Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang pejuang
Ketika pikirannya sedang tak menentu, rumah adalah tempat paling pertama yang ingin dituju Sena. Lebih tepatnya, pelukan ibu. Meski usianya sudah menginjak kepala tiga, Sena tetaplah anak lelaki yang butuh dekapan hangat dan bisikan lembut dari sang ibu, tempat terbaik untuk menenangkan gundah yang tak bisa ia jelaskan.
Sudah cukup lama ia tidak menginjakkan kaki di rumah orang tuanya. Bukan karena lupa, hanya saja kesibukan dan kewajiban yang menumpuk membuatnya sulit menyisihkan waktu. Terlebih, ia memang tak bisa terlalu lama meninggalkan pekerjaannya.
Begitu kakinya melangkah melewati halaman rumah, ia disambut suara riuh kecil dari adiknya yang sedang duduk di halaman belakang bersama seekor Doberman gagah yang diberi nama Cuwi, anjing kesayangan keluarga.
“Mas? Tumben, pulang? Masih inget rumah ternyata,” goda Jeno, sambil tertawa.
Mendengar suara sang adik, Sena hanya terkekeh. Tanpa berkata banyak, ia berjongkok begitu Cuwi berlari menghampirinya dengan semangat. Sena membuka kedua tangannya dan langsung memeluk anjing hitam besar itu dengan senyum merekah di wajahnya.
“Kangen banget aku sama si ganteng ini,” gumamnya seraya mengusap kepala Cuwi penuh sayang.
“Ibu dimana, Jen?” tanya Sena, masih dalam posisi setengah jongkok.
“Di kamar, kayaknya lagi istirahat,” jawab Jeno.
“Sendirian?”
“Iya lah, Mas. Masa sama tetangga? Ya sama Ayah, lah,” balas Jeno dengan nada datar dan wajah tanpa dosa.
Sena terkekeh, lalu berdiri sambil menggeleng pelan. Ia mengambil tas selempangnya, meletakkannya di sofa ruang tamu, dan segera naik ke lantai dua. Langkahnya cepat, seperti anak kecil yang tidak sabar ingin bertemu ibunya setelah lama berpisah.
Rumah itu tidak banyak berubah. Masih hangat, masih tenang dan Sena bener-bener butuh pelukan seseorang yang bisa menampung lelahnya tanpa perlu bertanya panjang.
Tok! Tok! Tok!
Langkah Sena terhenti di depan kamar utama. Ia mengetuk pelan, tiga kali, sebelum membukanya perlahan.
Di dalam, suasana begitu hangat. Aroma lavender dari diffuser samar memenuhi ruangan. Di sudut dekat jendela, ibunya tengah duduk bersila di atas karpet tebal, fokus merajut benang wol biru muda menjadi syal. Tangannya bergerak terampil, sementara wajahnya teduh dan damai.
Di sisi lain, ayah Sena duduk di meja kerja dengan kacamata baca di ujung hidung. Di depannya, beberapa dokumen berserakan. Lampu meja menyorot kertas-kertas itu, menyisakan bayangan tenang di wajah pria paruh baya tersebut.
Sena berdiri di ambang pintu sejenak, mengamati pemandangan itu dengan dada yang entah kenapa terasa sesak sekaligus tenang. Lalu tanpa aba-aba, ia melangkah masuk dan langsung merebahkan tubuhnya di samping sang ibu, memeluk pinggangnya.
Ibunya menoleh, terkejut sesaat, lalu tertawa pelan. “Ish, Sena. Sudah besar masih suka manja begini.”
“Memang anak Ibu dari dulu manja,” balas Sena, suaranya terdengar lebih ringan daripada saat ia mengajar di depan kelas, jauh dari sosok tegas dan berwibawa itu. “Boleh, kan, manja sedikit?”
“Tentu saja boleh, Nak.”
Ayah Sena hanya melirik dari balik kacamatanya. “Pulang pasti galau, ya?" celetuknya santai.
Sena tertawa, lalu bangkit sedikit, menyandarkan kepalanya di bahu ibunya. “Nggak, Yah. Cuma kangen rumah aja.”
“Kangen rumah atau kangen seseorang?” sang ibu menimpali, melirik putra sulungnya penuh arti.
Sena terkekeh. “Kalian bisa baca pikiran, ya?”
Ibunya terkekeh kecil. “Nggak perlu baca pikiran. Cukup lihat dari cara kamu pulang, duduk. Jelas itu bukan sekadar rindu rumah.”
Sena tak menjawab. Ia hanya memejamkan mata sejenak, menikmati rasa aman yang hanya bisa ia temukan di sini—di rumah, dalam pelukan ibu, dan di bawah pengawasan ayah yang mungkin terlihat dingin, tapi selalu mengamati dalam diam.
“Bu… bisa kita ngobrol di taman belakang?” pinta Sena, terdengar lebih manja dibanding biasanya.
Rumi, sang ibu, hanya tersenyum kecil. Ia tahu, kalau Sena sudah bicara seperti itu, berarti ada sesuatu yang dipendam. Tanpa bertanya lebih dulu, ia mengangguk, lalu menggenggam tangan putra sulungnya itu.
Mereka pun berjalan beriringan keluar kamar, menuruni anak tangga, lalu menyusuri lorong menuju taman belakang rumah yang penuh dengan aroma bunga sedap malam dan melati.
Meski Sena adalah anak pertama, ia jauh lebih tertutup dibanding Jeno, adik bungsunya yang selalu blak-blakan. Sena jarang bercerita, entah soal kuliah, pekerjaan, bahkan soal rasa sakitnya sendiri. Kadang ia bisa tertawa ceria di depan keluarga, tapi menyimpan beban seorang diri.
Sena membiarkan tubuhnya tenggelam di pelukan ibunya, seperti saat ia masih kecil. Rumi, yang selalu menjadi tempatnya bersandar, mengelus rambutnya dengan lembut. Suasana hening, hanya suara gemericik air dari pancuran yang terdengar, menciptakan rasa tenang yang tiba-tiba muncul setelah hari yang berat.
“Masih ingat, dulu kalau kamu sakit, kamu selalu minta dipeluk?” Rumi memecah kesunyian, suaranya lembut dan penuh kasih.
Sena tersenyum miris. “Iya, Bu. Dulu, kalau gitu, kayak semua masalah langsung hilang. Sekarang... rasanya malah makin berat.”
Rumi mengerti betul apa yang sedang dirasakan putranya. "Apakah pekerjaan di kampus yang bikin kamu merasa tertekan?"
Sena menggeleng. “Kerjaan sih, biasa aja. Tapi... kadang rasa capek itu nggak datang dari fisik, Bu. Itu dari hati.”
Rumi menunggu, memberi waktu bagi Sena untuk membuka diri lebih dalam. Sebab, jika anaknya sudah bicara tentang perasaan, itu bukan hal yang mudah bagi Sena.
“Ada yang ganggu pikiranku, Bu. Ada seorang perempuan yang terus ada di pikiran Sena,” lanjut Sena dengan suara yang mulai tercekat.
Rumi mendekatkan diri, merangkul Sena dengan lebih erat. "Perempuan? Siapa dia?"
“Namanya Camelia. Dia, berbeda. Tapi semakin aku mencoba deketin, semakin dia menjauh. Semakin aku beri perhatian, semakin dia terlihat nggak nyaman.”
Rumi menatap putranya. "Dia nggak suka perhatianmu?”
Sena mengangkat bahunya, merasa bingung dengan perasaannya sendiri. “Aku nggak tahu dan aku juga nggak ngerti apa yang dia rasakan. Kadang dia terlihat... tertarik. Tapi kebanyakan waktu, dia ngelindungin diri. Nggak ada respon, Bu. Cuma keheningan, yang buat aku semakin penasaran.”
Rumi, mencoba memahami. “Mungkin dia sedang menutup dirinya, Nak. Bisa jadi dia takut atau nggak siap untuk menerima perhatian lebih dari seseorang.”
Sena menundukkan wajahnya, gelisah. “Tapi aku nggak bisa berhenti mikirin dia, Bu. Rasanya... aku ingin dia tahu kalau aku serius. Tapi setiap kali aku coba lebih dekat, rasanya aku justru makin jauh dari dia.”
Rumi mengusap pundak Sena, memberi ketenangan dengan sentuhannya. “Sena, kamu nggak bisa memaksakan perasaan. Kalau dia memang nggak siap, kamu harus memberi ruang untuk dia berpikir. Perasaan itu datangnya nggak bisa dipaksa, Nak. Kadang, sabar itu lebih penting daripada tindakan terburu-buru.”
Sena mengangkat wajahnya, matanya mencari ketenangan dalam tatapan sang ibu. “Tapi bagaimana kalau aku kehilangan kesempatan, Bu? Bagaimana kalau ternyata dia memang nggak akan pernah tahu apa yang aku rasakan?”
“Kalau kamu memang mencintainya, kamu harus belajar melepaskan, Nak. Melepaskan bukan berarti menyerah. Tapi berarti memberi dia kebebasan untuk memilih. Jika dia memang untukmu, dia akan kembali. Tapi jika dia memilih jalan lain, kamu harus rela.”
Sena terdiam, kata-kata ibunya terasa dalam dan menyentuh hatinya. “Aku takut, Bu. Aku takut kalau dia memang nggak pernah merasa yang sama. Kalau dia nggak pernah tahu betapa aku ingin dia.”
Rumi mengelus rambut Sena, memberikan ketenangan. “Semua perasaan itu ada waktunya, Nak. Tidak semua cerita cinta dimulai dengan mudah. Terkadang, jalan itu berliku, dan kita harus belajar untuk berjalan di atasnya tanpa tahu arah yang pasti. Tapi yang penting, kamu harus tahu satu hal, dengan atau tanpa dia, kamu tetap berharga.”
Sena terdiam, mencerna setiap kata ibunya. Ia merasa ada ketenangan yang perlahan meresap ke dalam hatinya. “Makasih, Bu... aku rasa aku butuh waktu untuk pikirin ini semua.”
Rumi tersenyum, menatap anaknya dengan penuh kasih sayang. “Kamu selalu tahu apa yang terbaik, Nak. Jangan biarkan takut menguasai hidupmu. Kadang, kita perlu berani menghadapi rasa takut itu, dan biarkan hati kita memilih jalan yang tepat.”
“Aku nggak tahu apa yang terjadi, Bu... Tapi aku rasa, aku harus lebih sabar. Mungkin ini memang waktunya untuk belajar melepaskan.”
“Ya, Nak. Sabarlah,” kata Rumi sambil mengecup kepala Sena dengan lembut. “Kadang, waktu yang akan menyembuhkan semuanya. Kamu harus percaya.”
Malam semakin larut, Sena merasa sedikit lebih ringan. Ia tahu, apapun yang terjadi dengan Camelia, ia masih memiliki ibu yang selalu ada disampingnya, memberi rasa aman dan percaya diri.
......................
Sena memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Perjalanan dari rumah orangtuanya ke pusat kota tak terasa panjang. Begitu tiba di apartemen, ia melepas jaket dan tasnya sembarangan ke sofa. Lampu ruangan ia biarkan setengah redup, cukup untuk menerangi tanpa membuat silau.
Langkahnya lambat menuju dapur kecil, mengambil sebotol air dingin dari kulkas, lalu duduk diam di meja makan. Rasa penat yang sempat reda sejenak setelah bertemu sang ibu, kini kembali merayap perlahan.
Sena menatap kosong ke arah rak buku tempat ia biasa menyimpan dokumen perkuliahan, lalu mengalihkan pandangan ke meja kerja tempat laptop dan jurnalnya berserakan. Ada begitu banyak hal yang harus ia kerjakan, tapi pikirannya hanya terpaku pada satu hal. Atau lebih tepatnya, satu nama.
Camelia.
Perempuan itu yang membuatnya ingin menjadi lebih dari sekadar dosen dan pemilik kafe. Yang membuatnya merasa kembali menjadi remaja yang jatuh cinta, penuh rasa ingin tahu dan takut ditolak.
Tangannya terkepal di atas meja. Aku nggak bisa begini terus, batinnya.
Sena sempat berpikir, melepaskan Camelia mungkin adalah langkah paling bijak, seperti kata ibunya. Tapi hatinya menolak. Ia bukan tipe lelaki yang menyerah tanpa berjuang. Apalagi jika itu menyangkut sesuatu yang ia yakini.
"Aku nggak akan menyerah! Bukan aku kalau menyerah cuma karena dia belum bisa menerimaku sekarang."
Ada bara dalam hatinya. Bukan bara penuh amarah, tapi nyala tekad yang perlahan tumbuh. Ia tahu ini akan sulit. Camelia bukan perempuan yang mudah diyakinkan. Ia punya tembok tinggi dan cara sendiri untuk menjaga jaraknya dari dunia.
Sena yakin di balik dinginnya sikap Camelia, ada sisi lembut yang tak semua orang bisa lihat dan ia ingin menjadi orang yang bisa diterima di sisi itu. Pada akhirnya, Sena memutuskan untuk tidak mundur dan tidak diam dan juga untuk tidak melepaskan.