Langit yang berwarna biru cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung, seperti janji yang pernah terucap dengan penuh keyakinan, namun pada akhirnya berubah menjadi janji kosong yang tak pernah ditepati.
Awan hitam pekat seolah menyelimuti hati Arumni, membawa bayang-bayang kekecewaan dan kesedihan, ketika suaminya , Galih, ingkar pada janjinya sendiri. Namun perjalanan hidupnya yang tidak selalu terfokus pada masa lalu, dapat membawanya ke dalam hidup yang lebih baik.
Akankah Arumni menemukan sosok yang tepat sebagai pengganti Galih?
ikuti terus kisahnya! 😉😉
Mohon kesediaannya memberi dukungan dengan cara LIKE, KOMEN, VOTE, dan RATING ⭐⭐⭐⭐⭐ 🤗🤗 🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Restu Langit 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Motor baru
Suasana pagi di rumah pak Arif masih seperti biasa, Arumni sibuk di dapur untuk membuat sarapan, membuat kopi untuk pak Arif, dua cangkir teh untuk bu Susi dan juga untuk dirinya. Mereka selalu menikmati pagi santai sebelum beraktifitas. Tidak ada yang berubah dari Arumni di pagi itu.
Bu Susi yang merasa bersalah atas ucapan kasarnya semalam, segera meminta maaf pada Arumni. "Arumni, maafkan ucapan ibu semalam, ya? ibu terlalu khawatir sampai tidak bisa mengendalikan diri." Kata bu Susi setelah mereka selesai sarapan.
Arumni mengulas senyum, "tidak papa, bu. Aku mengerti."
Pak Arif melebarkan senyum, saat melihat istri dan menantunya kembali berhubungan baik. "Arumni, tapi bapak harap kamu selalu memberi kabar pada Galih, agar Galih tidak merasa khawatir seperti kemarin."
"Iya, pak. Semalam mas Galih sudah menghubungi aku. Oh ya, pak! kata mas Galih, aku boleh beli motor untuk pulang pergi bekerja, menurut bapak dan ibu bagaimana?" Arumni memang selalu meminta saran pada kedua orang tua Galih, saat ingin melakukan sesuatu, atau membeli sesuatu, meskipun itu mengunakan uang sendiri yang diberikan oleh Galih.
"Itukan uang kamu, Arumni. jadi bagaimana baiknya menurut kalian saja, bapak tidak masalah." ucap pak Arif sambil mengikat tali sepatunya, karena sudah waktunya pergi mengajar. "Bapak berangkat dulu, ya?" pak Arif pun berpamitan pada istri dan menantunya.
Setelah pak Arif berangkat mengajar, kini bu Susi membantu Arumni membereskan rumah, sebelum bu Susi juga akan berangkat ke pasar. Mereka menjalani kehidupan sederhana yang cukup membahagiakan.
"Arumni, ibu cuma ingin tahu, kenapa kamu memilih bekerja, bukankah kamu sudah cukup sibuk mengurus rumah dan menyiapkan segala keperluan bapak dan ibu? dan lagi, kalau kamu memang ingin bekerja kenapa kamu tidak kerja di Jakarta saja?" Desis bu Susi saat membantu Arumni membereskan rumah.
Sejenak Arumni terdiam, sesungguhnya ia bingung harus memberi alasan apa pada ibu mertuanya. "Tidak papa, bu. Selama ini aku kan belum pernah ngerasain kerja, jadi aku rasa ini waktu yang tepat." ucapnya sambil mengelap meja.
"Tapi kenapa kamu tidak kerja di Jakarta saja?"
"Aku kan sudah bilang, bu. Aku ngak betah tinggal di Jakarta, di Jakarta sangat panas." Selalu itu alasan Arumni.
"Arumni, ibu tidak tahu ada apa sebenarnya diantara kalian, tapi ibu baru pertama kali tahu, ada seorang istri yang tidak betah tinggal sama suaminya. Padahal ibu sudah berharap banget loh, ingin punya cucu, dan cuma kalian harapan ibu." Cetus bu Susi.
"Tidak ada apa-apa, bu! hubungan kami baik-baik saja." Arumni menyangkal. Sesungguhnya Arumni jadi sedih, bu Susi mengharap seorang cucu dari Galih, dan sebentar lagi akan terwujud, namun sayangnya itu dari wanita lain.
"Ya sudah, ibu bersiap ke pasar dulu, ya? oh ya, mengenai motor kamu mau beli dimana?"
"Mas Galih yang akan mengurus, bu. mungkin siang ini juga akan datang, Andi yang akan mengantar, kata mas Galih."
Mendengar hal itu, bu Susi merasa lega, sekilas hubungan mereka memang tidak terlihat memiliki masalah, namun ada beberapa hal yang membuat bu Susi merasa aneh. "iya baiklah, kalau begitu." bu Susi pun bersiap pergi ke pasar.
**
Galih duduk di kursi sambil memijat kepalanya yang terasa berdenyut. Pekerjaan kantor sangat menumpuk, ia harus memberi perhatian untuk istri tercintanya di kampung halaman, sementara istri kedua yang tengah hamil tua, mulai sering muncul berbagai macam keluhan. Kakinya membengkak, dan sering muncul kontraksi palsu, hal itu yang membuat Galih tidak tega meninggalkan Mita sendirian di rumah.
Galih terpaksa harus membayar seseorang untuk menjaga Mita di rumah, hal itu menambah pengeluaran untuk Galih. Galih harus berjuang keras demi mendapatkan penghasilan tambahan atau bonus dari bos.
Di sela-sela kesibukannya, Galih selalu menyempatkan diri untuk menelpon Arumni dan bertanya kabar. Saat ini Arumni mengharuskan dirinya untuk tidur siang, agar tetap semangat menjalani kerja hingga malam.
Galih harus mengulang-ulang demi menghubungkan panggilan, karena Arumni sedang tidur siang.
"Kamu sedang tidur ya, Arumni?" Tanya Galih sesaat setelah pangilan terhubung.
"Iya, mas." Jawabnya singkat, seperti kurang semangat.
"Motornya sudah datang belum?"
"Belum, mungkin sebentar lagi."
"Oh ya, ngomong-ngomong kamu masih bisa bawa motor kan? eem- maksudku, kamu kan sudah lama tidak-"
Arumni langsung memotong pembicaraan."Bisa, aku masih hafal, kamu tenang saja, tidak perlu mengkhawatirkan aku begitu!" Tiba-tiba nada bicara Arumni mulai meninggi.
Menyadari nada bicaranya mulai meninggi, Galih pun sedikit mengalah. "Maaf Arumni, aku cuma... "
Arumni memutus panggilan secara tiba-tiba, sebenarnya sebagai seorang suami, Galih merasa sangat sedih karena istrinya kini sudah sangat jauh berbeda, seperti tidak lagi punya rasa hormat pada sang suami. Namun Galih menyadari, perubahan sikap sang istri tidak lain karena ulahnya sendiri, Galih pun hanya bisa diam dan menerima.
**
Tidak lama, motor yang Galih pesan untuk Arumni pun tiba. Andi, salah satu temannya yang bekerja sebagai Dealer, mengantar sepeda motor untuk Arumni.
Sore itu Arumni berangkat kerja sudah langsung mengendarai sepeda motor, pak Beni pun jadi merasa penasaran, Arumni yang kemarin bingung soal kendaraan, tiba-tiba sudah langsung membawa motor baru. Sepertinya Arumni bukan dari keluarga kurang mampu, yang membutuhkan suatu pekerjaan.
Pak Beni tidak langsung bertanya pada Arumni, namun pak Beni memicingkan matanya penuh selidik. Ada banyak pertanyaan yang timbul di hatinya, tak ingin berburuk sangka, pak Beni pun memangil Binar untuk mengorek informasi.
"Binar, Arumni membawa motor baru, tapi bukan itu masalahnya. Aku jadi mengira, kalau Arumni sebenarnya tidak begitu butuh pekerjaan, tolong beritahu aku tentang latar belakangnya." pak Beni jadi ingin mengorek informasi tentang Arumni, karena yang pak Beni kenal dulu, Arumni hanyalah seorang pelajar yang cukup sering mampir ke kedainya bersama Galih.
"Arumni sudah menikah sama Galih tiga tahun yang lalu, pak Beni. Dengar-dengar sekarang Galih cukup sukses di Jakarta, sampai punya rumah sendiri. Aku sendiri juga heran, kenapa Arumni lebih memilih kerja." bisik Binar.
"Ssttt! Arumni datang!"
Mereka mengakhiri obrolan saat Arumni memasuki dapur, dan kembali dengan aktivitas masing-masing.
Meskipun bekerja dengan pak Beni merupakan pengalaman pertama bagi Arumni, namun pak Beni cukup puas dengan cara kerja Arumni.
**
Suasana malam hari di rumah pak Arif kini terasa berbeda, karena Arumni sedang bekerja, dan mereka belum terbiasa dengan suasana itu, biasanya mereka selalu beristirahat saat jam 9 malam, namun kini mereka jadi sulit tidur jika Arumni belum pulang.
"Pak, bulan depan jadi ke Jakarta?" tanya bu Susi sambil menunggu kepulangan Arumni.
"Jadi, bu. Pokoknya bapak akan mampir sebentar untuk melihat rumah Galih, ibu jangan sampai keceplosan bicara sama Arumni ataupun Galih. Soalnya bapak sedikit curiga dengan hubungan mereka, yah, syukur-syukur bapak bisa ketemu Galih di sana, jika tidak bertemu, setidaknya bapak tahu kondisi rumahnya, kenapa Arumni tidak betah di sana."
"Iya, pak. Mudah-mudahan ketemu jawabannya, ibu juga bingung Arumni sekarang kerja, untuk apa? apa yang ingin dia kejar?"
Beberapa minggu, kedua orang tua Galih selalu bertanya-tanya dalam hatinya, karena perubahan sikap Arumni dapat terlihat dengan jelas, meskipun tidak ada ucapan yang aneh.
...****************...
malah seperti nya kau lebih berat dgn Si Mita daripada dengan Arumi