"Jangan, Mas! aku sudah bersuami."
"Suami macam apa yang kamu pertahankan itu? suami yang selalu menyakitimu, hem?"
"Itu bukan urusanmu, Mas."
"Akan menjadi urusanku, karena kamu milikku."
"akh!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N_dafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
“Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir. Sekali-kali, biarkan semua berjalan semaunya. Kamu, juga bisa melakukan semaumu untuk mengimbangi itu semua.”
Ajeng cepat menjauhkan diri dari Biantara. “Anda senang kan lihat saya kesal? Apalagi, kalau saya menangis seperti ini.”
Wanita itu mengusap air matanya sendiri, sedetik setelah jatuh tanpa diminta.
“Aku tidak akan memaksamu memandangku sebagai orang baik, Ajeng. Terserah kamu, pendapatmu ke aku seperti apa. Tapi, lebih baik sekarang kamu makan saja, karena kamu bisa sakit kalau terus-terusan menunda makan.”
“Sedih boleh. Kesel juga boleh. Tapi, jangan bodoh dengan menyiksa dirimu sendiri. Kamu tahu? Tidak semua orang akan menyesal dan kehilangan kamu kalau kamu sakit atau bahkan mati.”
Mendengar ucapan Biantara, Ajeng mendadak ingat obrolan Sabrina kala itu.
“Ya jangan lah! Bisanya kalau dia mati doang.”
Tiba-tiba, wanita itu mengepalkan tangannya menggenggam sendok. Mangkuk cereal itu sampai bergoyang hingga susu di dalamnya bergerak.
“Jangan tumbang, Ajeng. Aku nggak tahu apa masalahmu. Tapi, kalau kamu menyiksa diri sendiri, akan ada orang lain yang bahagia di tengah kesedihanmu.”
Tak banyak bicara lagi, Ajeng menyuap satu sendok cereal dengan gerakan cepat.
“Bapak boleh pulang. Makasih banyak cerealnya. Tapi, anda nggak perlu kasihan lagi sama saya.”
“Aku belum dapat yang aku mau.” enteng Biantara.
Mau tak mau, Ajeng menatap Biantara di sampingnya.
“Katanya lagi nggak minat?”
“Bukan bercinta, Baby. Tapi, ganti rugi acel ana dalamku yang kamu buang."
“Ih, saya nggak mau ganti rugi. Tuh, ambil lagi aja. Masih di dalam kok.”
“Ganti pakai yang lain!”
“Duit? Atau pakai celana baru?”
“Ciu man.”
Ajeng sontak memutar bola matanya malas. “Selalu saja seperti itu.”
Biantara tergelak melihat reaksi Ajeng.
“Udah sana pergi! Lewat depan aja nggak apa-apa kalau susah. Lagipula, ngapain sih repot-repot manjat belakang segala?”
“Aku cuma menghargaimu, sayang. Aku tahu, kamu takut kalau Rendy tahu.”
“Kalau anda menghargai saya, anda nggak akan ada disini sekarang.”
“Baiklah, aku salah lagi. Tapi, aku benar-benar masih ingin disini sekarang.”
“Enak aja! Ini kamar saya. Bapak nggak bisa seenaknya. Saya yang bayar kamar ini.” Ajeng kembali ke setelan awal.
“Nanti aku ganti. Tapi, aku yakin kalau ini bukan pakai uangmu sendiri. Lagipula, kalian dapat logam mulia tadi. Bisa 50 juta kalau diuangkan. Seharusnya, pakai itu, kalian nggak perlu keluar uang lagi.”
“Logam mulia tadi, udah diambil sama Sabrina.” Kata Ajeng santai, tapi terdengar memelas di telinga Biantara.
“Kok bisa? Enak banget dia? Bukankah dia belum ada, saat kalian merintis usaha? Seharusnya benda itu buat kamu.”
“Saya tahu, pasti anda akan menertawakan saya, kalau saya mengatakan ini. Tapi, Mas Rendy nggak akan tega kalau Brina sudah merengek.”
Ajeng tak perlu menutupi lagi. Tapi, bukan berarti dia menceritakan semuanya.
“Wow, sekuat apa sih pesona madumu itu sampai suamimu perhatian sekali sama dia?”
“Coba aja, Pak! Pasti anda bisa membedakan sama saya kalau udah ngerasain Brina juga.” Sahut Ajeng santai.
“Saya bukan laki-laki murahan.”
“Meniduri saya, artinya murahan.”
“Terserah kamu. Aku tahu, aku nggak akan menang kalau debat sama kamu.”
“Seharusnya, saya yang bilang begitu.”
“Oh ya?” Biantara seperti diingatkan. “Kalau begitu, kamu mengakui kehebatanku kan? Bukan cuma ucapan aja, tapi juga dalam permainan ranjang.”
“Ck. Pulanglah kalau pembahasan anda cuma itu-itu saja. Tapi, diberi kesempatan saja, anda bilang nggak minat.” Ajeng kembali terlihat malas.
“Santai, Baby. Nggak perlu buru-buru. Sekarang kamarku deket.”
Ajeng langsung menghunus tatapan tajam ke arah Biantara. “Jangan bilang, anda pindah kamar ke sebelah.”
“Kamu seperti cenayang, Baby. Padahal, aku belum memberitahumu.”
“Dasar kurang kerjaan.”
*
*
“Yap, oke. Clear!” Teriak Doni setelah Ajeng, Rendy dan Sabrina take video untuk konten mereka.
Masih sama temanya. Tentang harmonisasi sebuah keluarga poligami, dimana Rendy sedang makan diapit oleh dua istrinya, yang bergantian menyuapi.
“Bagus kan, Don?” Tanya Rendy memastikan.
Lelaki kepercayaan Rendy itu mengacungkan jempolnya sebagai jawabannya.
Merasa puas, Rendy lantas berbicara kepada istri pertamanya.
“Dek, abis ini siap-siap ya. Kita pulang siang biar nggak terlalu malam sampai rumah.”
“Ya.” Hanya itu jawaban Ajeng. Wanita itu memang kalah ekspresif dibanding Sabrina.
Sebenarnya, Ajeng adalah wanita yang cukup ceria sebelumnya. Tapi, karena masalah rumah tangganya, dia kehilangan keceriaannya.
“Mau aku bantu nggak?” Tawar Rendy yang terlihat ingin merayu Ajeng.
Mungkin, lelaki itu masih merasa bersalah.
Hampir saja Ajeng membuka mulutnya, menjawab pertanyaan Rendy, tapi urung karena Sabrina sudah memotong lagi.
“Kalau kamu bantuin Mbak Ajeng, aku gimana, Mas? Aku lagi hamil loh, Mas.”
“Ya udah, gantian aja kalau gitu.”.
“Tapi, aku dulu ya. Aku mau tidur dulu biar nggak kecapean.” rengek Sabrina.
“Nggak usah, Mas.” Sela Ajeng tiba-tiba. “Bantuin Brina aja. Kasihan dia. Lagian, barangku cuma sedikit.” Wanita itu berbicara dengan nada datar.
“Tapi, Dek—”
“Tuh, kan, Mas… Mbak Ajeng aja mau ngalah kok. Makasih ya, Mbak, udah mau ngertiin aku.”
Ajeng tak menjawab apapun. Wanita itu hanya melangkah pergi lebih dulu, meninggalkan kemuakan karena pasangan laknat itu.
“Kayaknya, si Brina makin jadi aja deh. Parah tuh orang.”
Ajeng menggerutu saat dia sudah sampai di kamarnya. Tangan lincahnya, membuka kunci pass menggunakan kartu, lalu masuk dengan santai.
“Dasar perempuan nggak tahu malu. Bisanya cuma merengek doang. Tipi, iki kin ligi himil, Mis.”
Sampai di dalam pun, Ajeng masih menggerutu nyinyir, mengikuti cara Sabrina berbicara. Sampai tiba-tiba, sebuah suara membuatnya terkejut.
“Kesel banget kayaknya.”
Ajeng memang terlonjak kaget. Tapi, karena dia paham siapa orangnya, wanita itu hanya bisa menanggapi dengan malas.
“Lama-lama anda benar-benar nggak sopan, Pak.” Sinis Ajeng sambil berjalan mendekat.
“Maaf, habisnya sekarang aku udah tahu cara mudah memanjat dindingnya.”
“Ck. Sudahlah! Bapak mau apa kesini? Jangan ganggu saya karena saya sibuk mau beres-beres."
Ajeng sudah lebih bisa menerima Biantara sebagai teman.
"Beres-beres apa?" Biantara mengernyit.
"Kami mau pulang."
“Sayang sekali ya. Kita akan lama nggak ketemu kalau kamu pulang."
“Anda bisa hubungi saya kalau masih berharap meniduri saya.”
“Tentu saja, Baby. Pasti akan aku lakukan. Tapi, aku kesini ada perlu sama kamu.”
Ajeng mengerutkan keningnya. “Perlu apa?”
Biantara tak langsung menjawab. Lelaki itu mengambil sesuatu dari kantong celananya, lalu menyerahkan kepada Ajeng.
“Ini buat kamu.”
Ajeng belum menerima. Dia hanya menatap kotak beludru hitam di tangan Biantara.
“Apa ini?”
“Cincin berlian. Buat ganti logam mulia yang diambil sama madumu.”