NovelToon NovelToon
Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Pengkhianat Yang Ditendang Ke Dunia Modern

Status: tamat
Genre:Romantis / Transmigrasi / Permainan Kematian / Tamat
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Carolline Fenita

Di sudut kota Surabaya, Caroline terbangun dari koma tanpa ingatan. Jiwanya yang tenang dan analitis merasa asing dalam tubuhnya, dan ia terkejut saat mengetahui bahwa ia adalah istri dari Pratama, seorang pengusaha farmasi yang tidak ia kenal.

Pernikahannya berlangsung lima tahun, hanya itu yang diketahui. Pram ingin memperbaiki semuanya. Hanya saja Caroline merasa ia hanyalah "aset" dalam pernikahan ini. Ia menuntut kebenaran, terlebih saat tahu dirinya adalah seorang bangsawan yang dihukum mati di kehidupan sebelumnya, sebuah bayangan yang menghantuinya

Apakah mereka akan maju bersama atau justru menyerah dengan keadaan?

p.s : setiap nama judul adalah lagu yang mendukung suasana bab

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Carolline Fenita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Yin Lin-Unaging Dream

Bintang bermekaran di luar sana, Caroline masih membaca penilaian tentang projek yang Pratama tanpa sengaja tinggalkan di meja ruang tamu. Matanya melirik kedatangan Pratama di depan pintu. Ia baru saja pulang dari perusahaan, tampak lelah, namun matanya menatap Caroline dengan saksama. Caroline meletakkan buku itu dengan tenang, tanpa menunjukkan reaksi terkejut atau canggung.

Dia duduk di seberang Caroline, memperhatikan bagaimana istrinya kini terlihat begitu fokus dan tenang, bahkan saat membaca sesuatu yang dulu ia anggap rumit.

"Caroline," Pratama memulai, suaranya pelan, mencoba mengukur respons Caroline. "Hari ini aman?"

Caroline mengangkat alisnya sedikit. "Tentu saja, Pram. Tidak ada masalah."

"Aku tahu," Pratama menghela napas. "Tapi akhir-akhir ini kau sedikit berbeda. Kau sangat tenang, bahkan untuk hal-hal yang dulu sering membuatmu bingung. Atau yang seharusnya membuatmu marah."

Ia mencondongkan tubuh sedikit. "Caroline, apa... apa yang ada di pikiranmu?”

“Aku merasa kau menanyakan banyak hal, tapi tidak pernah bereaksi. Aku menceritakan hal yang santai atau lucu, tapi kau hanya mendengarkan. Tidak tertawa, senang, sedih, kesal, geram."

Mata Pratama menatap lurus ke mata Caroline, mencari sesuatu. "Selama hampir satu bulan disini, ada hal lain yang kau ketahui, yang tidak kau ceritakan padaku?"

Ada nada khawatir sekaligus curiga dalam suaranya. Pertanyaan itu menggantung dan menuntut.

Caroline menatap Pratama, mempertahankan ketenangan sempurna di wajahnya. Ia tahu ini adalah momen krusial. Mengakui terlalu banyak rasanya tidak berguna, namun mengelak sepenuhnya juga bisa menimbulkan kecurigaan lebih lanjut. Ia memilih jalan tengah, memanipulasi kebingungan Pratama.

"Pram," jawab Caroline, suaranya masih lembut dan datar, "Ingatanku masih kosong. Tidak ada yang 'kembali' dalam arti yang utuh." Ia menunjuk kepalanya. "Ini, seperti selembar kertas kosong yang baru mulai diisi."

Ia sedikit mencondongkan tubuh, menirukan gestur Pratama sebelumnya. "Tepat seperti yang kau bilang, aku memang lebih banyak mendengarkan. Aku harus. Cara kerjamu, cara berinteraksiku denganmu, bahkan bagaimana kau bereaksi saat aku bertanya.. kurasa akan sangat tidak sopan jika aku membanting barang atau menangis seperti anak kecil, benar bukan?"

Caroline menatap Pratama lurus, tanpa berkedip. "Kalian tidak meminta apapun, tapi aku tahu bahwa aku harus bersikap rasional. Tidak emosional. Aku belajar dengan cepat, Pram.”

“Aku belajar bagaimana menjadi sosok yang kalian inginkan. Yang tenang, yang fokus pada pekerjaan, yang tidak merepotkanmu dengan emosi." Ada sarkasme yang mungkin hanya ia sendiri yang tidak merasakannya.

Mendengarkannya, Pram langsung maju dan melempar buku yang berisi penilaian it uke lantai. “Aku tidak butuh kesempurnaanmu!”

Nafas Caroline tercekat, baru kali ini ia melihat Pram, yang selalu bersikap lembut, kali ini berdiri dengan wajah geram dan nafas yang naik-turun. Matanya membelalak, kini Caroline ikut berdiri dan menoleh ke buku yang baru dilempar.

Udara begitu cepat memburuk, angin malam masuk dari pintu yang terbuka. Pelayan yang awalnya bercanda di ruang dapur, mendengar teriakan majikannya dan segera bersembunyi. Seolah rumah ini hanya diisi oleh dua manusia ini. Wajah Caroline kembali ke ekspresi datar, seolah ledakan emosi Pratama barusan tak sedikit pun menggoyahkannya.

"Jika kau tidak butuh kesempurnaanku, lalu kau butuh apa, Pram?"

Pertanyaan itu, yang seharusnya terdengar memohon atau marah, justru terucap tanpa tekanan. Itu bukan pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan.

Pratama tersentak. Ia mengira amarahnya akan menyadarkan Caroline, tapi ternyata, itu justru membuatnya semakin belok. Wajah geramnya perlahan memudar, tergantikan oleh keterkejutan dan putus asa. Caroline tidak membalas amarahnya. Dia hanya... ada.

"Aku butuh kau. Aku butuh Caroline yang dulu. Yang tidak menyembunyikan apapun dariku. Yang tidak seperti ini."

Caroline mengangkat kepalanya, menatap Pratama lagi. Tatapan matanya masih sama. Tidak ada yang bisa Pram nilai apa yang ada di dalam kepala istrinya.

“Aku yang dulu? Tidak ada, Pram. Kau sendiri yang bilang begitu." Ia memalingkan wajah, kembali menatap buku di lantai. "Lagipula, sejak kapan kau bisa melemparkan buku itu dan berteriak sekenanya? Sungguh kekanakan. Kau kira tidak ada mata disini?"

Ia kemudian membungkuk perlahan, mengambil buku laporan yang tergeletak itu.

Tanpa melihat Pratama, ia membersihkan sedikit debu yang menempel di sampulnya, seolah buku itu jauh lebih penting daripada pertengkaran mereka.

Ia berbalik, melangkah melewati Pratama tanpa sentuhan, tanpa melihatnya juga. Punggungnya lurus, langkahnya tenang, seolah tidak ada apa pun yang terjadi. Pintu kamar tertutup lagi, dengan suara lebih lantang.

Pratama terdiam, berdiri mematung di tengah ruang tamu. Menyugar rambutnya kasar. Lalu dia berlari ke atas kamar dan membukanya, menemukan perempuan itu menyelipkan beberapa kertas ke sebuah map. Caroline tak menoleh dan bertanya, “Apa?”

Pratama terpaku di ambang pintu kamar. Tidak ada jejak ketakutan atau kesedihan di matanya, hanya keheranan dan sedikit ketidaksabaran.

"Lin! kenapa kau seperti ini? Kenapa kau tidak mau bicara denganku? Kenapa kau menyembunyikan semuanya?"

Caroline menutup map di tangannya, meletakkannya di nakas. Ia berbalik sepenuhnya, menyilangkan tangan di depan dada, dan menatap Pratama dengan tatapan dingin.

"Menyembunyikan apa, Pram? Aku sudah bilang, ingatanku kosong. Aku hanya melakukan apa yang kurasa benar, apa yang kuharapkan dariku. Bukankah kau yang menginginkan aku menjadi rasional dan tidak emosional? Aku sedang melakukannya."

Pram maju dan menahan bahu perempuan itu. Tatapan mereka berdua bertemu, dan dia melihat pupil istrinya agak mengecil. “Aku menginginkan kau sehat, bukan bertingkah sebagai robot hidup!”

“Jika aku tidak diberitahu oleh pelayan disini, aku tidak akan tahu bahwa kau muntah setiap malam! Kau tidak makan! Frans bilang kau terlihat kurus! Apakah itu juga bagian dari bersikap yang kau maksud?" Suaranya bergetar, lebih karena putus asa daripada amarah.

Ekspresi Caroline tidak berubah. "Itu hanya penyesuaian tubuh. Mungkin makanan di sini tidak cocok. Aku akan beradaptasi. Jangan khawatirkan hal-hal kecil seperti itu." Ia mengatakannya seolah sedang menjelaskan grafik pasar yang fluktuatif, bukan kondisi tubuhnya sendiri.

Pratama menggelengkan kepala, tidak percaya. "Hal kecil? Caroline, ini tubuhmu! Jangan samakan hal itu dengan grafik yang kau sering bahas!"

Dia mengetatkan pegangannya lalu tertawa lagi, “Oh ya beradaptasi kau bilang? Bahkan kau tidak pernah meminta Frans mengubah menu atau apapun itu. Maksudmu beradaptasi sampai kau malnutrisi?”

Caroline menghela napas, terdengar seperti suara desahan frustrasi yang hampir tidak terdengar. "Pram, aku rasa bukan aku yang tidak baik. Kau lebih tidak stabil sekarang."

Pram membelalakkan kedua mata dan menggertakkan giginya. Menahan agar tak kelepasan.

“Aku tidak stabil?” Lelaki itu melepaskan genggaman di bahu istrinya dan melihat kemerahan di bahu itu. Berikutnya, melihat ke tangannya yang gemetar parah.

Dia menoleh pada Caroline, sakit hati. Tetapi dia justru tersenyum tipis. Kini giliran Caroline yang agak ketakutan. Saat melihat senyum itu, ia teringat dengan penjagal yang membekapnya sebelum menangkap dan melemparkannya ke penjara dulu.

Dia terlalu lama terjebak dalam benaknya sebelum ia melihat ke atas dan tidak menemukan Pram masih berdiri di depannya. Matanya terjulur jauh ke depan sebelum berlari sekencang mungkin.

“Pram.. Pram!”

Caroline berteriak ketakutan saat suaminya mundur sampai keluar kamar. Tubuhnya menabrak tiang penghalang di koridor lantai dua, nyaris saja ia terjatuh ke bawah. Caroline berlari keluar dan menarik lengan lelaki itu. Dengan tenaga yang entah datang dari mana, ia menarik Pratama masuk paksa ke kamar dan membanting pintu, menguncinya. “Kau ingin mati?!”

Napas Caroline terengah, ketakutan yang belum pernah Pratama lihat dari Caroline selama berminggu-minggu ini. Ketakutan itu tampak otentik, memecah topeng datarnya.

“Lin, aku lelah harus selalu menebakmu.” Pram berbisik kecil, namun ia masih bisa mendengarnya. “Apakah aku harus mati, agar kau puas dan bahagia?”

Caroline maju dan memukul dada Pram sekeras mungkin. Beberapa detik kemudian dia memukul lengan lelaki itu sekeras mungkin. “Tidak ada yang mau kau mati, sialan!”

"Menebak apa? Aku tidak melakukan apa-apa. Kau yang aneh. Kenapa kau harus menyelidiki semuanya? Kenapa kau mundur sampai hampir terjatuh?" Ia berusaha mengembalikan kontrol pada dirinya, namun suaranya masih bergetar.

Kini giliran Pram untuk diam. Ini adalah pertama kalinya ia melihat Caroline menunjukkan emosi yang begitu nyata sejak insiden traumatis itu. Ketakutan.

"Aku tidak aneh, dan aku tidak terjatuh. Kau yang terlalu panik tadi. Yang pasti, aku hanya lelah karena harus bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi padamu. Aku hanya keluar dari kamar begitu saja, maaf."

Ia menarik bahu istrinya dan memeluknya, kini debaran gila itu bisa ia rasakan, dan ia lagi-lagi terus terang. "Aku marah, Lin. Aku marah karena kau tidak mau membiarkanku masuk. Aku marah karena kau tidak mau mengatakan apa yang kau rasakan. Aku... aku takut kehilanganmu."

"Kehilangan? Aku tidak... aku tidak akan ke mana-mana," cicit wanita itu.

1
Cherlys_lyn
Hai hai haiii, moga moga karyaku bisa menghibur kalian sekalian yaa. Kalau ada kritik, saran, atau komentar kecil boleh diketik nihh. Selamat membaca ya readerss 🥰🥰
Anyelir
kak, mampir yuk ke ceritaku juga
Cherlys_lyn: okeee
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!