NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:372
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

Dari pelajaran pertama sampai akhirnya bel istirahat berbunyi, Quin tidak berhenti menatap ke kursi paling belakang. Kursinya Dima. 

“Udah, tanya aja,” bisik Nisa yang sibuk mengambil basreng dari lacinya. Berbeda dengan Quin yang jarang nyemil, Nisa itu ratunya nyemil. Dia bisa nyemil basreng satu bungkus satu pelajaran. Hebatnya dia tidak sakit perut dan badannya tetap langsing. Apalagi kulitnya, mulus kaya aktris Korea. Kadang Quin bingung sekaligus iri melihat temannya punya gen idol.

“Tanya apa?” Quin berbisik balik. 

“Pake nanya, ya soal lomba puisi lah!”

Tiba-tiba kepala Meta muncul di pundak Quin dan ikutan berbisik, “Kita lagi bisikin rencana apa nih?”

“Aduh berat!” kata Quin sambil bangkit dan mendorong Meta menjauh bersamaan dengan Dima dan Givan melangkah keluar kelas.

“Hayo! Jangan dorong-dorongan, ntar gue lagi yang kena!” kata Dima berusaha menghindari Meta yang hampir saja menabraknya lagi.

Quin, Meta, dan Nisa terdiam melihat Dima dan gengnya keluar kelas.

“Kalian duluan aja deh ke kantin. Gue masih mau di kelas,” kata Quin yang kembali duduk.

“Aku juga di kelas aja ah, diet!” kata Meta yang ikutan duduk.

“Diet apaan lu! Temenin gue makan!”kata Hana yang duduk sebangku Meta, mendorong Meta keluar dari kursi dan jalan keluar kelas.

“Ikut! Gue juga laper!”kata Nisa mengikuti Hana dan Meta, padahal tadi dia sudah habis sebungkus basreng.

Quin melirik kursi belakang, masih ada Vino dan Edzar, tapi kursinya Dima sudah kosong. Perlahan, Quin bangkit dan jalan ke depan kelas. Dia mengambil sapu lalu pura-pura menyapu lantai kelas dari bagian belakang. Bagian kursinya Dima. 

Vino dan Edzar masih sibuk main roblox. Dua teman perempuannya yang duduk di paling depan juga tidak memperhatikan Quin. Quin berusaha melirik laci meja Dima, mencari-cari sesuatu. 

‘Tidak ada,’ kata Quin dalam hati. 

Dia melirik ke tas Dima yang sedikit terbuka. Ada buku catatan puisinya Dima, di sana. Setelah memperhatikan bahwa tidak ada orang yang melihatnya, sekali tarik, diambilnya buku dari dalam tasnya Dima. Dia lalu bergegas duduk di kursinya dan memasukkan bukunya ke dalam tasnya. Beberapa murid masuk ke kelas setelah dari kantin. Quin pura-pura serius membaca buku sejarah. 

Tak lama kemudian bel masuk berbunyi. Nisa, Meta, dan Hana datang sambil membawa botol mineral. Nisa duduk di sebelah Quin dan menatap Quin heran.

“Kenapa?” tanya Quin pada Nisa yang masih menatapnya heran.

“Elu ngapain?”

“Nggak ngapa-ngapain!” Quin terdengar kesal, lalu menutup buku sejarah dan mengeluarkan buku kimianya.

Dima dan gengnya masuk ke kelas, jalan ke kursinya dengan melewati sapu yang ada di kursinya Quin. “Harry potter apa gimana, ada sapu terbang gini?”

Gengnya Dima tertawa melihat Dima menggodai Quin. 

‘Bodoh!’ kata Quin dalam hati lalu bergegas menyimpan sapu ke depan kelas dan kembali lagi duduk di kursi.

“Makanya tadi gue tanya, elu ngapain?” tanya Nisa pada Quin.

“Sssh!” Quin menyuruh Nisa diam, karena guru Kimia sudah datang.

Bel pulang sekolah berbunyi. Semua murid bersiap pulang sekolah. Givan dan geng berangsur pergi. Di kelas hanya ada Dima yang masih sibuk keliling kelas mencari sesuatu.

Dengan langkah tegas dan terburu-buru, Dima datang teriak, “Eh! Ada yang liat buku puisi gue?”

Givan yang sedang nongkrong di warung Bu Neneng bersama Danu, Jejen, Timi, dan Teri terpaku melihat Dima seperti ketakutan.

“Elu ngumpetin buku gue?” tanya Dima pada Givan yang sedang makan bakwan goreng.

“Nggak ada gunanya gue ngumpetin buku elu, Dim!” jawab Givan sambil makan bakwan dengan pelan.

“Kok buku gue nggak ada!” kata Dima sambil mengacak-acak rambut ikalnya.

“Di rumah kali,” kata Danu menenangkan.

“Nggak. Gue bawa!”

“Coba cari dulu di rumah, ketinggalan kali,” kata Teri mendukung Danu.

“Aaah!” Dima mengeluh kesal lalu pergi meninggalkan Givan dan yang lain.

Dima melangkah dengan kesal ketika melewati bagian belakang rumah Quin. Entah kenapa langkahnya terhenti dan dia memutuskan untuk melirik ke jendela kamar Quin. Tidak ada siapa-siapa di sana. Dima lalu bergegas pulang. Sebelum belok ke teras rumahnya yang sederhana dan kecil, dia berdiri di balik tembok. Meski tingkat dua, rumahnya berada dempetan dengan rumah tetangganya. Di balik dinding rumah tetangganya, bisa mendengar ayahnya sedang duduk di teras sambil teleponan dengan seseorang.

“Tolong lah, diberi waktu. Saya lagi sakit, nggak bisa ngojek. Saya lagi cari pinjeman juga, belum dapet. Mana kemaren motornya rusak.”

Dima menundukkan kepala. ‘Apakah ayah sedang kesulitan keuangan?’ kata Dima dalam hati.

Sesaat kemudian, ayahnya berhenti menelepon. Dima akhirnya bisa masuk ke dalam rumah. Dia salim pada ayahnya yang sedang sibuk chating dengan seseorang. Dima tidak berani bertanya pada siapa tadi ayahnya teleponan. Dia memutuskan masuk ke dalam rumah dan melupakan apa yang tadi dia dengar.

“Bu, liat buku catetan aku yang warna coklat nggak sih?” tanya Dima pada Ibunya yang sedang menghitung belanjaan yang dibelinya untuk membuat risol jualan besok pagi.

“Buku yang mana?” kata ibunya sambil masih fokus mencatat di buku catatan.

“Yang coklat, yang biasa aku bawa-bawa,”

“Kalau kamu bawa, berarti kamu yang tau buku itu ada di mana.”

“Kalau aku tau, aku nggak nanya, Bu.”

“Coba cari dulu di kamar kamu.”

Dengan terpaksa Dima hendak melangkah ke kamarnya di lantai dua. Di tengah tangga, Dima menghentikan langkahnya lalu menoleh ke ibunya, “Bu.”

“Coba cari dulu,” jawab ibunya santai dan masih fokus ke buku catatannya.

“Bukan itu. Aku mau tanya, bapak lagi teleponan sama siapa?”

Ibunya menoleh ke Dima, lalu melongo ke ruang tamu, “Nggak tau. Kenapa?”

“Nggak, apa-apa,” jawab Dima lesu tidak jadi mencari bukunya, lalu kembali ke kamarnya.

Malam itu langit cerah. Bintang terlihat berserak. Quin membuka jendela kamarnya agar bisa melihat ke langit. Dia sedang teleponan dengan Nisa.

“Kemaren gue pulang dianter Dima.”

“Demi apa?”

“Dia abis benerin motornya, katanya kemaren nabrak tukang sampah,”

“Oh, iya. Emang. Gara-gara Mang Ujo.”

“Ya abis itu dia cerita, bapaknya lagi sakit, jadi nggak bisa ngojek. Motornya dipake Mang Ijo buat nganter-nganter atau ngojek. Termasuk nganter tugas gue yang ketinggalan kemarin dulu.”

“Sori.”

Nisa menghela napas.

“Kok elu baru cerita?”

“Ya baru inget!”

“Terus?” tanya Quin jadi penasaran. Penasaran apa lagi yang diceritakan Dima pada Nisa.

“Ya udah. Gitu aja.”

“Masa gitu aja?

“Terus mau gimana lagi? Kalau elu mau tau, tanya orangnya aja langsung!”

Sementara itu, Dima yang cuma pakai kaos kutang dan celana pendek, duduk di depan kipas angin yang berdebu sambil teleponan dengan kakaknya, Lala.

“Kayanya ayah lagi butuh uang, Kak,” kata Dima sambil masih merogoh bagian dalam tasnya yang sudah kosong.

“Udah tanya ibu?”

“Ibu nggak mau cerita.”

“Eh, kalau nggak salah lagi ada pendaftaran You Are My Idol, kamu ikutan gih,”

“Hah? Kenapa jadi lomba nyanyi?” Dima heran, apa hubungannya butuh uang dengan lomba.

“Kamu kan bisa main musik, bisa bikin puisi, kenapa nggak nyanyi sekalian. Siapa tau terkenal, kita bisa nggak pusing soal uang lagi,” kata Lala berusaha meyakinkan Dima.

“Aku bisa main musik, aku bisa bikin puisi, tapi aku nggak bisa nyanyi, Kak! Kenapa nggak kakak aja yang daftar?”

“Udah. Nggak lolos!”

“Oh.”

“Coba aja kamu kirim, tinggal kirim video nyanyi doang kok!” 

Entah kenapa yang ada di pikiran Dima malah Quin.

Selesai teleponan dengan Nisa, Quin lalu duduk di meja belajarnya, membuka buku catatan puisinya Dima, dan lalu membuka formulir pendaftaran lomba puisi di laptopnya.

Dima yang sudah selesai teleponan dengan kakaknya, membuka laptopnya melihat chanel youtube milik Quin. Dia lalu membuka halaman formulir pendaftaran You Are My Idol di tab berikutnya.

Quin menulis puisi dari bukunya Dima ke formulir pendaftaran lomba.

Dima memasukkan link video Quin bernyanyi ke formulir pendaftaran lomba.

Di saat yang bersamaan, Quin dan Dima menekan tombol submit.

Bersambung.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!