Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 Latihan Part 2
Azzam menatap keduanya bergantian lalu membuka suara, "Baiklah kita lanjutkan lagi latihannya, Maya tolong lebih fokus ya, karna kebetulan kamu pegang dua acara Pembawa acara dan pembaca tilawah."
Maya melotot tak percaya,"Aduhh ustadz jangan tilawah juga dong suara saya tuh terlalu mirip suara kipas rusak, kalau tilawah bisa bisa serak ditengah-tengah nanti."
Azzam tersenyum samar,"Kamu pasti bisa Maya, kita punya waktu untuk latihan."
"Ya ada si waktu tapi kan, ustadz..," Maya tak sempat melanjutkan ucapannya.
"Maaf memotong pembicaraan nya, Ustadz tapi kita semua tau bahwa tilawah itu tidak bisa asal membaca, bagaimana kalau nanti Maya tidak bisa, ya seperti yang kita tau, dia belum ada kemampuan di bidang ini," Dina angkat suara, sementara Nadia tampak tersenyum puas.
"Iya benar, akan lebih baik kalau Maya cukup memegang satu tugas saja, kalau kebanyakan takutnya justru malah tidak sesuai harapan," Nadia menambahkan.
Azzam menatap keduanya dalam diam beberapa saat, matanya menyorot lembut tapi tegas.
“Menguasai tilawah memang butuh waktu dan niat, bukan hanya suara yang merdu,” ujarnya perlahan. “Dan saya percaya, kalau seseorang punya niat belajar, maka kemampuan bisa mengikuti. Betul begitu, Ukhti Nadia? Ukhti Dina?”
Nadia dan Dina saling pandang, bibir mereka tertarik kecil.
“Iya, Ustadz, betul…” jawab Nadia pelan, tapi nada suaranya terdengar sedikit menahan kecewa.
Sementara itu, Maya masih menatap ke depan dengan ekspresi bingung bercampur panik. Dalam hatinya, ia berteriak keras:
‘Aduh, ini Ustadz Azzam beneran percaya sama gue apa lagi nyuruh gue bunuh diri pelan-pelan sih? Tilawah? Astagfirullah, suara gue aja kalau baca Al-Fatihah kadang fals di “wala dhoooliiin”!’
Namun begitu menatap wajah tenang Azzam, Maya merasa sedikit luluh. Ada sesuatu dalam tatapan itu, bukan sekadar tuntutan, tapi keyakinan. Seolah-olah Azzam benar-benar yakin bahwa dia mampu.
Ia menarik napas panjang, lalu menatap Ustadz Azzam. “Baik, Ustadz. Saya coba. Tapi kalo nanti ikan di kolam ini tiba-tiba pada pingsan gara-gara suara saya, tolong jangan salahin saya ya…”
Azzam tersenyum tipis, matanya memancarkan keteduhan yang anehnya membuat jantung Maya kembali berdetak tak karuan.
“Tenang saja,” ujarnya lembut. “Saya yakin, yang pingsan nanti bukan ikannya, tapi santriwatinya… karena kagum.”
Teman-teman Maya yang masih mengintip dari balik pagar spontan menjerit kecil, “WAAA~ USTADZ AZZAM NGOMONG APAAN TUH!!”
Sementara Nadia dan Dina langsung saling menatap, ekspresi mereka berubah kaku. Maya pun membeku beberapa detik, pipinya mendadak panas.
“Eh, Ustadz… beneran nih ngomong gitu? Jangan bikin saya beneran pingsan juga, loh…” gumamnya pelan sambil menunduk, mencoba menutupi wajahnya yang sudah semerah tomat.
Azzam menahan tawa kecil, lalu mengalihkan pandangan. “Baiklah, kita mulai latihannya, semuanya tolong serius. Kita tidak punya banyak waktu, acara sudah dekat.”
Semua pun mulai menyiapkan diri. Nadia dan Dina mengambil posisi untuk sholawat, sementara Maya bersiap di depan dengan mikrofon kecil di tangan.
Suasana yang semula hangat berubah jadi hening penuh fokus. Bahkan angin yang lewat pun terasa lembut, seolah ikut menyimak.
Maya membuka catatannya sekali lagi, menatap sebaris kalimat pembuka di sana, lalu menatap ke arah Azzam yang mengangguk pelan memberi semangat.
Ia menarik napas panjang, lalu mulai membaca,
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…”
Kali ini suaranya tidak bergetar seperti sebelumnya. Masih terdengar kaku, tapi ada ketulusan dalam setiap katanya.
Azzam mengangguk pelan, sementara Nadia tampak sedikit terkejut,tidak menyangka Maya bisa lebih tenang dari dugaan nya.
Begitu Maya selesai, Azzam bertepuk tangan pelan. “Bagus, sudah mulai ada peningkatan. Intonasi masih bisa dilatih, tapi penyampaianmu tulus, itu yang penting.”
Maya mengerjap cepat, matanya membulat kecil. “Serius, Ustadz? Maksudnya saya nggak bikin kuping Ustadz pengen resign, gitu?”
“Belum,” jawab Azzam dengan senyum lembut yang membuat Maya langsung menunduk malu.
“Belum?” gumamnya pelan, “jadi masih ada kemungkinan besok Ustadz resign dong…”
Semua tertawa pelan, termasuk Dina yang akhirnya ikut tersenyum. Sementara Nadia ia terlihat tersenyum tipis, yang lebih terlihat terpaksa. Hatinya sedikit terasa panas saat melihat interaksi kecil antara Maya dan Azzam. Tatapan Azzam itu berbeda, itu adalah tatapan yang sedari dulu ia inginkan dari sosok tampan itu.
Namun di balik semua itu, tanpa disadari oleh siapapun kecuali Nadia, Azzam sempat menatap Maya cukup lama dengan ekspresi sulit ditebak, antara kagum, khawatir, dan… ada sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang bahkan Azzam sendiri belum sanggup mengakuinya.
Nadia menggenggam ujung jilbabnya erat, berusaha menahan diri agar tidak menatap ke arah Azzam lagi. Ia berulang kali berusaha menenangkan hatinya yang mulai gundah gulana.
Sementara Maya justru belum menyadari apa pun, sibuk menatap catatan di tangannya sambil bergumam kecil, mencoba menirukan nada tilawah yang baru saja dipuji.
*******
Latihan pun berakhir ketika matahari mulai condong ke barat. Cahaya jingga menembus sela dedaunan, memantul di permukaan kolam ikan yang bergoyang pelan. Suasana taman pesantren jadi lebih syahdu dan hangat.
Para santriwati mulai membereskan buku dan catatan mereka. Dina tampak bercanda ringan dengan teman-temannya, sementara Nadia sibuk menyusun kembali berkas naskah di tangannya, mencoba menyibukkan diri agar pikirannya tidak melayang ke arah Azzam.
Sementara itu, Maya masih duduk di bangku taman sambil menatap catatannya yang penuh coretan. Ia menghela napas panjang.
“Duh… kayaknya suara gue pas tilawah tadi bukan kayak malaikat, tapi kayak toa masjid pas lebaran. Serak dan miring,” gumamnya lirih sambil menatap kolam.
Tanpa disadari, Azzam mendekat dari belakang dengan langkah tenang.
“Saya dengar malah bagus, loh.”
Maya langsung menoleh kaget. “U-Ustadz! Aduh, tolong kasih aba-aba dulu dong, saya hampir nyemplung ke kolam saking kagetnya.”
Azzam tersenyum tipis. “Kalau kamu sampai nyemplung, mungkin ikannya malah senang. Dapat hiburan baru dari santriwati paling dramatis di pesantren ini.”
Maya memanyunkan bibirnya. “Heh, saya tuh bukan dramatis, Ustadz, cuma ekspresif. Biar hidup nggak monoton.”
Azzam menatapnya sejenak, tatapannya lembut tapi dalam. “Itu bagus. Tapi ekspresif juga perlu diarahkan. Kamu punya potensi besar, Maya, tinggal bagaimana kamu mau menata diri untuk jadi lebih baik.”
Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi bagi Maya, rasanya seperti ombak kecil yang menyentuh sisi lembut hatinya. Ia menunduk, menggigit bibir pelan.
“Ustadz…” gumamnya pelan, “kalau saya gagal di acara nanti gimana? Saya takut bikin malu semua orang.”
Azzam menatapnya serius, lalu berkata tenang,
“Yang membuat seseorang gagal bukan karena hasilnya kurang sempurna, tapi karena dia tidak mau mencoba. Dan kamu sudah berani mencoba, itu artinya kamu sudah menang setengahnya.”
Maya terdiam. Matanya menatap ke depan, tapi dalam hatinya, ucapan itu seperti mengendap lama. 'Aduh, Ustadz… ngomongnya kok bisa sehalus itu sih. Mau nggak mau hati gue kayak diaduk-aduk.'
Senyum kecil muncul di wajahnya. “Baiklah, kalau gitu saya janji nggak nyerah. Tapi kalau nanti saya lupa ayat, Ustadz jangan ketawa ya.”
“Kalau lupa ayat, saya bantu benerin,” jawab Azzam ringan. “Tapi kalau kamu lupa niat, saya yang akan ingatkan.”
Maya terdiam sesaat, lalu langsung menunduk, pipinya memanas hebat. 'Ya Allah… ini ustadz apa penyair sih.'
Azzam tersenyum samar, lalu menatap langit sore. “Baiklah, saya harus ke kantor dulu. Latihan hari ini cukup bagus. Besok kita lanjut, ya.”
Ia melangkah pergi perlahan, meninggalkan Maya yang masih terpaku dengan hati berdebar tak karuan.
Namun tak jauh dari sana, di balik pilar dekat taman, Nadia berdiri diam. Sejak tadi ia melihat dan mendengar percakapan keduanya.
Tangannya menggenggam berkas dengan kuat sampai ujung kertasnya terlipat.
Raut wajahnya datar, tapi matanya menyimpan gejolak yang sulit ditahan.
“Jadi begitu ya, Ustadz…” bisiknya pelan, hampir tak terdengar. “Ternyata perhatian itu… bukan hanya untuk semua santri. Tapi khusus untuk dia.”
Ia menghela napas panjang, menatap arah di mana Azzam baru saja berlalu. Ada getir dan kecewa yang samar, tapi juga ada tekad baru di matanya.
“Kalau begitu, mulai sekarang… saya juga tidak akan diam saja.”
Langkahnya pelan meninggalkan taman, namun ekspresinya sudah berbeda, lebih dingin, lebih tegas, dan penuh maksud tersembunyi.
Sementara di bangku taman, Maya masih duduk sambil menatap langit senja.
Ia menutup buku catatannya dan tersenyum kecil.
“Ustadz Azzam… kenapa sih setiap ngomong bikin dada gue kayak kena angin ribut? Tapi ya udahlah, semoga besok gue nggak salah baca doa…”
Angin sore kembali berembus lembut.
Namun entah kenapa, sore itu terasa berbeda.
Ada sesuatu yang mulai tumbuh halus, hangat, tapi juga berbahaya.
.
.
✨️ Bersambung ✨️