Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.
Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.
Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Tahap Kedua
Pukul empat dini hari. Kastil Kaki Naga Langit masih tertidur, hanya suara serangga malam yang terdengar di kejauhan. Udara dingin menyelimuti, kabut tipis bergelayut di antara bangunan asrama yang berjajar.
Dari salah satu asrama, sebuah bayangan melompat ringan ke atap tanpa suara—bayangan itu adalah Wēi Qiao.
Ia mengenakan pakaian hitam ketat, topeng kain menutupi sebagian wajahnya, membuatnya tampak seperti sosok pembunuh bayaran dari dunia kegelapan. Matanya yang tajam menatap ke depan, penuh tekad.
“Micro Bots,” bisiknya lirih. “Aktifkan mode penglihatan malam.”
Suara tenang yang familiar terdengar di dalam kepalanya,
“Mengaktifkan mode penglihatan malam. Visualisasi diperluas 200%. Semua objek dalam radius seratus meter kini terdeteksi, Tuan.”
Pandangan Wēi Qiao berubah. Dunia gelap mendadak tampak jelas dengan cahaya kehijauan, setiap gerakan kecil dari tikus hingga bayangan daun terlihat detail. Ia melangkah cepat ke arah bangunan asrama kelompok enam.
“Pindai semua orang di dalam,” perintahnya.
Beberapa detik kemudian, suara mekanis menjawab,
“Pemindaian selesai. Total 19 orang terdeteksi dalam ruangan ini. Data perbandingan: tidak ada yang cocok dengan karakteristik orang bertopeng yang menyerang sebelumnya. Namun… ada satu anomali. Seharusnya terdapat 20 anggota, satu orang tidak berada di ruangan.”
Mata Wēi Qiao menyipit. Senyum sinis muncul di wajahnya.
“Jadi benar… dia yang menyerang Xiaolán.”
Ia bergerak. Dengan langkah sehalus bayangan, ia menyusup masuk ke dalam asrama kelompok enam. Pintu bergeser tanpa bunyi, dan tubuhnya lenyap ke dalam kegelapan ruangan.
Suasana di dalam sunyi. Hanya napas teratur para murid yang sedang tidur.
Perlahan, Wēi Qiao mengeluarkan sekumpulan jarum akupuntur yang ia curi dari ruang tabib. Jemarinya bergerak cepat, menusukkan jarum ke titik saraf kaki satu demi satu murid.
Tak ada jeritan, hanya sesekali desahan pendek sebelum tubuh mereka lumpuh—pincang permanen untuk beberapa hari ke depan.
Setelah itu, Wēi Qiao menepuk leher mereka dengan serangan pembuluh darah, membuat para murid tertidur lebih dalam, tanpa pernah sadar apa yang terjadi.
Selesai. Dua puluh detik—dan sembilan belas murid kelompok enam sudah lumpuh, tertidur tanpa bekas perlawanan.
Wēi Qiao keluar dengan tenang, wajahnya menampilkan senyum kejam penuh kepuasan. “Selesai. Ini… balasan kecil untuk apa yang mereka lakukan.”
Namun senyum itu langsung hilang ketika suara datar Micro Bots terdengar di kepalanya,
“Peringatan. Tekanan darah Anda menurun drastis. Tubuh Anda mengalami kelelahan parah. Kurang tidur selama tiga hari terakhir terdeteksi. Risiko: 72%.”
Wēi Qiao mendengus, wajahnya masam.
“Ya ampun, kau ini Micro Bots atau ibuku sih? Selalu saja soal tidur, makan, kesehatan! Nyenyenye… ‘tuan, tekanan darah menurun, tuan kurang tidur, tuan harus istirahat.’ Benar-benar menjengkelkan.”
“Data kesehatan tidak untuk ditertawakan, Tuan.”
“Yayayaya… baiklah Ibu Bots,” jawab Wēi Qiao dengan nada mengejek. “Aku akan tidur… setelah aku meratakan semua orang di ujian besok.”
“…Sikap keras kepala Anda membuat kemungkinan hidup Anda turun 15%.”
Wēi Qiao menepuk dahinya, hampir tertawa meski kesal.
“Sudah, diamlah kau! Kalau terus mengomel begini, aku lebih cepat mati karena kupingku jebol daripada karena musuh.”
“…Kuping Anda baik-baik saja, Tuan.”
“ARRGHHH!” Wēi Qiao menggeram, lalu melesat kembali ke asrama kelompoknya. Ia mendarat di atap dengan ringan, menuruni sisi bangunan seperti hantu.
Di dalam dadanya, masih ada amarah, masih ada tawa getir, tapi juga semangat yang tak bisa padam. Ujian tahap kedua tinggal menunggu waktu—dan malam itu, ia sudah menuliskan awal kehancuran lawan-lawannya.
Pagi pun datang, Langit pagi itu cerah, tapi udara di sekitar arena terasa berat. Ratusan murid berkumpul di bawah pendopo besar, menunggu giliran mereka. Tiang-tiang tinggi berukir naga menopang atap merah tua, dan di tengah-tengah lapangan, sebuah stage kayu raksasa berdiri kokoh, siap menelan ambisi siapa saja yang naik ke atasnya.
Di sisi timur, Wēi Qiao berdiri bersama anggota kelompok delapan. Matanya tak benar-benar tertuju pada kotak undian di hadapannya—ia lebih sibuk menyapu pandangan, mencari bayangan seseorang.
Ketika namanya dipanggil, ia maju, memasukkan tangan ke dalam kotak bambu besar yang dijaga dua pengawas.
Tangannya meraba gulungan kertas, lalu menarik satu.
“Kelompok 8… melawan Kelompok 5,” seru pengawas dengan suara lantang.
Bisik-bisik langsung memenuhi kerumunan. Kelompok 5—diketahui memiliki kekuatan rata-rata lebih tinggi—dipimpin oleh kakak keenam Wēi Qiao, Wēi Yuqi.
Wēi Qiao tersenyum tipis. “Kebetulan yang menyenangkan,” gumamnya.
Wēi Yuqi hanya membalas dengan tatapan tenang, seolah berkata kau bukan tandinganku.
Mereka berdua menuruni tangga pendopo, berjalan menuju sisi timur lapangan. Namun langkah Wēi Qiao melambat ketika matanya menangkap sosok lain di kejauhan—ketua kelompok enam.
Alisnya menurun, dan ia berbisik dalam hati, Micro Bots, pindai dia.
Suara mekanis yang familiar segera menjawab,
“Memulai pemindaian penuh. Waktu proses: 3 detik… 2… 1… Pemindaian selesai. Kecocokan 100%. Identitas cocok dengan karakteristik orang bertopeng yang menyerang malam sebelumnya.”
Sudut bibir Wēi Qiao terangkat, senyum dingin muncul.
“Akhirnya ketemu kau,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Namun ia menahan diri. Sekarang bukan waktunya membalas. Ada duel yang harus ia menangkan dulu.
Beberapa menit kemudian, gong besar dipukul tiga kali.
“Pertandingan pertama, Kelompok 1 melawan Kelompok 3!”
Sorak sorai pecah. Di sisi utara, kakak pertama Wēi Qiao, Wēi Longzhen, naik ke panggung. Tubuhnya tegap, wajahnya memancarkan wibawa seorang pemimpin sejati. Sejak awal, atmosfer di arena terasa berat—bukan karena pertarungan sengit, melainkan karena dominasi mutlak Wēi Longzhen.
Satu demi satu anggota Kelompok 3 tumbang tanpa sempat memberikan perlawanan berarti. Bahkan ketuanya sendiri mengangkat tangan tanda menyerah sebelum tubuhnya benar-benar terluka.
Kemenangan bersih. Tepat seperti yang diharapkan semua orang.
Pertandingan kedua berlangsung cepat—Kelompok 4 mengalahkan Kelompok 2 dengan taktik jarak jauh yang cerdas.
Kini hanya tersisa satu pertandingan sebelum babak berikutnya.
“Pertandingan terakhir, Kelompok 8 melawan Kelompok 5!”
Sorak-sorai kembali bergema, tapi kali ini bercampur dengan tawa meremehkan. Banyak yang menganggap Kelompok 8 hanyalah kumpulan sisa yang tak akan bertahan lama melawan kekuatan disiplin Kelompok 5.
Wēi Yuqi menaiki panggung terlebih dahulu. Senyumnya tenang, tapi tatapan matanya menusuk seperti bilah es.
“Kau sudah siap untuk malu di depan semua orang, Qiao?” katanya pelan, namun cukup keras untuk terdengar di antara deru sorakan penonton.
Wēi Qiao melangkah naik, setiap gerakannya penuh ketenangan aneh, seolah ia tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu. Ia berhenti hanya satu langkah di depan Wēi Yuqi, menatap lurus ke mata kakaknya.
“Siap? Oh, sangat siap,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Tapi aku rasa, yang akan malu… bukan aku.”
Gong besar kembali dipukul. Atmosfer di arena menegang—sebuah benturan keluarga yang tak bisa dihindari akan segera dimulai.
Suasana di arena mendadak sunyi. Hanya suara angin yang menyapu debu di tanah yang terdengar. Wēi Qiao berdiri di depan kelompok 8, matanya menyapu satu per satu wajah anggota timnya—semuanya terlihat ragu, sebagian bahkan menunduk.
Suara hatinya bergemuruh, Mereka… sudah kalah sebelum bertarung.
Dengan satu langkah maju, Wēi Qiao mengangkat pedangnya tinggi, ujungnya mengarah ke langit.
“DENGARKAN AKU!” suaranya menggelegar, memantul di dinding pendopo.
“Jangan takut! Jangan gentar! Mereka mungkin punya nama besar, punya sesuatu yang besar, tapi kita… kita punya tekad yang tidak akan pernah mereka miliki! Mereka pikir kita bisa diinjak? Mereka pikir kita akan tunduk?!”
Suara Wēi Qiao kian meninggi.
“Kita adalah kelompok 8! Hari ini… KITA YANG AKAN MENGINJAK MEREKA SAMPAI RATA DENGAN TANAH!”
“UOHHHH!!!” teriakan membahana dari seluruh anggota kelompok 8, semangat yang tadi redup kini menyala seperti bara yang disiram minyak.
Di seberang, Wēi Yuqi menyipitkan mata lalu tertawa sinis.
“Bocah hina… kau tidak pantas berada dalam perebutan tahta darah. Akan kubuat kau menyesal hari ini juga!”
Matanya seperti kilatan pisau, lalu BRUK! dia menghentakkan tamengnya ke tanah, memberi aba-aba pada kelompoknya. Dalam sekejap, kelompok 5 membentuk formasi menyerupai tombak raksasa, ujungnya tepat mengarah pada Wēi Qiao.
“Formasi penyerbu!” teriak salah satu penjaga di pendopo.
Namun Wēi Qiao hanya tersenyum tipis, menurunkan pedangnya sedikit, lalu memberi isyarat tangan.
“Formasi bertahan… aku di depan.”
“Bodoh…,” gumam penjaga kedua di pendopo. “Fisiknya tak akan mampu menahan serangan Yuqi.”
Teriakan perang terdengar. “MAJUUUUU!!!”
DUARRR!!!
Benturan pertama terjadi—tameng baja Wēi Yuqi menghantam dada Wēi Qiao. Getaran menghentak tanah, debu berhamburan. Tapi anehnya, Wēi Qiao tak bergeser sedikit pun. Seolah tubuhnya adalah tembok yang tak bisa digoyahkan.
“Apa?!” Wēi Yuqi melotot. Bahkan penjaga kedua memiringkan tubuhnya ke depan, tak percaya.
Wēi Qiao meliriknya dingin, lalu mendorong tameng itu perlahan ke belakang. Suara ototnya menegang terdengar seperti gesekan kulit busur.
Yuqi mundur setapak, napasnya memburu. “Hmph! Formasi dua!” teriaknya.
Namun sebelum kelompok 5 bergerak, Wēi Qiao sudah melangkah maju.
“Formasi satu!” teriaknya.
Tapi… itu bukan formasi satu yang biasa. Saat kelompok 8 bergerak, ternyata mereka membentuk formasi lima, lingkaran yang menutup rapat, memaksa kelompok 5 terjebak di tengah.
“Ini… jebakan!” salah satu anggota kelompok 5 panik.
“TEKAN MEREKA!!!” suara Wēi Qiao meledak seperti petir.
CLANG! CLANG! BANG!
Dentang pedang bertemu tameng, hentakan kaki menghantam tanah, dan teriakan perang memenuhi udara. Benturan demi benturan membuat suara logam saling beradu tanpa henti. Kelompok 5 semakin terdesak, gerakan mereka kacau, napas terengah.
Wēi Yuqi yang melihat itu menggeram.
“DASAR BOCAH HINA!!!”
WUUUOSHHH!!!
Yuqi menerjang, tubuhnya seperti panah lepas dari busur. Pedangnya meluncur dengan kecepatan yang membuat udara di depannya terbelah.
SWIIINGGG!!!
Tebasan pertama diarahkan ke leher, namun Wēi Qiao memiringkan tubuh, menghindar tipis. Tebasan itu menghantam tiang kayu arena di belakangnya, membuat KRAKKK!! retakan besar.
Yuqi tidak berhenti—dia memutar tubuhnya setengah lingkaran, melanjutkan tebasan kedua, kali ini rendah, mengincar kaki.
“CLANGG!!!”
Wēi Qiao menahan dengan pedang di bawah, gesekan logam memercikkan api kecil.
Dengan kekuatan penuh, Yuqi menekan pedangnya ke bawah.
“Kau pikir bisa menahanku?!”
Wēi Qiao hanya menyeringai. “Bisa. Dan akan kulakukan berkali-kali.”
Tiba-tiba Wēi Qiao menendang tanah, tubuhnya melayang setengah meter, lalu memutar seperti pusaran angin. Pedangnya meluncur dari atas ke bawah.
DUARRRR!!!
Benturan itu membuat tameng Yuqi terlempar sejauh dua meter.
Sorakan dari penonton pecah. “Itu gila! Dia mematahkan pertahanan Yuqi!”
Yuqi menggeram, napasnya mulai berat.
“Kalau begitu… rasakan jurus ini!”
Aliran Pedang Perang – Bentuk Ketujuh: Pemecah Gunung!
Dia menghentakkan kaki kanan ke tanah, retakan memanjang hingga ke posisi Wēi Qiao. Dengan tenaga penuh, pedangnya meluncur lurus seperti petir menghantam tanah.
BOOOMMM!!!
Debu tebal membubung, menyelimuti arena.
Namun dari balik debu, terdengar suara langkah cepat. TAK! TAK! TAK!
Tiba-tiba Wēi Qiao muncul di sisi kanan Yuqi.
“Aliran Pedang Bayangan – Bentuk Kesembilan: Seribu Cahaya.”
SWUUSHHH!!!
Dalam sekejap, tiga tebasan beruntun melesat, masing-masing dari arah berbeda—depan, samping, dan belakang. Yuqi berusaha memblokir, namun kecepatan itu membuatnya kewalahan.
CLANG! CLANG! SLASSHH!!!
Salah satu tebasan menembus pertahanannya, meninggalkan garis merah di bahunya.
Yuqi terhuyung. Matanya melebar, amarahnya semakin membara.
“KAUUU!!!”
Dia menyerang membabi buta, tebasannya keras tapi tak beraturan. Wēi Qiao memanfaatkan celah itu—setiap serangan yang datang ditangkis ringan, membuat Yuqi kehilangan keseimbangan sedikit demi sedikit.
Hingga akhirnya, dalam satu momen singkat…
Yuqi mengangkat pedangnya tinggi, bersiap menebas dari atas. Tapi itu membuat sisi tubuhnya terbuka.
Wēi Qiao melangkah ke dalam jarak serang, memutar pergelangan tangan.
SLASSSSHHH!!!
Pedangnya memotong lengan kanan Yuqi hingga terpotong dari badannya.
“ARGHHHHH!!!” teriakan Yuqi menggema di seluruh arena. Pedangnya terlepas, jatuh dengan bunyi CLANGG!!
Yuqi berlutut, tangannya menekan luka yang mengalirkan darah. Nafasnya terengah.
Wēi Qiao menatapnya dari atas, mata tajam seperti elang.
“Kau kalah.”.
“CUKUP!!!” teriakan lantang penjaga kedua menggema dari pendopo. “Kelompok 8… MENANG!!!”
Sorak sorai meledak. “UOHHHH!!!” anggota kelompok 8 memukul tameng mereka, berteriak penuh kebanggaan.
Wēi Qiao menatap pedangnya, napasnya tenang. “Gerakannya belum sempurna… aku butuh lebih banyak latihan.”
Di kepalanya, suara Micro Bots terdengar datar.
“Saran: latihan lebih serius, Tuan.”
Wēi Qiao menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Nyenyenye… iya, Ibu Bots.”
Sorakan para murid lainnya masih menggema, membanjiri udara dengan tepukan kaki, teriakan, dan dentingan senjata. Debu tipis beterbangan di udara, sisa dari benturan dan langkah cepat yang tadi mengguncang arena.
Wēi Qiao berdiri tegak di tengah lingkaran arena, pedangnya masih meneteskan debu halus dan kilau cahaya matahari. Nafasnya berat, tapi matanya tajam—penuh kemenangan, penuh janji akan pertarungan-pertarungan berikutnya.
Di Atas pendopo, Penjaga Kedua—seorang pria berambut Merah panjang terurai dengan tatapan yang jarang sekali menunjukkan emosi—menatapnya dalam diam.
Pupil merah matanya berkilat sejenak, lalu dalam hatinya ia bergumam:
“Anak itu… memang terlahir berbakat. Siasat perang dan strategi formasi yang dia gunakan sangatlah tajam. Dan keberanian untuk memotong lengan saudarinya… sudah jauh melampaui ekspektasiku. Andai saja waktu itu aku yang mengangkatnya menjadi murid… tapi Han yang lebih cepat melakukannya.”
Ia menghela napas perlahan, senyum tipis terbentuk di sudut bibirnya.
“Hmm… sudahlah. Mungkin… akan ada langit baru di Negeri Naga.”
Angin sore berhembus, membawa debu dan sorakan para murid yang semakin menggelegar karena lolos ujian tahap kedua.Di tengah kerumunan itu, Wēi Qiao menatap ke arah tribun, seperti merasakan tatapan Penjaga Kedua. Senyumnya melebar, seolah tanpa kata, dua jiwa itu saling mengakui satu sama lain.
Suara gong besar dipukul tiga kali.
DUUMMM… DUUMMM… DUUMMM…
Hari itu, di tengah cahaya keemasan yang membalut arena, semua orang yang hadir tahu—nama Wēi Qiao baru saja menggoreskan garis pertama dari legenda yang akan mengguncang seluruh Negeri Naga.
Lanjuuuuutttt