Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua suasana yang berbeda
Pagi berikutnya, suasana aula utama Tokyo International Convention Hall sudah ramai sejak matahari baru naik. Bendera dari berbagai negara berjajar di sepanjang dinding, dan nama-nama peserta terpampang rapi di layar besar di depan ruangan. Viora mengenakan setelan formal: kemeja putih dengan jas abu muda, dan rambutnya diikat rapi ke belakang. Sorot matanya tajam, fokus — seolah seluruh energi malam tadi telah berubah menjadi tekad.
Arvin berdiri di sebelahnya, menepuk pelan bahunya.
“Siap, partner?” katanya dengan semangat.
Viora mengangguk singkat. “Lebih dari siap.”
Sementara itu, Agler berdiri beberapa langkah di belakang mereka, mengenakan jas hitam dengan dasi abu gelap. Tatapannya dingin, tapi penuh perhitungan. Ia bukan peserta, namun jelas bukan sekadar penonton biasa. Ia mengamati suasana, sesekali memerhatikan interaksi peserta lain dengan pandangan penuh analisis — seperti elang yang menilai medan sebelum berburu.
“Dia gak ikut lomba, tapi auranya paling intens di ruangan ini,” gumam salah satu peserta dari negara lain, tanpa sadar mencuri pandang ke arah Agler.
Arvin terkekeh mendengarnya. “Percaya deh, itu emang udah bawaan dia.”
Setelah upacara pembukaan selesai, panitia mulai memanggil peserta ke ruang kompetisi masing-masing. Untuk kategori Innovation & Technology Proposal, Viora dan Arvin termasuk dalam batch pertama. Mereka melangkah ke ruang ujian yang besar, dipenuhi meja panjang dan komputer. Setiap peserta duduk terpisah, suasana sunyi hanya diisi bunyi keyboard dan instruksi dari juri.
Viora duduk di kursi nomor 17, tepat di depan dinding kaca besar yang menghadap taman musim gugur. Jemarinya sudah siap di atas papan ketik, tapi matanya sempat melirik ke luar ruangan — di sana, berdiri Agler.
Ia bersandar di pilar marmer, tangan di saku, menatapnya dari balik kaca. Tatapan itu tajam, tapi tidak mengintimidasi. Ada sesuatu di dalamnya — semacam... pengawasan, atau entah lah.
Viora menelan napas kecil, lalu menunduk. Fokus, Vi. Ini kesempatan lo.
Instruksi dimulai. Waktu berjalan. Ia mengetik, menganalisis, dan menyusun argumen dalam bahasa Inggris fasih. Wajahnya tenang, tapi pikirannya bekerja cepat. Di layar, ide yang ia tulis tentang eco-technology in urban architecture mulai terbentuk menjadi konsep utuh.
Beberapa jam berlalu, dan akhirnya sesi presentasi dimulai. Viora maju dengan percaya diri. Ia berbicara lancar, ekspresif, dan setiap kalimatnya mengandung keyakinan. Sorot mata para juri mengikuti, sementara beberapa peserta lain bahkan terlihat mencatat idenya.
Dari luar ruangan, Agler masih memperhatikan — ekspresinya sulit dibaca. Tapi saat gadis itu menyelesaikan presentasinya dengan kalimat penutup yang tegas dan elegan, sudut bibirnya sedikit terangkat. Sangat tipis, tapi nyata.
°°°
Usai sesi pertama, para peserta dipersilakan beristirahat di taman belakang gedung. Arvin langsung menghampiri Viora yang sedang duduk di bangku kayu, meneguk air mineral sambil menatap hamparan bunga musim semi yang mulai bermekaran.
“Gila, Vi. Lo keren banget tadi!” serunya sambil menjatuhkan diri di bangku sebelahnya. “Gue yakin juri Jepang itu bahkan nyatet kata-kata lo.”
Viora tertawa pelan. “Gak sejago itu kali, Kak. Tapi makasih, gue cuma berusaha sebaik mungkin.”
“Se...baik... mungkin?” Arvin menirukan dengan nada menggoda. “Lo tuh kayak robot kompetisi, tau gak? Fokus banget. Bahkan semua orang di sana sampai bengong ngeliatin.”
Viora mengerjap cepat, lalu terkekeh. “Bisa aja, Kak Arvin.”
Arvin meneguk airnya, lalu melirik ke arah gadis itu. “Tapi serius, lo emang berbakat. Gue belum pernah liat partner presentasi se-tenang lo waktu debat.”
Viora tersenyum lembut. “Kalau gue bisa tenang, itu juga karena lo, Kak. Lo yang bikin suasananya enak.”
Arvin mengangkat alis. “Gue?”
“Iya,” jawab Viora tanpa ragu. “Lo ngerti cara ngimbangin partner lo. Nggak nyerobot, nggak dominan, tapi tetap ngarahin dengan halus. Itu keren banget.”
Arvin sempat terdiam, lalu tertawa kecil sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Waduh, ini pujian serius atau strategi supaya gue traktir makan malam nanti?”
Viora tersenyum geli. “Dua-duanya bisa aja, sih.”
Arvin terkekeh. “Oke, noted. Berarti nanti gue yang traktir. Tapi lo yang milih tempatnya. Deal?”
“Haha... gue bercanda kali, Kak.” Tawa Viora pecah, matanya menyipit karena tawa lepasnya. Cahaya sore yang jatuh lewat celah pepohonan membuat rambutnya berkilau samar.
Arvin yang duduk di sampingnya sempat tertegun—hanya sebentar. Tapi cukup untuk membuat dadanya berdesir hangat.
Lo... kalau ketawa gitu, lucu. Kayak anak kecil,” ucap Arvin sambil terkekeh kecil, lalu tanpa sadar tangannya terulur dan mengacak lembut puncak kepala Viora.
Viora berhenti tertawa. Senyumnya masih tersisa, menyadari sentuhan ringan itu. Beberapa helai rambutnya berantakan, sementara Arvin masih belum sadar dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Hening sepersekian detik.
Begitu kesadarannya kembali, Arvin buru-buru menarik tangannya, menatap ke arah lain dengan wajah sedikit memerah. “Eh—sorry! Refleks. Gue gak sengaja.”
Viora menunduk sambil merapikan rambutnya,“Gak apa-apa... cuma kaget aja.”
Arvin tertawa canggung, mencoba mencairkan suasana. “Hehe... maklum, kebiasaan. Biasanya gue gitu ke adik gue kalo dia lagi ketawa heboh.”
Mereka sama-sama tertawa pelan, sementara suasana taman dipenuhi suara burung kecil dan aroma manis bunga yang tertiup angin.
°°°
Di sisi lain, ribuan kilometer dari Tokyo—di ruang OSIS Satropa Academy, Jakarta—suasana sore itu terasa padat dan melelahkan.
Kertas proposal, berkas kegiatan, serta map berwarna-warni bertumpuk di atas meja panjang. Di ujung meja, Rafka duduk dengan wajah serius; kemeja putihnya tergulung sampai siku, pena di tangan kanan terus menari di atas lembar laporan yang belum sempat ia tanda tangani.
Ruang OSIS yang biasanya ramai kini hanya menyisakan beberapa anggota. Sebagian sudah pulang, sebagian lagi masih membereskan dokumen untuk kegiatan sekolah yang akan berlangsung akhir pekan nanti.
Friska, yang duduk tak jauh darinya, melongok dari balik tumpukan kertas sambil berdecak kecil.
“Ketua, lo gak capek? Dari tadi siang belum berhenti tanda tangan. Itu berkas tinggal segunung lagi, loh.”
Rafka tidak langsung menjawab. Ia menutup map di depannya, menghela napas panjang, lalu memijat pelipisnya yang terasa pening.
“Kalau gak diberesin hari ini, besok makin numpuk. Gue males liat meja kayak kapal pecah.”
Friska terkekeh kecil. “Kapal pecah aja masih bisa berlayar kali, Raf. Lo tuh kayak robot, sumpah. Udah hampir seminggu Viora pergi, tapi lo tetap gak berubah—dingin, sibuk, fokus.”
Rafka berhenti menulis. Tatapannya kosong beberapa detik, pena di tangannya menggantung di udara.
Ia menatap jendela ruang OSIS yang menampakkan langit sore Jakarta—warna oranye lembut menyapu atap sekolah.
“Kalau gue gak sibuk,” katanya pelan, “gue malah makin kepikiran.”
Friska menatapnya, senyum di wajahnya memudar perlahan.
“Masih mikirin dia, ya?” tanyanya lembut.
Rafka tidak menjawab, hanya mengalihkan pandangannya kembali ke tumpukan kertas. Tapi senyum samar di sudut bibirnya sudah cukup menjadi jawaban.
Friska menopang dagu di tangannya, menatapnya dalam diam. “Lo kangen, tapi gengsi ngaku.”
“Enggak.”
“Raf.”
“Ya... mungkin dikit,” ujarnya akhirnya, lirih.
Friska tersenyum puas, menepuk meja pelan. “Nah, itu baru manusiawi.”
Rafka hanya menggeleng kecil, tapi tatapan matanya kembali jatuh ke jendela.
Langit sore di luar mulai memudar, dan di sana—entah di bawah langit Tokyo atau di balik keramaian kota asing—ia tahu Viora sedang berjuang untuk sesuatu yang penting.
Ia menggenggam pena lebih erat. “Semoga dia baik-baik aja di sana,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Friska menatapnya, lalu beranjak berdiri. “Dia pasti baik-baik aja, Raf. Apalagi kalau tahu ada seseorang di sini yang gak pernah berhenti mikirin dia.”
Rafka hanya tersenyum tipis tanpa menoleh, pura-pura sibuk dengan berkas di depannya. Tapi di balik ekspresi datar itu, dadanya terasa hangat—dan sedikit sesak.
\*\*\*
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶