu sering menggunakan racun. Itu membuatmu mudah ditebak.”

Sore harinya, istana barat gempar.

Lady Serene ,pelayan utama Selir Valen ditemukan pingsan di ruang rias dengan bekas racun ringan di darahnya.

Rumor menyebar cepat, katanya racun itu mirip dengan yang ditemukan di meja makan Kaisar pagi tadi.

Valen murka, menuduh Elara menjebaknya.

Tapi Elara hanya tersenyum ketika kabar itu sampai di telinganya.

“Aku tidak perlu menjebak siapa pun,” katanya pada Kaen malam itu. “Aku hanya membuka tirai, biarkan mereka terlihat apa adanya.”

Kaen menatapnya dalam diam.

“Kau tahu mereka akan membalas, bukan?”

“Tentu.” Elara menatap ke luar jendela, di mana lampu-lampu istana mulai menyala satu per satu.

“Tapi yang tak mereka tahu… aku menikmati setiap langkah permainan ini.”

Malam itu, di istana utama, Kaisar Kaelith berdiri di balkon, menatap arah istana barat dengan wajah tanpa ekspresi.

Ia telah mendengar segalanya.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia tersenyum samar.

“Permaisuri Elara…” gumamnya pelan,

“Kau benar-benar berbeda dari semua wanita yang pernah mencoba menaklukkan istana ini.”

Namun jauh di dalam pikirannya, ada sesuatu yang bergetar

perasaan asing yang muncul setiap kali ia memikirkan perempuan itu.

Bukan hanya rasa ingin tahu… tapi ketertarikan yang perlahan menjadi candu.

Dan di bawah cahaya bulan, istana yang tampak tenang itu mulai terasa seperti papan catur besar,

di mana Elara sudah mulai menggerakkan bidaknya…

satu langkah di depan semua orang.

Langit malam dipenuhi bintang ketika Elara berdiri di balkon paviliunnya.

Angin lembut menyentuh rambutnya yang terurai, membawa aroma bunga kamelia dari taman bawah.

Namun pikirannya tidak tenang.

Sejak pagi, istana berdesis dengan kabar baru.

Tentang racun, pengkhianatan, dan bisik-bisik antara Selir Valen dan Lady Serene.

Tapi di balik semua itu, Elara tahu Kaelith sedang memperhatikannya.

Ia bisa merasakannya.

Seperti tatapan yang mengikuti setiap langkahnya, dingin tapi diam-diam penuh rasa ingin tahu.

“Dia mulai curiga,” gumam Elara pelan. “Tapi belum tahu arah mana harus menyerang.”

Kaen, yang berdiri di sisi pintu, menatapnya khawatir.

“Kaisar dikenal tak pernah mempercayai siapa pun sepenuhnya. Jika dia merasa terancam—”

“Aku tahu,” potong Elara cepat, “itulah kenapa aku harus membuatnya… tertarik.”

Kaen menunduk, ragu.

“Dengan cara bagaimana, Yang Mulia?”

Elara tersenyum tipis, matanya menatap langit.

“Dengan cara yang bahkan dia tidak sadari.”

Keesokan harinya, Elara menghadiri pertemuan resmi di aula utama.

Kaisar duduk di singgasananya, dikelilingi oleh pejabat dan penasihat.

Biasanya, permaisuri hanya duduk diam di sisi kanan hiasan yang anggun tapi tak bersuara.

Namun kali ini, Elara membuka mulut ketika seorang pejabat mulai membicarakan penurunan anggaran untuk dapur istana timur.

“Yang Mulia,” katanya tenang tapi tegas, “pengurangan itu akan berdampak langsung pada kebutuhan pasukan pengawal dalam pelatihan. Makanan mereka akan berkurang, dan daya tempur menurun. Apakah itu keputusan bijak untuk keamanan istana?”

Semua mata menoleh.

Tak ada satu pun yang berani berbicara begitu di hadapan Kaisar tanpa izin.

Kaelith menatap Elara dengan sorot tajam.

“Permaisuri, kau berbicara seolah kau memahami urusan negara.”

“Kurasa tidak,” jawab Elara datar. “Tapi saya memahami logika bertahan hidup. Tidak ada kerajaan yang bisa berdiri dengan tentara yang lapar.”

Suasana menegang.

Namun beberapa pejabat saling pandang diam-diam kagum pada keberaniannya.

Kaisar menatapnya lama, hingga akhirnya ia berkata pelan,

“Kata-katamu cukup berani. Tapi berani bukan berarti benar.”

“Mungkin,” Elara tersenyum samar, “tapi setidaknya saya berani berbicara ketika orang lain memilih diam.”

Bisik-bisik memenuhi aula.

Kaelith mengangkat tangannya, dan semua suara berhenti.

Tatapannya menusuk. Tapi dalam tatapan itu, ada sesuatu yang berbeda bukan sekadar amarah, melainkan rasa ingin tahu yang ia sembunyikan dengan baik.

“Keluar semua,” perintahnya tiba-tiba.

Semua pejabat menunduk dan segera meninggalkan aula, menyisakan hanya mereka berdua.

Hening yang menekan menyelimuti ruangan luas itu.

Kaisar berdiri perlahan, melangkah mendekati Elara.

Langkahnya tenang, tapi setiap gerakannya membawa wibawa yang nyaris mengancam.

“Kau berubah,” katanya tanpa nada jelas.

“Beberapa minggu lalu, kau bahkan tak berani menatap mataku.”

Elara mengangkat wajahnya, matanya menatap langsung ke matanya.

“Mungkin dulu aku terlalu sibuk menjadi permaisuri yang ideal. Sekarang aku lebih tertarik menjadi diriku sendiri.”

Kaisar berhenti di depannya, begitu dekat hingga Elara bisa mencium aroma logam lembut dari jubahnya.

“Dan siapa kau sebenarnya?”

Senyum Elara pelan, hampir seperti bisikan dosa.

“Seseorang yang tidak bisa kau kendalikan.”

Tatapan mereka bertemu, tak ada yang menunduk.

Dan dalam keheningan itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan bergetar di udara.

Bukan cinta, bukan amarah tapi tegangan.

Kaelith menatap lama, hingga akhirnya ia berbalik.

“Aku tidak tahu apa permainanmu, Elara. Tapi hati-hati. Orang yang terlalu berani menantangku jarang bertahan lama.”

Elara berdiri tegak, matanya tak bergeming.

“Kalau begitu, semoga aku jadi pengecualian.”

Kaelith berhenti sejenak sebelum keluar dari aula.

Namun sebelum langkahnya benar-benar menjauh, ia berkata tanpa menoleh:

“Kau membuatku sulit berpaling, Permaisuri.”

Malamnya, Elara menatap ke arah aula dari jendelanya.

Ia tidak tersenyum.

Hanya diam, memutar kembali percakapan itu di pikirannya.

“Sulit berpaling?” gumamnya. “Kalau begitu, biar aku buat kau terus menatapku sampai tak bisa lepas.”

Kaen masuk pelan, membawa laporan.

“Lady Serene masih ditahan. Selir Valen tidak keluar dari paviliunnya hari ini. Tapi… Kaisar memerintahkan pasukan tambahan di sekitar istana timur.”

Elara menatapnya datar.

“Pasukan tambahan?”

“Ya. Katanya demi keamanan Anda.”

Elara tersenyum tipis.

“Keamanan, atau pengawasan?”

Kaen menunduk.

“Mungkin keduanya.”

Elara menatap bayangan bulan di permukaan lantai batu.

“Bagus,” bisiknya. “Semakin dia mengawasiku, semakin dia tenggelam dalam permainanku.”

Di ruangan lain, Kaisar Kaelith duduk di ruang pribadinya, memandangi segulung laporan tentang permaisurinya.

Setiap kalimatnya terasa tak masuk akal —bagaimana seorang wanita lembut bisa berubah menjadi seseorang yang berpikir seperti panglima perang?

Tangannya berhenti di satu catatan kecil:

“Permaisuri Elara mulai mendapat simpati para pengawal dan pelayan. Banyak yang mengatakan dia lebih menakutkan dari Selir Valen.”

Kaelith tersenyum samar.

“Menakutkan, ya…” gumamnya. “Atau mungkin hanya terlalu hidup untuk dunia seperti ini.”

Ia menatap api lilin yang bergetar pelan.

Dan tanpa ia sadari, pikirannya dipenuhi oleh wajah wanita itu mata tajamnya, senyum tipisnya, dan keberanian yang seolah tak mengenal takut.

Untuk pertama kalinya, Kaisar Kaelith Raen menyadari bahwa ia mulai memikirkan permaisurinya bukan sebagai istri, tapi sebagai lawan yang menarik.

Dan itu jauh lebih berbahaya daripada cinta.

1
Murni Dewita
👣
Senja Bulan
Ada urusan 🙏
Siti
knp thor masa gk update seminggu🤔
Siti
Kapan update nya.....🙏
Siti
Aku suka ceritanya,jarang loh seorang wanita petinju masuk dunia novel. Apalagi aku suka karakter wanita badas .
Senja Bulan: terimakasih sudah komen kk🙏
total 1 replies
Dzakwan Dzakwan
Gak sabar nih thor, gimana kelanjutan cerita nya? Update yuk sekarang!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!