NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Inginkan Pengacara Terkenal

Istri Yang Tak Di Inginkan Pengacara Terkenal

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:11k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Sabina

Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Flashback keegoisan Greta

Udara pagi itu seharusnya ringan, dipenuhi aroma kopi hitam dan roti panggang yang membangkitkan selera. Namun, bagi Maya, pagi ini terasa seperti kabut tebal yang mencekam. Ada gumpalan kata yang mengganjal di dadanya, sebuah rahasia yang kini memegang erat jantungnya. Di tangannya, selembar foto yang usang, ditemukan di laci tua semalam. Sebuah foto yang menantang seluruh hidup yang ia ketahui.

"Pak..." Suara Maya serak, nyaris tak terdengar.

Ahmad, yang tenggelam di balik lembaran koran, menoleh dengan tatapan bingung. "Kenapa belum berangkat kuliah?"

Maya tidak menjawab. Ia hanya berjalan maju, meletakkan foto itu di atas meja. Gambar seorang wanita dengan senyum manis dan mata yang persis seperti matanya, kini memisahkan cangkir kopi Ahmad dan koran yang dibacanya.

Ahmad menatap foto itu. Seketika, napasnya seolah ditarik paksa dari paru-parunya. Tangannya yang memegang koran perlahan menegang hingga buku-buku jarinya memutih.

"Dari mana kamu dapat ini?" Suaranya rendah dan penuh ketegangan.

"Laci belakang. Di lemari Mama dulu..." jawab Maya, matanya lurus menembus mata ayahnya. "Siapa dia, Pak? Greta Marcelonaz itu... ibu kandungku, kan?"

Pertanyaan itu seperti bom yang meledak. Ahmad terdiam. Ia berdiri perlahan, melangkah ke dekat jendela, memunggungi Maya. Ia tidak sanggup melihat kekecewaan di mata putrinya.

"Dia... ibumu, iya. Tapi ceritanya tidak sesederhana itu."

"Kenapa Ayah sembunyikan? Kenapa selama ini aku tidak pernah tahu?" tanya Maya, suaranya kini dipenuhi kepedihan.

Ahmad memejamkan mata, seolah mencoba menahan gelombang emosi yang datang. "Karena aku takut kamu terluka. Aku pikir, mungkin lebih baik kamu tidak tahu."

"Lebih baik aku dibohongi?"

Ahmad menoleh, matanya berkaca-kaca. "Bukan bohong. Ayah hanya... belum siap. Belum cukup berani buat jujur."

"Dia meninggalkan aku, Pak. Tapi kenapa aku malah merasa kosong setelah tahu dia nyata?"

Ahmad akhirnya menyerah pada perasaannya. Ia menarik kursi, duduk di hadapan putrinya. "Maya, dulu Papa marah. Sangat marah. Tapi semakin kamu besar, Papa sadar... manusia itu rumit. Termasuk Papa. Termasuk dia."

"Kenapa dia pergi? Kenapa Hanna yang dibawa? Kenapa aku yang ditinggal?" Suara Maya bergetar.

Ahmad menunduk, air mata menetes dari matanya, membasahi tangannya. "Karena waktu itu... dia percaya aku bisa menjaga kamu lebih baik. Dia juga harus menyelamatkan dirinya sendiri dari kehancuran. Dan waktu itu, aku tidak bisa mencegahnya. Aku terlalu keras kepala, terlalu marah, terlalu kecewa..."

"Jadi, Ayah masih sayang dia?"

"Yang Ayah tahu, Ayah masih belajar memaafkan. Tapi satu hal yang pasti..." Ahmad meraih tangan Maya, menggenggamnya erat. "Dia ibu kamu. Dan kamu berhak tahu siapa dia sebenarnya. Kamu berhak memutuskan sendiri apakah mau mengenalnya atau tidak. Tapi... jangan tutup hati kamu hanya karena luka Papa dulu."

"Dia meninggalkan aku..." tangis Maya pecah.

Ahmad bangkit, memeluk putrinya dengan erat. "Tapi dia tidak pernah berhenti memikirkan kamu. Dia kirim surat, dia kirim kabar lewat orang yang Ayah tolak. Aku yang tidak kasih kamu tahu, karena waktu itu Ayah belum sanggup melihat kamu terluka lagi."

Pelukan Ahmad terasa seperti benteng yang runtuh, melepaskan semua penyesalan yang ia simpan selama bertahun-tahun.

"Maafkan Ayah. Ayah hanya ingin kamu tumbuh bahagia... meski dengan cara Ayah yang salah."

Maya menangis di dada ayahnya. Tangisan itu bukan hanya karena luka, tapi juga karena kelegaan. Untuk pertama kalinya, luka masa lalu yang selama ini mengendap mulai terbuka—bukan untuk menyakitkan kembali, melainkan untuk mulai sembuh. Pagi itu, di tengah aroma kopi yang dingin, sebuah keluarga yang retak menemukan jalannya untuk kembali bersatu.

Flashback ON

Sekitar dua dekade yang lalu…

Langit sore di Kota Cebu, Filipina, berwarna jingga lembut. Cahaya matahari menari di atas laut, membentuk bayangan panjang di dermaga tua.

Di sanalah Ahmad pertama kali melihatnya—gadis dengan rambut sebahu, kulit sawo matang, dan senyum yang tak bisa dilupakan.

Greta Marcelonaz.

Ahmad, pria asal Indonesia, sedang menjalani tahun ketiganya sebagai backpacker dan freelance guide keliling Asia Tenggara.

Pria itu pernah mendaki Himalaya, terjebak badai di Luang Prabang, tidur di stasiun Yangon, dan berenang di sungai Mekong—tapi tak ada yang menggetarkan hatinya seperti senyuman gadis Filipina itu.

Pertemuan mereka sederhana.

Greta sedang kebingungan mencari bus lokal untuk menuju rumah neneknya. Ahmad yang sudah cukup fasih berbahasa Tagalog, menawarkan bantuan tanpa ragu.

“Kailangan mo ba ng tulong?” (Perlu bantuan?)

Greta menoleh. “Oo… Medyo naligaw ako…” (Iya, aku agak tersesat…)

Dan begitulah semuanya dimulai.

Hari-hari berikutnya menjadi lembaran kisah yang tak bisa diulang. Ahmad tinggal sementara di Cebu, membantu Greta menerjemahkan dokumen, menemaninya menghadiri festival lokal, bahkan ikut ke acara bersama keluarga besar Marcelonaz.

Bagi Ahmad, Greta berbeda dari gadis Asia lain yang pernah ia temui.

Ambisius. Lembut. Tapi juga penuh bara.

Ia menyimpan mimpi besar: ingin menjadi pengacara internasional dan membela perempuan serta anak-anak korban kekerasan. Greta adalah segalanya yang tak dimiliki Ahmad—berpendidikan, bergengsi, dan berasal dari keluarga terpandang di Manila. Tapi justru itu yang membuat Ahmad merasa hidup.

“Kalau suatu hari aku pergi dari sini, kamu ikut aku nggak?” tanya Ahmad pada suatu malam di tepi pantai.

Greta tertawa pelan. “Kalau kamu bisa lewati Papa-ku dulu, baru kita bicara.”

Mereka tertawa bersama, seolah dunia hanya milik berdua. Tapi cinta, seperti perjalanan, tidak selamanya tenang.

Hari demi hari berlalu. Greta tertarik pada pandangan hidup Ahmad yang bebas, jujur, dan apa adanya.

Sedangkan Ahmad terpikat oleh kecerdasan dan tekad kuat Greta. Saat itu Greta sedang menempuh pendidikan hukum internasional—dan bercita-cita membela perempuan korban kekerasan.

Cinta mereka tumbuh cepat, melampaui batas bahasa, budaya, dan logika. Tapi tak semua keluarga sependapat.

Keluarga Greta, terutama sang ayah, menentang keras hubungan itu.

Bagi mereka, Ahmad bukan siapa-siapa—hanya pria pengembara tanpa latar belakang jelas. Tapi Greta bersikeras. Ia melawan. Ia menikah secara diam-diam dengan Ahmad dan meninggalkan Manila.

Mereka pindah ke Indonesia. Tinggal di Yogyakarta, menyatu dalam kehidupan sederhana. Di sinilah, Hanna lahir lebih dulu. Gadis kecil dengan rambut ikal seperti ibunya dan mata tajam seperti ayahnya.

Enam tahun kemudian, Maya lahir. Bayi mungil yang lebih tenang, tapi punya senyum yang menyimpan keteguhan hati.

Namun, kehidupan pernikahan tak seindah yang mereka bayangkan. Greta mulai merasa kehilangan arah. Ia jauh dari keluarganya, dari cita-citanya, dari kehidupan modern yang dulu ia kejar.

Sementara Ahmad, meski mencintai keluarganya sepenuh hati, tak pernah bisa memberikan kehidupan yang layak menurut standar Greta.

Malam-malam mereka diisi pertengkaran, diam-diam, dan tangis di dapur yang sempit. Hingga akhirnya, Greta membuat pilihan yang menghancurkan.

Pertengkaran muncul. Halus, lalu mengeras. Tak selalu dengan suara, tapi dengan dinginnya tatap mata dan sunyinya tempat tidur.

Yogyakarta, malam hari. Hujan turun deras. Di ruang tamu sempit rumah mereka, suara tangis bayi Maya terdengar dari kamar belakang. Hanna yang masih balita tertidur di sudut ruangan.

Greta berdiri di dekat jendela, tubuhnya gemetar menahan amarah. Ahmad baru pulang kerja, tubuhnya basah kuyup, dan langsung masuk tanpa melepas jaket.

Greta Marcelonoz berbalik tajam dengan tatapan marah menantang sang suami, "Kamu pulang juga akhirnya. Seharian pergi tanpa kabar, tanpa bantuin apa-apa di rumah!" maki Greta dengan emosi.

Ahmad yang baru pulang bekerja untuk bisnis kulinernya meletakkan tas dengan keras menatap istrinya dengan tatapan tak kalah emosi.

"Greta, aku baru aja kerja sepuluh jam buat biar rumah ini tetap nyala listriknya. Kamu pikir aku liburan?!" maki Ahmad yang nada suara tak kalah tinggi.

Greta duduk bergetar, menahan tangis, "Kerja? Dan itu cukup alasan buat nyuruh aku berhenti jadi manusia?! Aku dulu punya hidup, Ahmad! Aku punya rencana, aku punya masa depan."

Ahmad mendekat, nada makin keras lalu menampar Greta.

PLAK!

"Kamu juga punya anak sekarang! Punya keluarga! Apa itu nggak cukup?" ucap Ahmed melihat istrinya terkelungkup.

Greta balas menatap sang suami lalu membentak sambil memegang pipinya yang memerah.

"TIDAK!" ujar Greta dengan nada suara meninggi, "nggak cukup kalau aku terus dikurung di rumah, disuruh lupa siapa aku, disuruh diam! Kamu bahkan nggak izinkan aku lanjut kuliah—"

Ahmad memotong kalimat istrinya yang belum selesai, "karena siapa yang bakal jaga anak-anak kalau kamu ke luar tiap hari?! Hanna masih kecil! Maya baru lahir!"

"Dunia ini nggak akan kiamat kalau laki-laki juga ikut jaga anaknya! Tapi kamu… kamu pikir tugas rumah cuma milik perempuan! Kamu pikir aku cuma alat untuk melahirkan dan masak?" marah Greta.

"Jangan putar balikin! Aku cuma nggak mau kamu kejar ambisi sampai lupa keluarga!" balas Ahmed dengan sengit.

"Keluarga yang kamu maksud cuma kamu dan aturanmu! Kamu keras kepala, Ahmad! Kamu patriarkal! Kamu takut aku lebih pintar, lebih mandiri, lebih sukses!" jawab greta dengan nafas memburu dan nada menantang.

Ahmad diam sesaat, lalu datar.

"Kamu keterlaluan."

"Keterlaluan? Aku cuma jujur. Aku kehilangan diriku sejak tinggal di sini. Kamu pikir ini hidup? Ini penjara."

Greta bicara dengan senyum sinis, dan menghina suaminya.

Ahmad berjalan ke jendela, membelakangi Greta.

"Kamu mau pergi, ya? Itu maksudmu?" tanya Ahmad dengan nada yang sudah pelas.

"Iya. Ada beasiswa di Manila. Aku akan ambil. Aku akan pergi." Greta nada suaranya lirih mengisyaratkan kepada Ahmad.

Ahmad berbalik cepat dan menatap tajam istrinya, "bawa anak-anak juga?!" tanya Ahmed.

Tubuh Greta bergetar tatkala harus membuat keputusan mutlak, keputusan yang akan mengubah takdir Maya anak keduanya di masa depan.

"Hanna ikut aku," putus Greta kepada sang suami

Ahmad marah, mengepalkan tangan menatap sang istri yang berani mengambil keputusan sepihak.

"Greta! Jangan egois! Maya masih bayi!" ucap Ahmad.

"Justru karena itu… dia butuh kamu. Kamu lebih tenang. Kamu bisa rawat dia. Aku tahu kamu sayang Maya." Greta dengan suara lembut dan tegas.

"Kamu mau pisahkan mereka? Dua saudara kandung?!" kata Ahmad hanya bisa menggelengkan kepala atas keputusan istrinya.

GRETA

(mata berkaca-kaca)

Kamu pikir aku nggak sakit? Tapi aku juga harus menyelamatkan diriku sendiri. Kalau aku tetap di sini, aku akan hancur. Dan anak-anak juga akan lihat kehancuran itu.

"Kalau kamu pergi sekarang… jangan pernah kembali."

Ahmed menarok nafas lalu pergi meninggalkan Greta di ruang tamu menemui Maya di kamarnya, bayi perempuan yang berselimut warna pink itu tak tahu atas masalah kedua orang tuanya yang di hadapi.

Wanita Filipina itu kali ini terdiam lama, lalu berkata pelan.

"Kalau itu harga yang harus aku bayar, aku akan terima mas," ungkap Greta dengan lirih.

Lalu wanita itu masuk ke kamar, menggendong Hanna yang terbangun. Anak yang berusia enam tahun itu sudah mengantuk.

"Mama… kita mau ke mana?" tanya Hanna.

"Pulang, sayang… kita pulang ke Manila." Greta berucap sambil tersenyum samar, menahan tangis sebelum pergi dirinya melirik ke kamar lain, tempat Maya menangis.

Suara bayi itu nyaris tak terdengar, karena tekadnya mengejar impiannya di negaranya sendiri.

"Maaf, Maya… Mama pergi, tapi bukan karena nggak sayang."

Greta melangkah keluar pintu. Hujan menyambut mereka. Ahmad berdiri kaku di ruang tamu, menggenggam baju kecil Maya yang masih basah dijemur.

Dan malam itu… bukan hanya Greta yang pergi. Tapi juga sebagian dari Ahmad yang tak pernah kembali. Akhirnya Greta membuat keputusan. Ia pergi membawa Hanna dan meninggalkan Maya.

1
partini
🙄🙄🙄🙄🙄
Azka Bara
kapan maya bahagianya,,terus itu Adrian kq tidak si pecat sih
Azka Bara
mosok Adrian masih mau sama lily sih,di tunggu karmamu Adrian
Daplun Kiwil
semangat up nya thor
partini
ini baru lawan sepadan good girl 👍👍 adikmu terlalu lemah lembut gampang di sakiti ,, pertarungan seperti apa yah selanjutnya di antara mereka lanjut thor
partini
OMG ini mah wow buangttt kalau masih balikan double wow no good
partini
suami gemblung
Uthie
sebenarnya sy kadang aga malas kalau baca di awal, dimulai proses yg panjang nya dulu 😁
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏

kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏
Putri Sabina: berarti suka yang alurnya mundur ya daripada maju/Smile/
total 1 replies
partini
nyeseknya,,so kita lihat the next episode apakah anding nya bersatu lagi seperti ana dan adam atau berpisah
Uthie
ketidak beranian kadang meninggalkan penyesalan dikemudian hari .. saat seorang wanita butuh laki2 yg berani dan pasti-pasti aja 👍😁
Uthie
coba mampir 👍
Eridha Dewi
kok kasihan Maya ya Thor, dah cerai saja
Qian Lin
tapi memang bukan perempuan baik2 kan li? adrian tau engga ya kamu simpenan2 lain? kamu terlalu pinter nutupin atau memanh si adrian yang buta.
Qian Lin
yaaampun,. menyadari kalau kamu ani - ani. ya sifat manusia sih.
Qian Lin
yang bener Mario Santiego atau mario Dantes. wkwkwkw lupa ganti kah autor
Putri Sabina: Mario Dantes Santiago
total 1 replies
Qian Lin
aduh bingung ai, diawal bapak bilang, ibu bakal balik, ini dia nglarang buat jangan panggil ibu. Kontradiksi. jadi gimana sifat bapak ahmad ini, dingin dan tegas atau lembut penyayang?
Putri Sabina: nanti revisi Kakakku/Smile/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!