Rumah tangga Luna yang sangat hangat secara tiba-tiba hancur tanpa aba-aba. Luna mendapati suaminya, Ares, berkhianat dengan sahabatnya sendiri, Celine. Luka yang sangat menyakitkan itu membuat Luna mencari penyebab suaminya berselingkuh. Namun semakin Luna mencari kebenaran, semakin banyak tanda tanya menghantuinya hingga akhirnya Luna memutuskan mengakhiri pernikahan mereka.
Benarkah Ares sudah tidak lagi mencintai Luna?
Ataukah ada suatu kenyataan yang lebih menyakitkan menunggu untuk terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Far, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMAKIN DISERANG SEMAKIN BERSINAR
Ruang sidang hari itu terasa dingin. Tidak ada Celine di kursi tergugat, hanya pengacaranya yang duduk dengan wajah datar, sibuk memeriksa berkas. Ares duduk di sisi lain, mengenakan setelan abu-abu gelap. Di balik ketenangannya, terlihat kebahagiaan yang tidak bisa ia sembunyikan.
Hakim membacakan keputusan dengan suara tegas tapi monoton, “Dengan ini, pengadilan menyatakan sah perceraian antara Ares Aditya dan Celine Aurelia. Segala hak dan kewajiban antara kedua belah pihak dinyatakan berakhir.”
Kalimat itu menggema di ruang sidang seperti bunyi palu yang memecah udara.
Ares menghela napas. Ia tidak menatap siapa pun, hanya menunduk sebentar, bukan karena sedih, melainkan lega. Beban yang menjeratnya selama ini akhirnya putus juga.
Beberapa wartawan segera mengerubunginya saat ia melangkah keluar dari ruang sidang. Mikrofon terarah ke wajahnya.
“Pak Ares, bagaimana perasaan Anda setelah resmi bercerai?”
“Apakah benar keputusan ini karena Luna?”
“Apakah Anda menyesal menikahi Celine Aurelia?”
Ares tidak menjawab satu pun. Ia hanya berjalan dengan langkah tenang, kontras dengan suasana tegang di sekitarnya.
Namun sebelum masuk ke mobil, ia berhenti sejenak. Seorang wartawan perempuan memegang mikrofon dan bertanya pelan,
“Satu pertanyaan terakhir, Pak Ares… apakah Anda bahagia sekarang?”
Ares menatapnya sebentar, lalu menjawab singkat, “Ya. Saya bahagia.”
Kata itu terekam jelas oleh semua kamera.
Dan dalam beberapa jam, potongan video dengan judul “Ares Aditya Bahagia Usai Ceraikan Celine” menjadi berita utama di mana-mana.
Celine, yang menonton dari rumah, hanya bisa menatap layar ponsel dengan mata membesar.
“Bahagia? Bahagia karena meninggalkanku?” suaranya bergetar, antara marah dan tidak percaya.
Ia melempar ponselnya ke sofa, lalu memeluk lututnya. Dunia yang dulu menyanjungnya, kini seperti menjauh perlahan.
Di luar sana, dunia mulai berpihak pada Luna.
Sebuah komunitas perempuan bernama Women Rise Indonesia menulis unggahan di media sosial:
“Kisah Luna mengajarkan bahwa dosa orang tua tidak menentukan masa depan anak. Ia bangkit meski semua orang menjatuhkannya.”
Komentar positif membanjiri postingan itu. Banyak yang menandai akun Luna, menyebutnya inspiratif, kuat, dan tegar.
Pihak komunitas kemudian menghubungi Luna secara resmi, memintanya menjadi narasumber dalam seminar bertajuk Bangkit dari Luka Keluarga.
Luna sempat menolak. Tapi Noval dan Nuri membujuknya, “Ini bukan tentang pembuktian, Lun. Ini tentang menyembuhkan. Kau sudah melalui banyak hal. Mungkin sekarang waktunya kau bicara,” ucap Nuri.
Luna terdiam lama sebelum akhirnya mengangguk.
“Baik. Aku akan datang.”
***
Seminar itu digelar di sebuah auditorium modern. Kursi penuh, mayoritas perempuan dari berbagai latar belakang.
Luna berdiri di atas panggung sederhana, mengenakan kemeja putih dan rok abu lembut. Wajahnya tenang, suara lembutnya mengalun di mikrofon.
“Dulu, aku pikir masa lalu adalah takdir yang harus kuterima. Tapi ternyata, masa lalu hanyalah cerita. Dan setiap cerita bisa kita ubah arah akhirnya.”
Ruangan hening.
Setiap kata Luna terasa menenangkan tapi juga menggugah.
“Aku pernah dijatuhkan, difitnah, dan kehilangan semuanya. Tapi aku belajar, tidak ada gunanya membalas kejahatan dengan kejahatan. Karena ketika kita melakukannya, kita sama buruknya dengan mereka yang melukai kita.”
Tanpa menyebut nama siapa pun, kata-kata itu terasa seperti tamparan halus bagi Celine.
Para peserta bertepuk tangan, beberapa bahkan menitikkan air mata.
Beberapa jam kemudian, video pidato Luna tersebar luas di media sosial.
Tagar #BelajarDariLuna menduduki puncak trending.
Orang-orang mulai menulis ulang kisahnya, membandingkan elegansi Luna dengan kemarahan Celine.
Efeknya luar biasa cepat.
Satu per satu brand mulai menarik kerja sama dengan Celine. Endorsement dibatalkan, kolaborasi dihentikan.
Komentar di akun Celine dipenuhi kecaman:
“Karma datang cepat ya.”
“Luna elegan, Celine penuh kebencian.”
“Unfollow! Aku tak mau idolakan orang sejahat ini.”
Jumlah pengikutnya anjlok ribuan dalam hitungan jam.
Celine menggenggam ponselnya, wajahnya pucat.
Ia mencoba menghubungi manajernya, tapi tak dijawab. Semua orang menjauh.
Dan saat pikirannya sedang kacau, ia melihat berita di layar TV:
“Luna Anindita Santoso Diundang Sebagai Narasumber Inspiratif Nasional.”
Kemarahan itu akhirnya meledak.
Celine meraih kunci mobil, wajahnya diselimuti amarah yang membara.
***
Restoran itu tidak terlalu ramai.
Luna duduk di meja tengah bersama Noval dan Nuri, makan siang sederhana sambil tertawa kecil.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia terlihat tenang.
Tapi ketenangan itu hanya bertahan beberapa menit.
Pintu restoran terbuka keras, membuat semua orang menoleh.
Celine berdiri di sana, mengenakan kacamata hitam, wajahnya pucat tapi matanya menyala penuh dendam.
Beberapa orang langsung berbisik. Wartawan yang sedang makan di sudut ruangan buru-buru mengeluarkan kamera.
“Luna!!!” teriak Celine, melangkah cepat ke arah meja mereka.
Restoran mendadak hening.
Noval menatapnya dingin, Nuri menggenggam sendoknya erat.
Luna? Ia tetap duduk, hanya menatap dengan tatapan tenang, seolah tak kaget sama sekali.
Celine menatap mereka satu per satu, suaranya gemetar tapi keras,
“Kalian puas, ya?! Kalian semua puas lihat aku dijatuhkan?!”
Tidak ada yang menjawab.
Celine menoleh pada Luna, wajahnya merah, air mata hampir jatuh.
“Kamu pikir kau suci?! Hati kamu sama busuknya dengan iblis, Luna! Kamu dan keluargamu sudah merenggut semua kebahagiaanku!”
Semua mata tertuju pada mereka.
Luna meletakkan sendoknya perlahan, lalu menatap Celine dengan pandangan dingin namun lembut.
“Celine, kamu terlalu sibuk mengasihani diri sendiri. Terlalu sibuk menyalahkan orang lain atas semua luka yang kamu simpan. Padahal yang perlu kau lawan bukan aku, tapi dirimu sendiri.”
Celine mengepal tangan.
Luna melanjutkan, “Kamu ingin semua orang mengerti penderitaanmu, tapi kamu tidak pernah mencoba berdamai dengannya. Itu menyedihkan.”
Ucapan itu membuat Celine bergetar menahan emosi.
Ia meraih gelas jus di atas meja, siap menyiram Luna. Tapi sebelum sempat, Nuri sudah berdiri cepat dan menahan tangannya.
Gelas terjatuh, jus jeruk tumpah di meja dan sedikit mengenai tangan Luna.
Nuri berkata datar, dengan nada sarkastik, “Aku seorang psikolog, Celine. Aku bisa bantu kamu, gratis. Datanglah padaku kalau kamu ingin berdamai dengan luka masa lalumu yang belum sembuh itu.”
Tawa pelan terdengar dari beberapa meja di sekitar.
Celine menatap mereka satu per satu, lalu menatap Luna dengan mata berair tapi penuh kebencian.
Tanpa kata, ia berbalik dan pergi meninggalkan restoran dengan langkah tergesa.
***
Di rumah, Celine mengunci pintu ruangannya. Napasnya memburu.
Di meja, laptopnya terbuka memperlihatkan notifikasi kontrak yang dibatalkan. Satu per satu, lampu-lampu notifikasi merah berkedip, tanda kehancuran karier yang ia bangun bertahun-tahun.
aku baru Nemu cerita yg sudah eps sejauh ini pemeran utama nya masih saja tersiksa