NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 12

Udara di Pondok Nurul Falah terasa lebih berat dari biasanya. Kabut pagi masih menggantung tipis di udara, menyelimuti pepohonan dan bangunan pondok yang berdiri tenang—atau setidaknya tampak tenang dari luar. Namun di dalam hati para santri, gejolak sudah menggelegak. Kabar tentang ditemukannya bangkai ayam dan kain hitam penuh noda merah di gudang, masih menjadi bahan bisik-bisik yang tidak berhenti sejak Subuh tadi.

Lorong-lorong asrama dipenuhi suara samar: tuduhan, spekulasi, dan ketakutan. Nama Dilara kembali jadi bahan utama. Bagi sebagian santri, bukti itu sudah lebih dari cukup untuk menyimpulkan satu hal—bahwa Dilara memang berbeda, membawa aura buruk, bahkan mungkin benar-benar menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan “ilmu hitam”.

Namun, ada juga yang masih ragu. Suara Gus Zizan pagi tadi menggema kuat di telinga mereka,

“Bukan Dilara. Saya ulangi, bukan Dilara.”

Kalimat itu membuat sebagian santri terdiam, meski tidak sepenuhnya meredam keraguan yang sudah telanjur tumbuh.

Di ruang utama pondok, Ummi Latifah duduk dengan wajah tegang. Sorot matanya yang biasanya lembut kini tampak keras. Di depannya, para santri senior berkumpul, sebagian duduk bersila, sebagian berdiri, dan sisanya berkerumun di pintu. Mereka menunggu penjelasan lebih lanjut, terutama setelah Gus Zizan mengumumkan bahwa ia tahu siapa pelakunya.

Wulan duduk di barisan depan. Ia menunduk, menampilkan wajah polos penuh kepura-puraan. Sesekali ia pura-pura menatap Dilara dengan tatapan iba, seakan ingin menunjukkan bahwa ia tidak ikut-ikutan menuduh. Padahal dalam hatinya, rasa panik mulai menekan. Ia tidak menyangka langkahnya semalam langsung terbongkar begitu cepat.

Rani duduk di sampingnya. Tubuhnya gemetar, tangan yang bersembunyi di balik gamisnya terus meremas kain tanpa henti. Air matanya nyaris jatuh berkali-kali, tapi ia berusaha keras menahannya. Hatinya bergejolak hebat—antara ketakutan pada Wulan, rasa bersalah pada Dilara, dan perasaan terpojok karena rahasianya sebentar lagi mungkin benar-benar terbongkar.

“Baik,” suara Ummi Latifah memecah keheningan. “Sebelum kita semua membuat kesimpulan yang bisa menghancurkan nama orang, saya ingin mendengar langsung dari Gus Zizan. Zizan, apa yang sebenarnya kamu lihat semalam?”

Semua mata beralih ke arah Gus Zizan. Pemuda itu berdiri tegak, wajahnya serius, tatapannya menyapu seluruh ruangan.

“Semalam,” ia memulai dengan suara mantap, “saya dan Devan sengaja mengintai di sekitar gudang. Saya sudah mencium ada yang tidak beres dari kejadian-kejadian sebelumnya. Dan benar, saya melihat dua orang masuk ke gudang itu, membawa sebuah plastik besar.”

Ruangan mendadak hening. Bisik-bisik terhenti, semua menahan napas menunggu kelanjutannya.

“Dua orang itu adalah Wulan dan Rani,” lanjutnya.

Seketika ruangan bergemuruh. Bisik-bisik pecah lagi, kali ini penuh keterkejutan. Santri-santri saling pandang, beberapa menutup mulut, sebagian lain menatap Wulan dengan sorot tak percaya.

“Tidak mungkin…”

“Masa iya Wulan?”

“Tapi Gus Zizan sendiri yang bilang…”

Ummi Latifah mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua diam. “Wulan, Rani… betul kalian yang ke gudang semalam?”

Wulan buru-buru berdiri, wajahnya dibuat setenang mungkin. “Ummi, izinkan saya bicara. Benar, saya dan Rani semalam ke gudang. Tapi bukan untuk hal buruk. Kami hanya… hanya ingin memastikan gudang terkunci dengan benar. Karena kemarin ada sapu yang hilang, dan saya khawatir ada santri yang sembarangan keluar masuk.”

Kata-katanya terdengar meyakinkan bagi sebagian orang. Ia menatap Ummi dengan penuh kepolosan, lalu melirik sekilas ke arah para santri. “Kalau masalah plastik itu… saya sendiri tidak tahu menahu. Bisa jadi ada orang lain yang lebih dulu menaruhnya di sana.”

Beberapa santri mulai goyah lagi. “Iya juga, bisa aja…”

“Tapi masa sih Wulan yang kayak gitu?”

Devan maju selangkah, wajahnya merah menahan emosi. “Jangan bohong, Wulan! Aku sendiri dengar kamu yang nyuruh Rani taruh plastik itu di pojok gudang!”

Wulan menoleh, matanya berkaca-kaca. “Devan, kenapa kamu fitnah aku? Apa salahku sama kamu? Aku ini santri juga, aku nggak mungkin tega melakukan hal kotor kayak gitu.” Ia menunduk, pura-pura terisak. “Aku takut, Ummi. Kenapa tiba-tiba aku dituduh macam-macam begini…”

Drama Wulan membuat sebagian santri luluh. Mereka mulai berbisik simpati. Rani menunduk semakin dalam, hatinya makin teriris. Ia tahu semua kata-kata Wulan dusta belaka, tapi mulutnya terkunci oleh rasa takut.

Ummi Latifah menatap Wulan lama, lalu menoleh ke Rani. “Rani, bagaimana denganmu? Apa yang sebenarnya terjadi?”

Rani kaku. Hatinya seperti diperas. Semua mata tertuju padanya. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar hebat. Ia ingin bicara, ingin mengatakan yang sebenarnya, tapi bayangan ancaman Wulan terus menghantui pikirannya.

Wulan sempat melirik tajam, tatapan yang jelas berkata: jangan coba-coba.

Rani menelan ludah, lalu dengan suara lirih berkata, “Saya… saya hanya ikut Wulan, Ummi. Saya tidak tahu apa-apa soal plastik itu.”

Wulan tersenyum tipis di balik tangis pura-puranya. Sekilas rasa lega mengalir di wajahnya.

Namun, Gus Zizan tidak tinggal diam. Ia melangkah maju, berdiri tepat di tengah ruangan. “Rani,” suaranya tegas, menusuk hati. “Kamu tahu, kan, berbohong itu dosa? Lebih-lebih kalau kebohongan itu bisa menghancurkan orang lain yang tidak bersalah. Kamu siap tanggung akibatnya?”

Rani tercekat. Matanya langsung berkaca-kaca. Ia menunduk lebih dalam, bahunya berguncang hebat. Air mata akhirnya jatuh deras, tak bisa ia tahan lagi.

“Ummi…” suaranya pecah, “maafkan saya… saya… saya sebenarnya…”

Wulan buru-buru meraih tangannya, pura-pura menenangkan. “Rani, jangan takut. Jangan terburu-buru ngomong kalau kamu sendiri nggak yakin. Bisa bahaya buat kamu.”

Tapi sentuhan Wulan justru membuat Rani semakin sadar. Ia menepis pelan tangan itu, lalu menangis makin keras. “Saya nggak sanggup lagi, Ummi! Semua ini salah saya… saya ikut Wulan… kami memang yang naruh plastik itu di gudang!”

Ruangan sontak riuh. Santri-santri terbelalak, sebagian bahkan berteriak kaget.

“Astaghfirullah…”

“Jadi benar mereka berdua?”

“Ya Allah, kasihan banget Dilara…”

Wajah Wulan seketika pucat. Ia menoleh tajam ke arah Rani, penuh amarah. “Kamu gila, Ran?! Jangan fitnah aku begitu!”

Rani menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis tersedu. “Saya nggak kuat, Wul… saya nggak bisa terus-terusan bohong. Saya tahu ini salah… tapi semua yang saya lakukan karena kamu paksa saya… kamu ancam saya…”

Ummi Latifah berdiri, wajahnya tegas. “Cukup!”

Suara Ummi menggema, membuat seluruh ruangan terdiam. Wulan masih berusaha membela diri, tapi Ummi mengangkat tangan, menghentikan. “Saya sudah dengar cukup. Wulan, Rani, kalian berdua nanti akan bicara langsung dengan saya di ruang pengasuhan. Kita akan selesaikan ini sesuai aturan pondok.”

Wulan ingin membantah, tapi tatapan tajam Ummi membuatnya terdiam. Ia menggertakkan gigi, menahan amarah. Dalam hatinya, ia berteriak: Rani pengkhianat! Aku tidak akan biarkan kamu selamat setelah ini!

Di sisi lain, Dilara menangis terisak. Salsa memeluknya erat, sementara Dewi dan Mita mengusap bahunya. “Alhamdulillah, akhirnya kebenaran keluar juga, Lar…” bisik Salsa, ikut menangis haru.

Namun bagi Dilara, luka fitnah itu terlalu dalam. Meski namanya mulai terbela, ia masih merasa goyah, hancur oleh semua tuduhan yang sempat menghujamnya.

Malam itu, suasana pondok kembali tegang. Setelah shalat Isya, Wulan dan Rani dipanggil ke ruang pengasuhan. Ummi Latifah duduk di kursi dengan wajah dingin, sementara Gus Zizan berdiri di sampingnya sebagai saksi.

“Wulan,” suara Ummi datar, “kamu mau mengaku atau masih ingin berkelit?”

Wulan menggenggam rok gamisnya erat-erat. “Ummi, saya tidak salah. Semua itu fitnah Rani. Dia takut dan menuduh saya supaya dirinya aman.”

Ummi menatapnya lama. “Kalau begitu, kamu tidak keberatan kalau saya panggil semua saksi untuk menguatkan?”

Wulan terdiam. Jantungnya berdetak kencang.

Sementara itu, Rani sudah tak mampu lagi menahan tangis. Ia berlutut, memohon ampun. “Ummi, maafkan saya… saya salah… tolong jangan keluarkan saya dari pondok… saya janji tidak akan ulangi lagi…”

Ummi menghela napas panjang. “Kesalahan kalian berat, tapi masih ada jalan untuk bertobat. Namun ingat, fitnah jauh lebih besar dosanya daripada membunuh. Kalau bukan karena kesaksian Gus Zizan dan keberanianmu untuk mengaku, Rani, mungkin satu nama akan hancur selamanya.”

Wulan mengepalkan tangan, wajahnya dipenuhi kebencian yang membara. Dalam hatinya, ia bersumpah tidak akan berhenti di sini. Bila perlu, ia akan jatuh bersama semua orang—asal Dilara tetap hancur.

Dan malam itu, Pondok Nurul Falah tidak benar-benar tenang. Di balik doa-doa santri yang mulai tenang, masih ada bara api kebencian yang bersembunyi, menunggu waktu untuk meledak lebih besar.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!