Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Denial dengan perasaan sendiri.
Cahaya matahari menembus tirai kamar, jatuh di wajah Arum yang tampak pucat. Dia membuka mata perlahan, dan rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Setiap tarikan napas terasa berat, seolah tubuhnya baru saja dilalui badai yang tak mampu ia kendalikan.
Dalam hati ia berbisik getir, “Apa semalam bukan manusia? Tunggu! Katanya Tuan Reghan impoten ... tapi kenapa semalam... ”
Pertanyaan itu menyesakkan, menggantung di antara rasa lelah dan perih yang tak hanya bersumber dari tubuh tapi juga dari hati. Arum memejamkan matanya lagi, berharap semuanya hanya mimpi. Namun suara pintu kamar mandi yang terbuka membuatnya menoleh. Di ambang pintu kamar mandi, berdirilah Reghan.
Pria itu keluar dari kamar mandi, handuk kecil di tangan, menepuk perlahan rambut basahnya. Langkahnya tertatih, tapi tegas. Tak ada kursi roda, tak ada tongkat. Hanya tubuh yang berusaha menyeimbangkan dirinya dengan sisa tenaga yang ada. Untuk sesaat, Arum terpaku. Pria yang selama ini ia rawat dan kasihani itu kini berdiri di depan matanya, meski masih lemah, tapi itu nyata.
Reghan menatapnya datar, suaranya pelan namun tajam, “Carikan obat, sebelum semua ini membuatmu menyesal.”
Arum diam, jemarinya menggenggam selimut erat-erat, menahan gemetar di dada. Dia menarik napas dalam sebelum menjawab, lirih tapi tegas,
“Tidak perlu, Tuan Reghan. Aku sudah melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Aku sudah menukar harga diriku dengan mahar satu miliar yang kalian berikan. Tuan Reghan sendiri impoten tidak mungkin aku bisa hamil,” kalimat terakhir Arum membuat wajah Reghan memerah, tangannya menggenggam erat handuk kecil itu.
Tatapannya menajam, matanya berkilat di antara rasa sakit dari ucapan Arum, ingin sekali Reghan berteriak kalau semalam miliknya benar-benar berdiri.
'Apa dia tak merasakannya? Lalu kenapa semalam dia terisak?'
“Mulai sekarang, urusan di antara kita bukan lagi soal kewajiban … hanya sisa kepedulian. Itu pun jika masih ada.” lanjut Arum.
Reghan membeku, tak ada kata keluar dari bibirnya, hanya napas berat yang terdengar menggema di antara mereka. Arum berusaha turun dari ranjang, langkahnya tertatih, seolah setiap gerakan adalah perlawanan terhadap luka yang tak kasat mata. Saat ia melewati Reghan, tak ada yang mereka katakan lagi.
Namun tatapan Reghan mengikuti punggung Arum hingga pintu tertutup perlahan. Dan untuk pertama kalinya, pria itu merasakan sesuatu yang tak ia pahami, rasa sesak di dada, seolah ucapannya sendiri menusuk balik ke hatinya. Ia menyentuh dadanya perlahan, mengerutkan kening.
'Kenapa sakitnya justru di sini … bukan di tempat yang lain?'
Sejak pagi, suasana rumah besar keluarga Argantara terasa ganjil. Para pelayan yang biasanya sibuk berlalu-lalang kini berjalan dengan langkah hati-hati, seperti takut menimbulkan suara sedikit pun. Kamar Reghan yang biasanya ramai dengan perawatan kini tertutup rapat, sementara nampan sarapan di depan pintu dibiarkan tak tersentuh.
“Bawa saja pergi,” suara berat Reghan terdengar dari dalam ketika pelayan mencoba mengetuk. “Aku tidak butuh apa pun saat ini.”
Pelayan itu menunduk, takut membantah. Dia hanya mengangguk pelan sebelum membawa kembali nampan yang masih penuh dengan nasi, roti, dan segelas susu yang kini mulai mendingin.
Dari kejauhan, Oma Hartati memperhatikan dengan mata prihatin. Dia tahu cucunya sedang berjuang, tapi ia juga tahu ada sesuatu yang lebih rumit dari sekadar sakit fisik yang belum sembuh.
Sementara itu, Arum tampak diam di ruang tengah, duduk di kursi dekat jendela sambil menatap halaman luar. Wajahnya pucat, matanya sayu, dan tangan yang memegang cangkir teh gemetar halus.
Dia berusaha tampak tenang saat Oma menghampirinya.
“Arum, kau sudah makan?” tanya Oma lembut.
Arum tersenyum samar. “Sudah, Oma. Saya hanya sedikit lelah.”
Padahal perutnya kosong sejak pagi. Oma menatapnya lama, seolah tahu kebohongan kecil itu, namun ia tak menegur.
“Kalau begitu, istirahatlah. Rumah ini sudah cukup dingin tanpa tambahan kesedihan. Kamu tak perlu merawat Reghan hari ini, dia tak ingin keluar kamar.”
Arum hanya mengangguk pelan, kemudian bangkit, berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan siang Reghan, meski tahu pria itu mungkin akan menolak lagi. Setiap langkah terasa berat, pandangannya sesekali berkunang.
Menjelang sore, Reghan duduk di kursi roda di taman belakang, menatap kolam ikan yang beriak tenang. Tubuhnya sudah lebih tegak, tapi sorot matanya tetap tajam dan dingin. Arum datang perlahan, membawa nampan berisi makanan hangat.
“Tuan Reghan,” katanya pelan, meletakkan nampan itu di meja taman. “Setidaknya makan sedikit, tubuh Anda masih lemah.”
“Aku sudah bilang, aku tidak butuh perhatianmu,” balas Reghan tanpa menoleh. “Aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Arum menggigit bibirnya, menahan diri agar tak berteriak.
“Saya tahu, tapi saya di sini bukan karena iba. Saya hanya ingin Anda pulih.”
Reghan mendengus pelan. “Pulih?” Ia menatap tajam, kali ini langsung ke arah Arum. “Untuk apa? Supaya bisa kau rawat lagi seperti boneka rusak yang perlu dikasihani?”
Kata-kata itu menampar Arum. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan air matanya. “Tidak, Tuan. Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan.”
Suasana terdiam, angin sore berembus, menggoyangkan dedaunan di atas mereka. Reghan menoleh ke arah lain, tapi dari ujung matanya ia melihat Arum memegangi pelipisnya, tubuhnya goyah.
“Arum...”
Belum sempat ia melanjutkan, Arum jatuh. Nampan di tangannya terlepas, piring pecah di atas batu taman. Tubuhnya terkulai di tanah, wajahnya pucat pasi. Reghan terkejut, segera berusaha berdiri, kakinya goyah, tapi dorongan dalam dirinya lebih kuat dari rasa sakit. Dia terduduk di samping tubuh Arum, menepuk pipinya pelan.
“Arum! Arum, buka matamu!” Tak ada jawaban, hanya napas pelan dan wajah lelah yang basah oleh keringat dingin. Untuk pertama kalinya sejak lama, Reghan merasa takut, bukan karena kehilangan kendali atas tubuhnya, tapi karena menyadari ada sesuatu yang jauh lebih menakutkan, kehilangan seseorang yang diam-diam mulai berarti baginya.
Dia berusaha mengangkat Arum ke dalam pelukannya, meski tubuhnya sendiri masih gemetar.
“Bertahanlah…,” bisiknya serak. Reghan meraih ponselnya dan menghubungi Dokter Pribadinya.
"Dokter Samuel, dalam waktu 15 menit kau harus segera tiba di rumah Argantara." katanya dingin dan tegas.
"Tuan, apa terjadi sesuatu? Anda baik-baik saja?" tanya dokter Samuel panik.
"Ehem, aku baik. Tapi ... Arum, sedang tak baik-baik saja. Dia sepertinya sakit,"
"Tuan, saya ini Dokter pribadi Anda. Bukan Dokter Pribadi Nyonya Arum,"
"15 menit kau tidak tiba ... enyah dari hadapan ku selamanya!"
Tut...