Kisah dewasa (mohon berhati-hati dalam membaca)
Rianti bekerja di perusahaan milik Bramantya, mantan suami adiknya. Menjelang pernikahannya dengan Prabu, ia mengalami tragedi ketika Bramantya yang mabuk dan memperkosanya. Saat Rianti terluka dan hendak melanjutkan hidup, ia justru dikhianati Prabu yang menikah dengan mantan kekasihnya. Di tengah kehancuran itu, Bramantya muncul dan menikahi Rianti, membuat sang adik marah besar. Pernikahan penuh luka dan rahasia pun tak terhindarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Setelah beberapa hari di rumah sakit, dokter mengijinkan Rianti untuk pulang ke rumah.
"Sayang, kita mampir ke rumah Mama Nita dulu, ya." ajak Bramantya.
Rianti menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis.
Walaupun ia tahu jika mertuanya tidak pernah suka kepada dirinya.
Bramantya langsung melajukan mobilnya menuju ke rumah Mama Nita.
Di sepanjang perjalanan, Bramantya tidak melepaskan genggaman tangannya.
"Tidak usah takut, sayang. Ada aku disini." ucap Bramantya.
Rianti mengangguk kecil dan percaya jika suaminya akan selalu menjaganya.
Rumah besar bercat putih itu berdiri angkuh di ujung jalan. Dari luar saja, Rianti sudah bisa merasakan hawa dingin menyelimuti.
Bramantya turun lebih dulu dan membukakan pintu mobil untuk istrinya.
“Pelan-pelan,” ucapnya lembut sambil menggandeng tangan Rianti.
Begitu mereka melangkah masuk ke dalam rumah, aroma parfum bunga melati yang terlalu menyengat menyambut mereka.
Tak perlu menunggu lama dari arah ruang tamu, terdengar suara hak sepatu menghentak lantai marmer.
Tok. Tok. Tok.
Mama Nita muncul dengan jaket sutra mewah warna emas, tangan terlipat di dada, bibir mengerucut seperti baru mencium bau tak sedap.
"Mama kira kamu tidak mau pulang, Bram." sindirnya tanpa basa-basi.
Rianti menghela nafasnya dan menyapa Mama Nita.
“Assalamualaikum, Ma.”
“Waalaikumsalam,” jawab Mama Nita datar.
Rianti menjulurkan tangannya dan akan mencium tangan Mama Nita.
Namun Mama Nita sudah berjalan menjauh dan tangannya bertolak pinggang.
“Bram, Mama cuma mau tanya. Ini kalian ke sini buat silaturahmi atau buat bawa masalah baru?”
Rianti menggenggam tangan suaminya dan memintanya untuk sabar.
"Ma, aku kesini untuk menjenguk Mama dan Papa. Bukan bawa masalah baru." jawab Bramantya.
Mama Nita yang mendengarnya langsung melengos.
“Jujur saja ya, Rianti.” Ia menatap Rianti dari atas sampai bawah. “Kadang Mama suka heran… dari semua perempuan yang mendekati Bram, kenapa kamu yang dipilih?”
Rianti diam, senyum tipis tapi matanya jelas menahan diri.
Mama melanjutkan dengan nada lebih ketus agar Rianti sakit hati.
“Lihatlah Linda, adikmu itu. Cantik, sopan, manis, feminin. Jauh lebih halus dari kamu. Bahkan waktu jadi istri Bram dulu, dia nggak pernah marah-marah atau drama seperti kamu.”
Bram langsung menegakkan tubuhnya saat mamanya mulai keterlaluan.
“Mama, cukup!"
Tapi Mama Nita pura-pura tak dengar dan tetap menyindir Rianti.
“Dulu waktu Bram sama Linda, Mama tenang. Rumah ini adem. Tapi, sekarang? Baru beberapa hari nikah saja , ributnya kayak sinetron 200 episode.”
Rianti mengedip pelan, lalu tersenyum miring ke arah Mama Nita.
“Maaf kalau saya tidak bisa menjadi pemeran utama yang Mama suka.”
“Hah?”
Rianti menatap langsung ke arah Mama Nita yang sedang membandingkannya dengan Linda.
“Saya memang bukan Linda. Dan saya juga bukan mantan Bram yang lama-lama hilang sendiri.”
“Berani jawab, kamu!"
Bramantya langsung menggenggam tangan Rianti lebih erat.
“Mama, mulai hari ini aku nggak mau ada yang merendahkan istriku. Termasuk Mama.”
“Bram! Kamu berani sama Mama?!”
Bram berdiri tegak dan menatap wajah Mama Intan.
“Aku berdiri di pihak orang yang aku nikahi. Kalau Mama tidak bisa menghargai istriku. Kami akan pulang sekarang.”
Mama Nita terdiam, jelas terkejut karena anaknya berani membentak.
Rianti berdiri tegak di samping suaminya dan tanpa menunggu reaksi lagi, Bram meraih tangan Rianti.
“Ayo, Sayang.”
Rianti menunduk sopan ke arah Mama yang memandangnya sangat sinis.
“Terima kasih sudah menerima kami, Ma. Walau cuma beberapa menit.”
Mereka berdua langsung meninggalkan rumah Mama Nita.
Mama Nita hanya berdiri mematung dengan bibirnya bergetar, antara marah dan tak percaya.
Bramantya pergi dari rumah itu dengan kepala tegak, menggandeng istrinya dengan bangga, bukan dengan rasa bersalah.
Ia segera melajukan mobilnya menuju ke apartemennya.
Di sepanjang perjalanan Rianti yang sedikit kecee dan hanya diam.
"Sayang, kamu kenapa? Marah soal mama tadi?" tanya Bramantya.
Rianti memejamkan matanya dan tidak menjawab pertanyaan dari suaminya.
Bramantya kembali fokus menyetir agar lekas sampai di apartemennya.
Beberapa jam kemudian ia menghentikan mobilnya di parkiran apartemen.
"Sayang..."
Rianti langsung turun dari mobil dan masuk kedalam lift.
Bramantya mengejar Rianti masuk ke lift, tepat sebelum pintunya menutup.
“Rianti…” panggilnya pelan.
Rianti tetap menatap ke depan, tidak menoleh sedikit pun.
Lift bergerak naik dengan hening yang terasa lebih mencekik dari teriakan.
Sesampainya di lantai apartemen mereka, Rianti melangkah cepat menuju pintu.
Bramantya mengikutinya, menahan langkahnya agar tetap tenang.
Begitu pintu tertutup di belakang mereka, Rianti langsung melepas genggaman tangannya dari Bram.
Ting!
Pintu lift terbuka dan Rianti langsung masuk ke apartemen.
"Sayang, jangan diam seperti ini. Aku minta maaf soal mama tadi." ucap Bramantya sambil menggenggam tangan istrinya.
Rianti melepaskan tangan suaminya dan masuk ke kamar.
Bramantya menghela nafas panjang saat melihat istrinya yang sedang marah.
Tok... tok....
"Sayang, boleh aku masuk?" tanya Bramantya.
Rianti belum menjawabnya dan Bramantya langsung masuk begitu saja.
Bram berjalan mendekat, lalu berlutut di depannya.
“Sayang, marah lah kepadaku, tapi jangan diam seperti ini. Rasanya lebih sakit daripada dimaki.”
Rianti masih menatap lurus ke depan dan tidak menghiraukan perkataan dari suaminya.
Bram menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi seperti menyerah.
“Baiklah. Jika istriku marah, aku siap dihukum.” katanya sambil pura-pura serius
“Hukuman?” gumamnya lirih.
“Apa saja. Tampar aku. Suruh aku cuci piring sebulan. Atau ikat aku di tiang bendera juga boleh.”
Rianti akhirnya menoleh dan menahan senyumnya.
“Tiang bendera nggak muat,” ucap Rianti.
Bram memasang wajah pura-pura kecewa dengan perkataan istrinya.
“Berarti tiang ranjang?”
Rianti mendengus pelan, lalu berdiri dan membuka tasnya.
Bram memperhatikan gerak-gerik istrinya yang membuat rasa penasaran.
Rianti mengeluarkan borgol pink berbulu yang kemarin mereka pakai di rumah sakit.
“E… itu…”
Belum sempat ia selesai bicara, Rianti memasang borgol itu ke salah satu pergelangan tangan Bram, lalu mengaitkannya ke gagang ranjang.
“Mulai sekarang kamu tahanan negara,” ucap Rianti dingin.
“Tahanan negara tapi hatinya cuma boleh untuk istrinya, kan?”
Rianti pura-pura tidak dengar, lalu berdiri sambil menyilangkan tangan.
“Coba teriak minta maaf,” ucap Rianti seolah sedang interogasi.
“AKU MINTA MAAF, IBU POLWAN!”
Rianti memutar bola matanya, tapi ujung bibirnya terangkat.
Saat ia akan mengambil bantal untuk duduk tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu.
Tok! Tok! Tok!
“Bram, Rianti. Buka pintunya." ucap Mama yang menunggu di depan pintu.
Rianti yang kebingungan langsung mengambil sapu tangan dan menutup mulut suaminya.
"Jangan buat suara yang bikin mama curiga, ya." ucap Rianti yang kemudian keluar dan menutup pintunya.
Rianti lekas berlari dan membuka pintu apartemen.
Mama mengernyitkan keningnya saat melihat putrinya yang ngos-ngosan.
"Kamu habis ngapain, Ri? Kenapa sampai ngos-ngosan seperti itu?" tanya Mama yang langsung masuk kedalam sambil menaruh masakan yang ia bawa tadi.
Rianti mengambil nafas panjang dan ia mengikuti mamanya yang diruang makan.
"Mama, kenapa tidak menghubungi aku kalau mau kesini?"
Mendengar perkataan dari putrinya, Mama Dewi langsung mengernyitkan keningnya.
"Apa Mama tidak boleh kesini, Ri?'
"M-maksud Rianti bukan seperti itu, Ma."
Rianti yang tidak mau mama curiga dan ia pun mengambil piring.
Mana Bram? Kenapa dari tadi Mama nggak lihat? Dia nggak nyapa Mama?”
Rianti menegakkan tubuhnya dan menjawab cepat.
“Bram, pergi sebentar.”
“Pergi? Pergi kemana? Kok kamu ngos-ngosan kalau suamimu lagi nggak ada?”
“A-aku tadi sedang mengepel, Ma."
“Ngepel sambil lari?” tanya Mama penasaran.
“Spor—sport cleaning, Ma. Lagi tren di TikTok,” jawab Rianti asal.
“Oh, iya Mama pernah lihat. Yang ngepel pakai gerakan breakdance itu, kan?”
“Betul,” jawab Rianti sok yakin.
Mama kembali melihat sekeliling, kecurigaannya belum hilang.
“Ya sudah. Mama panggil Bram dulu, suruh pulang. Mama mau bilang langsung makasih karena kamu udah sembuh.”
“Jangan telepon, Ma! Bram nggak bawa ponsel ”
“Ri,. sepertinya kamu sedang menyembunyikan sesuatu.”
“Mana ada, Ma,” jawab Rianti sambil tertawa terlalu lebar.
“Tunggu sebentar,” ucap Mama sambil berjalan ke arah kamar.
Rianti ikut panik mengikuti dari belakang.
“Ma! Jangan masuk ke kamar!”
“Mama cuma mau taruh boneka pemberian Mama di atas tempat tidur kalian,” ucap Mama sambil meraih gagang pintu.
Rianti langsung berdiri menghalangi pintu kamar dengan kedua tangan.
“Tidak boleh!”
“Kenapa? Apa Bram di dalam?”
“Enggak! Kucing!”
“Kucing?”
“Eh, tikus!”
Mama Dewi langsung melonjak ke belakang saat mendengar perkataan dari putrinya.
“Tikus? Di kamar?”
“Iya Ma, gede banget. Kayak biawak berkumis. Bram lagi ngejar tadi sebelum pergi.”
Mama Dewi langsung memasukkan semua makanan ke dalam tasnya dengan panik.
“Ya Allah! Mama nggak suka tikus! Baru dengar kata ‘kumis’ aja Mama udah mau pingsan!”
“Iya Ma, makanya Mama pulang dulu. Nanti kalau tikusnya nyerang Mama kan bahaya.”
“Betul! Betul!” Mama langsung meraih tas dan sandal.
“Sudah, Mama pulang dulu. Jangan lupa semprotkan kapur barus! Kalau tikusnya gede banget, panggil ustadz!”
“Nanti Rianti panggil Pembasmi tikus, Ma!”
“Bagus. Assalamualaikum!” Mama lari keluar begitu saja.
“Waalaikumsalam!” Rianti menutup pintu dengan cepat, lalu bersandar sambil tertawa lega.
Ia berjalan ke arah kamar dan membuka pintu dan melihat Bramantya masih duduk di lantai, tangan satu terborgol di gagang ranjang, mulut ditutup saputangan, wajahnya pasrah.
Matanya berbinar-binar seperti anak anjing yang menunggu diselamatkan.
Rianti berdiri di ambang pintu sambil menyilangkan tangan.
“Kenapa, Pak Tahanan? Kesemutan?”
Bram mengangguk cepat, ekspresi menderita tapi lucu.
Rianti langsung tertawa terbahak-bahak melihat suaminya seperti itu.
“Padahal kamu yang sok-sok bilang siap dihukum. Sekarang baru lima belas menit sudah mau nangis.”
Bram menggigit saputangan, mendesah frustasi ke arah istrinya.
Rianti berjalan mendekat sambil menggelengkan kepalanya.
“Sabar ya. Tahanan negara belum boleh bebas.”
Bram menatapnya memohon dengan mata berkaca-kaca.
Rianti mendekat… tapi bukannya melepas borgol dan malah mengambil kamera ponselnya dan memotret suaminya.
Cekrek!
“Buat kenang-kenangan.” ucap Rianti yang kemudian mendekat ke arah suaminya.