Viona Mollice, gadis 24 tahun—penghasil pundi-pundi uang yang bekerja keras bagaikan kuda. Ia melakukan beberapa pekerjaan dalam sehari hanya untuk menyambung hidup, juga membayar biaya kuliahnya.
Suatu hari, Viona mendapatkan tawaran pekerjaan dari temannya yang sama-sama bekerja di Harmony Cafe. Namun, entah bagaimana ceritanya hingga wanita itu bisa terbangun di sebuah kamar hotel yang sangat mewah nan megah dalam keadaan tidak wajar.
"Meskipun aku miskin dan sangat membutuhkan uang, tapi aku tidak menjual tubuhku!" ~ Viona Mollice.
***
Daniel Radccliffe, billionaire muda yang merayakan ulang tahunnya ke-27 tahun di sebuah club malam ternama di kotanya dengan mengundang banyak wanita dari berbagai kalangan.
Club malam dan wanita adalah gaya hidup lelaki yang biasa disapa Erick. Bertukar wanita sudah seperti bertukar baju yang dilakukannya beberapa kali dalam sehari. Bahkan, Erick membuang wanita segampang membuang permen karet. Dan sudah menjadi rahasia umum, jika Erick bangu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsme AnH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kau Akan Menyesal!
"Mama, Papa, Om, dan Tante," panggil Daniel tiba-tiba, menghentikan canda tawa antara kedua orang tuanya, juga kedua orang tua Shopia.
Tatapan lelaki itu tertuju pada satu per satu insan yang menghadiri acara makan malam keluarga untuk membahas pernikahannya dengan Shopia yang akan dilangsungkan beberapa minggu mendatang.
"Aku mau bicara serius dengan kalian semua," ujarnya lagi dengan wajah serius, membuat semua orang yang ada di sana juga memasang wajah serius.
Terutama Natasha yang diam-diam mengintip dari balik tembok untuk mencuri dengar pembicaraan mereka semua.
Dan ketika mendengar Daniel angkat bicara, perasaannya tiba-tiba saja tidak enak, jantungnya berdetak cepat.
Kekhawatiran seketika melanda dirinya, khawatir putra semata wayangnya itu mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dikatakan di depan orang lain, terutama di depan keluarga Shopia.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Maxim, papa Daniel.
Lelaki paruh baya yang masih terlihat gagah, meski sudah memasuki umur setengah abad, bicara dengan suara pelan. Akan tetapi, tatapannya menyorot Daniel dengan penuh peringatan.
Seakan dari tatapannya mengatakan, 'Jangan katakan apa pun, atau kau akan menyesal!'
Daniel membalas tatapan Maxim tanpa rasa takut, lelaki itu bahkan bersikap menantang dan menanti pembalasan sang papa ketika dirinya mengungkapkan segalanya di depan semua orang.
Setelah cukup lama saling bertelepati dengan Maxim melalui tatapan, Daniel mengalihkan pandangannya ke arah tunangan dan kedua calon mertua yang duduk tepat di depannya.
"Aku—" Ucapan Daniel terhenti oleh dering ponsel yang tergeletak di samping piringnya.
Daniel melihat nama pemanggil yang tertera di layar ponselnya, lelaki itu mengabaikan panggilan masuk dari sang mama dengan men-slide tombol berwarna merah di layar benda pipih itu, hingga panggilan tersebut terputus.
Namun, sekali lagi ponselnya berdering, menghentikan gerak bibir Daniel yang ingin mengeluarkan suara untuk mengungkap jati dirinya sendiri.
Daniel berdecak kesal, menatap ponselnya dengan tatapan tajam, seakan tatapannya mampu menelan benda pipih itu agar tidak mengacaukan rencananya.
Sekali lagi, Daniel mematikan panggilan masuk dari Laudya. Ia sangat yakin, sang mama pasti ingin menghentikan tindakan impulsifnya saat ini.
Menghela napasnya, itulah yang dilakukan Daniel saat ponselnya kembali mendapatkan notifikasi panggilan masuk dari Laudya.
Satu hal yang Daniel lupakan, jika dia terus-menerus mengabaikan panggilan dari sang mama, wanita itu pasti tidak akan menyerah begitu saja untuk menghubunginya sampai panggilan tersebut tersambung.
"Angkat dulu, siapa tau itu penting," ujar Safira, mamanya Shopia yang mulai risih dengan gangguan dari ponsel pintar calon menantunya.
"Gak sopan telponan, sementara ada kalian di sini," sahut Daniel.
"Gak papa, kita sebentar lagi akan menjadi keluarga. Jadi, jangan terlalu sungkan," balas Safira dengan senyum palsunya.
"Baiklah, aku angkat sebentar," ujar Daniel, bersikap sesopan mungkin dan pamit undur diri untuk mengangkat panggilan telepon dari sang mama yang sudah tentu akan memberikannya tausiah.
Sementara itu, Chaterine—istri Maxim—hanya diam menjadi penonton dan pendengar yang baik. Tidak memberikan tanggapan apa pun, atau mungkin, belum ingin.
Daniel pergi ke kamarnya, dan di saat bersamaan teleponnya kembali berdering. Tidak menunggu lama, lelaki itu langsung mengangkat panggilan tersebut.
"Danny, Mama mohon, jangan katakan apa pun ke mereka." Permohonan Natasha menjadi pembuka percakapan saat Daniel menjawab panggilan yang kesekian kalinya masuk ke ponsel sang putra.
"Tolong jangan cegah aku, Ma," balas Daniel tak kalah memohon pada sang mama. "Aku capek hidup seperti ini terus," imbuhnya.
Lelaki itu berdiri di dekat dinding kaca yang menampakkan pemandangan indah kota metropolitan yang menjadi tempat tinggalnya.
"Jika kamu mengatakan segalanya, tidak ada yang akan berpihak padamu, Danny!"
"Apa Mama juga gak akan berpihak padaku?" tanya Danny dengan alis yang terangkat sebelah, tangan kanannya ia masukkan ke saku celana, sementara tangan kirinya ia gunakan untuk menggenggam handphone, dan tatapannya jauh tertuju pada hamparan kota yang dihiasi lampu kelap-kelip.
"Mama pastinya akan tetap berpihak padamu, apa pun yang terjadi," jawab Natasha penuh keyakinan. "Namun, dukungan dari Mama aja gak akan cukup untuk membuatmu menjadi pengganti papamu."
"Aku gak pernah mau menjadi pengganti papa, Ma. Posisi itu milik kakak, dan aku gak akan pernah merebutnya!" balas Daniel tegas.
Bagi Daniel, perusahaan dan seisinya adalah milik Mattew Radcliffe, kakaknya. Ia tidak pernah berniat merebut hak sang kakak. Jika itu dilakukannya, Mattew pasti akan semakin membenci dirinya.
"Danny, tolong dengarkan Mama kali ini aja," ucap Laudya memelas.
"Kalau kamu mengatakan segalanya, keluarga Shopia pasti akan membatalkan pernikahan kalian. Dan kamu gak akan mendapatkan apa pun dari papamu. Jangankan saham, bahkan secuil hartanya, gak akan dia berikan padamu," terang Natasha panjang lebar, berharap sang putra mengerti kebimbangannya sebagai seorang ibu.
"Apa hanya kekayaan papa yang Mama pedulikan? Bagaimana dengan kebahagiaanku?"
"Ini juga demi kebahagiaanmu, Danny!" tegas Natasha meninggikan suaranya.
"Aku sama sekali gak bahagia dengan perjodohan bodoh ini, Ma!" balas Daniel tak kalah tegas.
"Kamu lebih tidak akan bahagia jika hidup tidak memiliki apa pun, Danny!"
"Apa Mama bahagia hidup seperti ini?" Daniel memberikan pertanyaan yang mampu membungkam Laudya. "Hidup dalam gelimangan harta yang papa suguhkan, tetapi harus bersembunyi dari dunia karena dianggap aib."
Natasha semakin bungkam, hatinya begitu perih mendengar pertanyaan sang putra yang begitu menampar dirinya.
Memang benar, dirinya tidak bahagia menjalani hidup seperti itu. Akan tetapi, ia juga tidak ingin melihat putranya tersungkur-lumus, hanya untuk mencari sesuap nasi.
"Daniel—" Ucapan Natasha terpotong, kala Daniel menyela.
"Aku gak peduli, Ma!" Daniel tetap saja keras kepala, melebihi kerasnya batu.
"Setidaknya, pikirkan Mama juga saat kamu mengambil keputusan ini, Danny! Apa yang akan terjadi pada Mama ke depannya?"
Daniel bungkam mendengar penuturan sang mama, otak kecilnya tiba-tiba saja berkelana memikirkan nasib mamanya setelah segalanya terungkap.
"Mama akan semakin hina di mata mereka," ucap Natasha sendu, mulai melunak, membuat Daniel semakin bimbang dengan keputusan yang harus diambilnya.
"Pikirkanlah baik-baik!" Natasha menyudahi diskusi tersebut dengan mematikan sambungan telepon, membiarkan dirinya menangis dalam diam untuk kesekian kalinya.
Sementara itu, Daniel meremas kuat ponselnya, lalu mengacak rambutnya dengan kasar guna menyalurkan amarah yang merasuki jiwa raganya. Lelaki itu sangat murka dengan keadaan yang begitu kejam pada dirinya, juga sang mama.
Untuk beberapa saat, Daniel hanya duduk di pinggir ranjang dengan pikiran kalut. Lelaki itu juga mencoba meredamkan emosinya yang hampir saja meledak.
Setelah cukup tenang, Daniel merapikan pakaiannya dan kembali ke ruang makan, di mana pertemuan dua keluarga diadakan di sana.
"Maaf lama," ucap Daniel dengan memaksakan senyumannya.
"Gak papa," ujar Safira yang begitu handal mengumbar senyum palsu di wajahnya.
"Siapa yang menelponmu?" selidik Maxim dengan memicingkan matanya.
"Temanku," sahut Daniel, singkat dan penuh dusta.
Maxim masih menatap Daniel dengan penuh selidik, tidak mempercayai apa yang dikatakan sang putra.
Namun, tidak juga memaksa Daniel untuk mengatakan sejujurnya lantaran masih ada keluarga Shopia di antara mereka.
Melihat suami dan putranya saling berperang melalui tatapan, Chaterine berinisiatif untuk membuka suara agar keduanya menyudahi perang tersebut.
Namun, suara Safira lebih dulu memecah keheningan yang terjadi, membuat suasana kembali mencengkam.
"Oh, iya. Apa yang ingin kamu katakan tadi?" tanya Safira sangat penasaran, terlihat dari raut wajahnya yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu.