Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DISRUPSI DAN DEBIT BURUK YANG TERAKHIR
Cengkeraman di lengan kiriku begitu keras, meninggalkan bekas nyeri yang familiar, mengingatkanku pada setiap kali aku diseret paksa dari kasino atau ruang kuliah Amara di masa lalu. Kinara mencoba menarik diri, tetapi tenaga si penyerang tidak sebanding dengan tubuh Amara yang sedang dalam fase ‘pemulihan’. Gelap menjadi sekutu si penculik; teriakan Rendra hanya terdengar seperti gaung ketidakberdayaan.
“Siapa kau?!” bentakku, menendang ke belakang, berharap mengenai tulang keringnya.
“Seseorang yang membersihkan kekacauan, Amara,” bisiknya, suaranya parau dan teredam. “Kau seharusnya diam. Kau pikir nilai A itu sepadan dengan masalah yang kau timbulkan? Presentasi konyolmu ini akan hilang dalam hitungan menit.”
Ia menarikku semakin kuat, melewati barisan bangku yang terbalik dan pintu yang entah bagaimana terbuka di tengah kegelapan. Aku tahu dia menuju kantor administrasi terdekat atau, lebih buruk lagi, gudang yang lebih terisolasi. Jantung Kinara berdebar, bukan karena takut disakiti secara fisik, tetapi karena takut semua yang baru kucapai akan ditarik kembali ke jurang kebobrokan Amara.
Saat tubuhku membentur kusen pintu, sistem *Deteksi Pola Sosial* (Skill baru yang baru saja diaktifkan) secara refleks bekerja. Kinara tidak melihatnya dengan mata Amara, tetapi aku melihatnya di pikiran. Jaringan yang menyelimuti pria ini berwarna merah tua, kaku, dan langsung terhubung ke inti yang sama yang terhubung dengan Serena—pusat kendali SPU. Ia bukan preman bayaran; ia adalah *enforcer* birokratis.
Kinara tahu cara terbaik mengalahkan Kekerasan Struktural adalah dengan membingungkan strukturnya. Aku harus membuat adegan ini tidak profesional.
“Kau diutus Serena, bukan? Atau Guntur?” bisikku keras, suaraku dipenuhi cemoohan. “Katakan padanya, data yang kukirim ke server luar sudah diduplikasi. Menghilangkan Amara Nasywa sekarang hanya akan mengkonfirmasi kebenaran argumenku di forum publik! Itu akan menjadi kekalahan propaganda terbesarmu!”
Cengkeraman si penyerang melonggar sedikit, kebingungan menyelimutinya. Apakah Amara, si antagonis terbuang, baru saja mengklaim telah mencadangkan data kejahatan SPU?
Momentum sesaat itu dimanfaatkan. Tiba-tiba, sebuah kekuatan besar menyergap dari belakang, bukan untuk menyeretku, melainkan untuk membanting si penyerang ke dinding lorong yang gelap.
Brak! Bunyi hantaman tulang terdengar tajam.
“Kau tidak akan membawanya ke mana-mana,” geram suara itu. Suara Rendra.
Kinara tersentak. Aku merasakan Rendra, Target 2, berdiri tegap di sampingku, melindungi Amara dengan bahunya yang lebar. Dalam kegelapan, ia tampak seperti bayangan otoritas yang akhirnya berbalik melawan tuannya.
Si penyerang yang kini tergeletak mengerang. “Ketua BEM? Minggir! Ini urusan internal administrasi!”
“Administrasi atau bukan, tindak kekerasan fisik di kampus adalah yurisdiksi BEM dan keamanan mahasiswa,” jawab Rendra dingin. Ia tidak berteriak, tetapi suaranya memiliki resonansi kepemimpinan yang membuat penyerang itu bungkam sejenak.
Kinara melirik Rendra. Jaringan di sekitar Target 2 kini berkedip antara abu-abu (otoritas) dan biru (bimbang). Ia belum sepenuhnya menjadi sekutu, tetapi tindakannya murni refleks protektif, terlepas dari fakta bahwa lima menit lalu aku menyerang habis-habisan organisasinya.
Lampu darurat berwarna merah menyala pelan di ujung lorong, memberikan penerangan minimal. Si penyerang buru-buru berdiri, menatap Rendra dan aku dengan kebencian. Ia tahu ia kalah jumlah (secara posisi otoritas). Tanpa bicara, ia lari, menghilang kembali ke kerumunan yang mulai bergerak mencari jalan keluar.
Kinara menyandarkan diri di dinding yang dingin, mencoba mengatur napas Amara. Lututku gemetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena lonjakan adrenalin. Rendra menoleh padaku, matanya menyipit penuh pertanyaan.
“Apa yang barusan kau lakukan, Amara?” tuntutnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, namun masih bergetar dengan kemarahan yang ditekan. “Kau sengaja memancingnya? Kau gila?”
Kinara tidak langsung menjawab. Aku hanya menatapnya, membiarkan keheningan berbicara tentang absurditas situasi kami. Rendra, Ketua BEM yang kujadikan musuh retorika, baru saja menyelamatkan Antagonis Terbuang dari penculikan administrasi. Itu adalah kontradiksi sosiologis yang indah.
“Gila, atau logis?” balasku akhirnya, mengatur kemejaku yang sedikit tertarik. “Bukankah ini ironi, Rendra? Kau menyelamatkan jiwa yang baru saja menyerangmu dan semua yang kau bela. Apa dasarmu bergerak? Loyalitas buta pada BEM? Atau integritas yang kau klaim di hadapan petinggi kampus tadi?”
Rendra mendengus. Ia melipat tangannya, tubuhnya masih berfungsi sebagai perisai di hadapan pintu ruang kuliah yang ramai dan mulai terang kembali. Listrik baru saja menyala, tampaknya setelah kegaduhan selesai.
“Aku menyelamatkan seorang mahasiswa yang diserang. Itu tugasku. Bukan karena argumenmu benar,” Rendra menekankan. “Tapi karena kau… kau bukan Amara yang kukenal.”
“Dan apa definisi Amara yang kau kenal, Rendra?” Aku maju selangkah, menantang ruang pribadinya. “Sampah? Pembuat utang? Pecundang yang mudah dieliminasi? Ya, itu adalah persona yang mereka ciptakan. Persona yang dipertahankan oleh BEM dan sistem konyol yang kau pimpin.”
Ia menatapku lama, mencoba membaca sesuatu yang tak terduga di mataku. Aku melihat di jaringnya, celah biru idealisme itu melebar sedikit, menantang jaringan abu-abu otoritasnya.
“Kau menyentuh fondasi sistem yang terlalu besar, Amara,” kata Rendra, menurunkan suaranya. “Itu berbahaya. Administrasi tidak akan membiarkan kritik seberani itu keluar begitu saja. Mereka akan mencari cara, apa pun cara, untuk membungkammu, bahkan jika itu berarti… menghilangkan status akademismu.”
“Lantas, mengapa kau melindungiku? Apa rencanamu, Target 2?” tanyaku lugas.
Rendra terkejut dengan istilah 'Target 2', tetapi ia tidak mengomentarinya. Ia hanya menggeleng. “Aku… aku tidak suka manipulasi. Kau menyerangku, itu urusan debat. Mereka menggunakan cara kotor untuk membungkam kritik, itu urusan moral. Kau benar soal BEM yang patuh. Dan kau tahu apa yang lebih menyebalkan? Mereka benar-benar menekan kita untuk diam tentang kasus Nila.”
Kinara tersenyum puas. Aku tidak perlu memaksanya menjadi sekutu; aku hanya perlu menancapkan jarum ke dalam lukanya sendiri.
“Ketidakmampuanmu untuk membela idealisme di dalam organisasi adalah pengkhianatan terbesarmu terhadap dirimu sendiri, Rendra,” ujarku pelan. “Tapi, terima kasih atas bantuan fisik barusan. Anggap itu utang budi, bukan utang persahabatan.”
Saat itu, Pak Arka keluar dari ruang kuliah, didampingi Pak Bambang dari administrasi yang tampak marah. Pak Arka segera mengabaikan Pak Bambang dan berjalan cepat ke arah kami.
“Nasywa! Rendra! Apa yang terjadi di sini?” tuntut Pak Arka, meskipun ekspresinya sudah membaca situasi.
“Seorang petugas mencoba menyeret Amara, Pak,” lapor Rendra segera, kembali ke mode Ketua BEM yang efisien. “Saya mengintervensi.”
Pak Arka menatapku. Garis hijau yang menghubungkanku dengannya di *Deteksi Pola Sosial* terasa hangat, tebal, dan terpercaya. Target 1 kini adalah sekutu yang telah diuji oleh ancaman fisik.
“Nasywa, presentasi Anda, dan nilai A yang Anda peroleh, tidak akan hilang dari catatan akademis Anda,” Pak Arka memastikan. “Saya akan memprosesnya malam ini juga, segera, agar mereka tidak sempat mengintervensi nilai di sistem. Tetapi Anda telah membuat musuh besar di institusi ini.”
“Itu harga yang harus dibayar untuk Kritik Eksistensial, Pak,” kataku.
“Dan harga itu termasuk utang nyawa di Seri 2,” gumamnya. “Mulai besok, hindari kampus. Urus utang-utang Anda. Jaga profil Anda serendah mungkin selama satu minggu. Setelah itu, kita akan menyusun strategi selanjutnya.”
Rendra tampak kaget. “Menghindari kampus? Pak Arka, bukankah itu lari?”
“Ini bukan lari, Rendra,” Pak Arka menoleh tajam ke Target 2. “Ini strategi. Kita baru saja membuktikan bahwa ada seekor naga di kampus ini. Sekarang, Nasywa butuh waktu untuk mengumpulkan pedang yang lebih besar. Kinara… atau, Amara, Anda mengerti?”
“Saya mengerti. Kinara akan fokus melunasi debit buruk yang masih menempel, sambil mempersiapkan perang media sosial yang jauh lebih sulit,” jawabku, menggunakan nama Kinara secara implisit, sebuah kode rahasia antara jiwa di dalam tubuh Amara dan mentor sosiologinya.
Aku meninggalkan kampus dengan cepat, melewati pos keamanan yang kini tampak waspada, tetapi tidak berani menghentikanku karena keberadaan Pak Arka yang menemani sampai ke parkiran. Malam itu, di kosan Amara yang kecil dan pengap, aku merasa seperti baru saja kembali dari medan perang.
Kinara meraih laptop Amara, mencolokkannya ke stop kontak. Saat laptop menyala, aku kembali membuka tab *judi online* yang telah membuat hidup Amara (dan Kinara) terjerat utang $7,000,000.
[$SYSTEM_KOREKSI_GENERASI_JALUR_FANA: Status Utang Baru: $4,500,000. Denda Keterlambatan Mingguan: $100,000.]
“Sialan,” Kinara berdecak. Walaupun aku berhasil membayar cicilan dan mendapatkan poin, denda itu terasa mencekik. Utang Amara adalah rantai yang paling nyata dan menjijikkan dari sistem korup ini.
Aku memfokuskan energi yang baru saja didapat dari kemenangan di kelas. Kemenangan akademik tidak akan menyelesaikan masalah debit buruk. Kinara perlu membalikkan status finansial Amara secepatnya.
Aku duduk bersila di kasur, mengaktifkan kembali *Deteksi Pola Sosial* secara penuh. Ini adalah skill yang kumanfaatkan secara sporadis tadi, tetapi sekarang, aku menggunakannya untuk menelaah hidup Amara secara keseluruhan.
Dalam sekejap, ruangan Amara, yang dulunya hanya berantakan dan suram, kini dipetakan oleh ribuan benang energi transparan. Ada benang tipis dan suram yang menghubungkanku ke server utang. Ada benang yang putus dan patah ke teman-teman lama Amara. Dan yang paling menonjol, benang berwarna abu-abu yang mengarahkan keluar: jaringan sosial dan organisasional kampus.
Aku mengamati titik fokus abu-abu itu. Mereka berkumpul menjadi satu simpul besar: BEM. Dan simpul BEM itu dikendalikan oleh Target 2: Rendra. Ini menegaskan Misi Seri 2.
Kinara mengambil napas dalam-dalam. Pak Arka telah diselesaikan. Utang sedang dikerjakan. Kini saatnya beralih ke struktur kekuasaan sosial yang mempertahankan status quo kampus. Rendra adalah kunci. Jika Kinara bisa menghancurkan struktur organisasinya, Serena dan SPU akan kehilangan lengan operasional mereka.
Tiba-tiba, suara formal Sistem Koreksi muncul lagi, bukan sebagai peringatan, tetapi sebagai deklarasi final.
[$SYSTEM_KOREKSI_GENERASI_JALUR_FANA: SERI 1: INKARNASI DAN DEBIT BURUK SELESAI.]
[KEBERHASILAN KRITIK INTELEKTUAL TERVERIFIKASI. DEBIT BURUK FINANSIAL MASIH AKTIF, NAMUN JALUR PEMBERSIHAN TELAH TERBUKA.]
[SERI 2: PEMBERONTAKAN SENYAP DIBUKA.]
[FOKUS TARGET BARU: Rendra (T2), Ketua BEM Otoriter.]
[MISI UTAMA SERI 2: Membongkar dan mereformasi struktur perundungan di Fakultas. Target Level: Intermediate. Batas Waktu: 4 Minggu.]
Kinara mengangguk dalam hati. Semuanya terstruktur rapi. Dari pertempuran intelektual, aku harus beralih ke perang organisasi. Sebuah evolusi yang logis dalam kritik struktural.
Tepat sebelum aku sempat merenungkan cara mendekati Rendra, notifikasi sistem lain muncul, sebuah pesan yang sangat berbeda, disertai kilasan visual dari sistem Amara yang kini semakin terhubung denganku.
[UTANG EMOSIONAL (Jalur Tersembunyi) DITEMUKAN.]
[JIWA ASLI (AMARA NASYWA) MASIH MEMILIKI UTANG TERHADAP MASA LALU YANG DIRUSAK.]
[JALUR EMOSIONAL AKTIF. TARGET 2, RENDRA, MEMILIKI INFORMASI TENTANG KEHANCURAN DIRI AMARA YANG LAMA. KULTIVASI HUBUNGAN (POLITIK ATAU PERSONAL) DIPERLUKAN UNTUK MENDAPATKAN KETERANGAN TERSEMBUNYI.]
Aku tersenyum miring. Jadi, kehancuran Amara Nasywa tidak sepenuhnya didorong oleh utang judi atau kebodohan, melainkan ada faktor eksternal. Sesuatu yang terhubung dengan Rendra. Kemungkinan besar, insiden yang merusak Amara dilakukan di bawah pengawasan BEM-nya.
Aku melihat benang biru Rendra di jaring-jaring sosial *Deteksi Pola Sosial*. Benang itu kini terlihat rapuh, seperti ditarik dari dua arah—sisi moral yang aku tunjukkan tadi, dan sisi tanggung jawab organisasional yang membelenggunya.
“Baiklah, Rendra,” bisikku, menutup laptop. Kinara berbaring telentang di kasur. Tubuh Amara kini terasa lebih ringan, meskipun beban misinya bertambah berat. “Waktunya mencari tahu, mengapa Antagonis Terbuang ini dibuat. Aku harus menggali lubang tempat Amara terjatuh, dan membongkar tanahnya.”
Malam itu, sebelum terlelap, Kinara memfokuskan kembali Deteksi Pola Sosial pada jaring-jaring yang terentang dari kamarku ke seluruh kampus.
Aku melihat simpul kecil kekuasaan dan aliansi, perundungan dan kesetiaan, semuanya tersusun rapi di mata batinku. Target 2, Rendra, berdiri di tengah, seperti boneka panggung yang dikontrol oleh banyak benang halus yang tak kasatmata. Jika aku berhasil memutuskan benang kendali tersebut, dia akan jatuh, dan aku bisa mereformasinya.
Namun, di tengah-tengah semua benang kekuasaan yang kuselami, ada satu benang lain, tipis seperti asap tetapi memiliki aura kuno dan menekan. Benang ini terhubung bukan hanya ke Serena, tetapi ke entitas yang lebih tinggi, yang berada di luar jangkauan kampus. Benang ini memiliki energi Konglomerat. Aku merasakan potensi bahaya besar.
Dan kemudian, hal terakhir yang membuatku tersentak sebelum tidur. Aku melihat jaring yang sama, tetapi dari perspektif yang berbeda. Kinara melihat, jauh di sana, melintasi lorong dan dinding, sebuah simpul hitam, tertutup, tidak terdeteksi oleh radar biasa.
Simpul ini bergerak perlahan menuju lokasi yang pernah Kinara dan Amara kunjungi di kehidupan sebelumnya: tempat gelap yang berhubungan dengan judi online Amara. Itu adalah target kejahatan. Aku baru saja berhasil membongkar skema akademis, tetapi rupanya, utang debit buruk Amara tidak akan melepaskanku begitu saja.
Tiba-tiba, suara dering ponsel Amara yang diletakkan di meja berbunyi, mengoyak keheningan introspeksiku. Itu bukan pesan dari Sistem, melainkan notifikasi bank yang diatur otomatis.
Aku meraih ponsel, pandanganku jatuh pada pesan singkat yang tertera di layar. Mataku membelalak. Itu bukan pesan tagihan. Itu adalah ancaman yang jauh lebih nyata.
“Pembayaran berikutnya akan jatuh tempo. Jika terlambat, jaminan kami aktif. Dan kami sudah memiliki alamat barumu, Kinara/Amara.”
Jaminan. Utang judi online Amara ternyata diikat dengan jaminan fisik. Dan kini, mereka menggunakan nama asliku. Mereka tahu siapa aku. Siapa yang membocorkan Kinara? Aku terkejut, adrenalin mengalir deras di pembuluh darahku. Aku harus membersihkan utang ini sekarang, atau Seri 2 tidak akan pernah sempat dimulai. Antagonis Terbuang kembali diseret ke lumpur utangnya.