NovelToon NovelToon
Paman CEO Itu Suamiku!

Paman CEO Itu Suamiku!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Duda / CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Lee_ya

Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.

Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.

Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cinta yang Diuji

Rapat dewan yang menentukan berlangsung tertutup di kantor pusat. Arka berdiri di ujung meja panjang, mengenakan jas hitam dan ekspresi yang dingin namun tegas.

Di hadapannya, Reno duduk santai, dengan senyum setengah angkuh yang menyiratkan rasa percaya diri berlebihan.

“Saya mengajukan proposal merger dengan itikad baik,” kata Reno.

“Ini demi memperkuat jaringan dan membuka pasar internasional baru.”

“Dan saya,” jawab Arka pelan tapi jelas, “menolaknya. Dengan alasan yang sama yaitu menjaga integritas pasar yang sudah kami bangun.”

“Alasan pribadi, bukan?” sindir Reno.

Arka menatapnya lurus.

“Alasan profesional yang didasarkan pada pola manuvermu yang terlalu personal. Termasuk cara kamu memanfaatkan hubungan masa lalu untuk mengacaukan stabilitas internal perusahaan.”

Beberapa anggota dewan mulai berbisik. Ketegangan menyelimuti ruangan.

Reno berdiri. “Kamu takut istrimu masih menyimpan rasa untukku, Arka?” kata Reno sarkas.

Arka mendekat, hampir tanpa suara.

“Aku tidak takut akan masa lalu. Aku hanya tidak ingin masa lalu yang menjijikkan itu menyentuh masa depan yang sedang aku bangun dengan perempuan yang kini jadi istriku.” tegas Arka.

Reno tersenyum. “Kalau kamu terlalu mencengkeram, dia bisa merasa terkurung.”

Dan untuk pertama kalinya, Arka tak menjawab.

***

Seminggu setelah keputusan penolakan merger itu diumumkan, media mulai tenang. Gosip perlahan mereda. Proyek berjalan stabil kembali. Tapi di balik itu semua, sesuatu berubah.

Arka yang dulu memberiku ruang untuk bernapas dan bertumbuh mulai menjadi... terlalu dekat.

Terlalu sering bertanya aku di mana.

Terlalu cepat merespons pesan yang telat dibalas.

Terlalu mudah marah ketika aku pergi tanpa bilang lebih dulu.

“Nayra, kamu kemarin makan siang sama siapa? Aku cek, kamu nggak bawa mobil perusahaan,” katanya suatu malam, matanya menatapku tajam dari meja makan.

Aku menelan ludah.

“Aku naik ojek online. Ketemu temen lama kampus, Tara.” jawab Nayra.

“Kenapa nggak bilang?” tanya Arka lagi.

“Arka… aku bukan anak kecil.” Nayra agak kesal.

“Aku cuma khawatir.” Ucap Arka.

Aku menatapnya. “Tapi kamu mulai mengontrol.”

Dia terdiam. Tapi wajahnya keras.

“Aku nggak mau kamu terluka.” Jelas Arka dengan nada rendah.

“Aku juga nggak mau kehilangan diriku sendiri,” sahutku pelan.

Kami terdiam. Makan malam itu dingin. Bukan karena makanan. Tapi karena jarak yang pelan-pelan muncul di antara dua orang yang sebelumnya saling menyelamatkan.

***

Malam itu, aku menangis diam-diam di balkon.

Bukan karena Arka kasar. Dia tetap mencintaiku, aku tahu itu. Tapi cinta yang berubah jadi cengkeraman bukan lagi cinta yang menumbuhkan.

Arka menyusulku, memelukku dari belakang memandang bintang.

“Aku takut kehilangan kamu,” bisiknya, pelukkannya semakin erat, menenggelamkan kepalanya di samping leherku.

“Aku juga,” jawabku.

“Tapi kalau aku kehilangan diriku sendiri karena kamu genggam terlalu erat, kita tetap akan saling kehilangan, Ka.”

Dia tidak bicara. Tapi tangannya menggenggamku. Tidak seerat biasanya. Tidak mencengkeram. Hanya menggenggam. Cukup.

“Maaf,” katanya. “Aku akan belajar lagi. Tentang mencintai, tanpa mengekang.”

Aku menoleh, mataku basah.

Dan saat itu aku tahu, kami sedang melewati fase baru, yaitu cinta yang pernah terikat karena status, pernah menyatu karena rasa, kini diuji karena kuasa dan kami akan terus belajar.

Karena pernikahan bukan soal siapa yang menang, tapi siapa yang tetap bertahan meski harus melepaskan kendali.

***

Sudah tiga minggu sejak malam terakhir kami bicara panjang di balkon. Tiga minggu sejak Arka meminta maaf karena telah mengekang, dan aku meminta waktu untuk kembali merasa nyaman dalam pelukan yang dulu terasa seperti rumah.

Tapi kami mencoba. Tak ada lagi pertanyaan “kamu di mana?” setiap jam.

Tak ada lagi tatapan tajam ketika aku membalas pesan lima belas menit terlambat.

Sebaliknya, ada jeda dan dalam jeda itu, kami sama-sama belajar bernapas.

***

Aku kembali aktif di yayasan sosial milik perusahaan. Kali ini bukan sebagai pendamping kegiatan, tapi sebagai program manager untuk proyek pemberdayaan ibu-ibu muda di wilayah pinggiran Jakarta.

Aku suka pekerjaan ini. Bertemu dengan orang-orang yang punya luka lebih nyata dari sekadar gosip. Perempuan-perempuan yang ditinggal suami, yang bekerja dua pekerjaan, yang bangga bisa menyekolahkan anak meski hanya sampai SMP.

“Bu Nayra,” kata seorang ibu bernama Yuni, “dulu saya juga pernah diatur-atur sama suami. Semua gerak saya dipantau. Tapi bukan karena dia cinta, Bu. Karena dia takut saya lebih dari dia.”

Kata-katanya menempel di hatiku.

Apakah Arka begitu? Tidak. Aku yakin tidak. Tapi luka, kalau tidak disembuhkan, bisa membuat siapa pun berubah menjadi penjaga penjara bagi orang yang dicintainya.

***

Suatu malam, aku menemukan Arka duduk di ruang kerja dengan laptop menyala, earphone di telinga, dan wajah serius.

“Aku ganggu nggak?” tanyaku pelan.

Dia melepas earphone. “Nggak. Aku lagi ikut sesi online.”

Aku mengernyit. “Sesi apa?”

Dia menatapku, ragu sesaat. Lalu berkata, “Terapi pengendalian emosi. Sesi konseling privat. Aku mulai minggu lalu.”

Aku tercengang.

“Kamu ikut... terapi?”

Dia mengangguk.

“Aku sadar aku mulai berubah. Bukan jadi monster. Tapi jadi suami yang mungkin bisa membuatmu kehabisan napas. Dan aku nggak mau itu terjadi.”

Aku terdiam. Terharu.

“Kenapa nggak bilang dari awal?”

“Karena aku takut kamu pikir aku cuma cari simpati.”

Aku mendekat. Memeluknya dari belakang.

“Aku justru bangga, Ka. Karena kamu cukup kuat untuk tahu kapan harus minta tolong.”

***

Tapi saat kami mulai menata ulang rumah tangga kami masa lalu kembali mengetuk.

Kali ini bukan dalam bentuk orang. Tapi dalam bentuk file audio berdurasi tiga menit.

Aku menerimanya lewat surel anonim.

“Kalau kamu masih cinta aku, Nayra, bilang saja.”

“Jangan bawa perasaan lama ke hidupku yang sekarang, Reno.”

“Tapi kamu nggak bisa bohong. Suara kamu masih bergetar.”

Suaraku, suara Reno.

Potongan percakapan saat kami bicara di proyek, minggu-minggu lalu.

Dan rekaman itu bisa menghancurkan segalanya.

***

Aku berdiri di balkon, memandangi langit Jakarta yang tak pernah benar-benar gelap. Di tangan kiriku, ponsel berisi rekaman itu masih menyala.

Arka muncul dari balik pintu. “Kamu kenapa?”

Aku menoleh.

“Ada yang kirim ini ke aku. Dari akun anonim.”

Dia meraih ponsel, mendengarkan rekaman itu tanpa berkata apa pun. Ekspresinya tak berubah, tapi aku tahu. Ada badai yang pelan-pelan berputar di dalam dirinya.

“Ini bukan seperti yang kamu kira,” kataku cepat.

“Aku nggak kira apa-apa.”

“Tapi kamu diam.”

“Karena aku sedang berpikir bagaimana caranya menjaga kamu tanpa kembali menjadi aku yang dulu.”

Aku menatapnya.

Dan di situlah aku tahu cinta kami sedang berjalan di atas tali tipis. Di satu sisi saling percaya. Di sisi lain rasa takut akan pengkhianatan.

“Aku nggak akan sembunyi, Ka. Kalau perlu, kita cari sumbernya bareng-bareng.” Tegasku.

Dia mengangguk. Tapi malam itu kami tidur dalam diam.

Tidak karena marah, tapi karena terlalu banyak hal yang harus diproses.

***

Esok paginya, Arka mengambil langkah cepat. Ia menghubungi tim keamanan siber perusahaan, menyelidiki asal rekaman, dan siapa yang pertama kali menyebarkannya.

Sementara itu, aku menulis pernyataan singkat untuk yayasan tempatku bekerja.

"Saya akan tetap menjalankan tugas saya sepenuh hati. Saya percaya kebenaran tidak butuh pembelaan keras, hanya waktu. Dan saya akan berdiri, meski diterpa badai.”

Tiga hari kemudian, hasil penyelidikan datang.

Sumber rekaman itu bukan dari perangkat perusahaan. Tapi dari seseorang dalam tim proyek yang dulu menjadi asisten Reno.

Dia memanfaatkan momen saat Reno mengajak bicara untuk merekam, lalu menjualnya pada media sebagai “bukti skandal masa lalu”.

Dan pihak media sedang bersiap menayangkan berita tersebut minggu depan.

“Kamu mau aku hadapi media itu?” tanya Arka, matanya berkilat.

Aku menggeleng. “Biar aku.”

“Nayra...”

“Aku sudah cukup lama diam saat orang menilai hidupku dari luar. Kali ini, biar aku bersuara.”

***

Hari itu, aku mengirim surat terbuka ke media.

“Saya tidak akan menyangkal bahwa saya pernah mencintai seseorang sebelum suami saya. Tapi cinta sejati tidak hidup di masa lalu. Ia tumbuh dari kejujuran hari ini. Saya tidak malu dengan siapa saya dahulu. Tapi saya bangga dengan siapa saya sekarang dan dengan siapa saya memilih hidup bersama.”

Surat itu viral.

Dan banyak orang mulai membela, karena kejujuran, tetaplah magnet paling kuat.

***

Malam itu, Arka menatapku lama.

“Kenapa kamu nggak pernah berhenti membuatku jatuh cinta?”

Aku tertawa. “Karena kamu juga nggak pernah berhenti jadi orang yang aku pilih... meski kadang menyebalkan.”

Dia mendekat lalu emelukku.

Tapi pelukannya kali ini terasa ringan, tanpa beban, tanpa cengkeraman.

Dan aku tahu kami baru saja melewati satu badai lagi, tapi kami masih di kapal yang sama, masih mengemudi bersama, masih sama-sama belajar.

1
Dini Aryani
mohon maaf, karakter istri egois. dia menuntut suami yg diinginkan semua istri, sedangkan dia tidak melakukan kewajiban sebagai istri apalagi sedang hamil, ketaatan pd suami yg baik. sudah jadi istri lho. tolonglah ada unsur edukasi buat istri, agar tdk ada yg meniru sesuatu yg buruk. saya sbg istri malu
Lee_Ya: terimakasih kak buat komentarnya, stay tune terus ya buat tau cerita selanjutnya....lope sekebon 😍😍😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!