Raka, 28 tahun, pria biasa dengan pekerjaan seadanya dan istri yang mulai kehilangan kesabaran karena suaminya dianggap “nggak berguna”.
Hidupnya berubah total saat sebuah notifikasi aneh muncu di kepalanya:
[Selamat datang di Sistem Suami Sempurna.]
Tugas pertama: Buat istrimu tersenyum hari ini. Hadiah: +10 Poin Kehangatan.
Awalnya Raka pikir itu cuma halu. Tapi setelah menjalankan misi kecil itu, poinnya benar-benar muncul — dan tubuhnya terasa lebih bertenaga, pikirannya lebih fokus, dan nasibnya mulai berubah.
Setiap misi yang diberikan sistem — dari masak sarapan sampai bantu istri hadapi masalah kantor — membawa Raka naik level dan membuka fitur baru: kemampuan memasak luar biasa, keahlian komunikasi tingkat dewa, hingga intuisi bisnis yang nggak masuk akal.
Tapi semakin tinggi levelnya, semakin aneh misi yang muncul.
Dari misi rumah tangga biasa… berubah jadi penyelamatan keluarga dari krisis besar.
Apakah sistem ini benar-benar ingin menjadikannya suami sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon farinovelgo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Malam itu, setelah Dinda tidur, aku duduk sendirian di ruang tamu.
TV masih nyala tapi tanpa suara, cuma lampu-lampu kota dari jendela yang jadi penerang utama.
Kepalaku masih terasa berat sejak di taman tadi.
Entah karena pusing, atau karena sistem yang tiba-tiba aktif sendiri.
Aku menatap HP yang tergeletak di meja.
Layar hitam, tapi entah kenapa aku ngerasa kayak ada yang “melihat balik” dari balik layar itu.
Pelan-pelan, aku nyalakan HP.
Logo sistem langsung muncul lambang lingkaran dengan garis halus yang berdenyut, kayak jantung buatan.
[Selamat datang kembali, Pengguna Sistem Suami Sempurna.]
[Notifikasi baru: Arsip sinkronisasi tersedia.]
[Buka arsip sekarang?]
Aku sempat ragu. Tapi rasa penasaran lebih kuat.
“Ya, buka,” kataku pelan.
Layar berubah jadi cahaya biru lembut.
Tulisan-tulisan aneh muncul, kayak data yang disusun ulang.
Lalu muncul satu kalimat yang bikin aku merinding.
[Data tersimpan: Kenangan terhapus - tahun ke-2 hubungan pengguna.]
[Status: Terkunci sebagian.]
Aku membeku.
Tahun ke-2 hubungan kami… itu masa di mana aku dan Dinda hampir putus, sebelum akhirnya nikah.
Tapi kenapa sistem tahu hal itu?
Dan apa maksudnya “terhapus”?
Aku geser layar pelan, dan tiba-tiba gambar kabur muncul —
bayangan aku dan Dinda bertengkar di sebuah kamar sempit, dengan suara samar di latar belakang.
“Kamu pikir aku nggak tahu, Raka? Aku tahu kamu bohong!”
“Dinda, aku cuma—”
“Cukup!”
Lalu semuanya gelap.
Layar langsung menampilkan pesan baru.
[Kenangan terkunci. Akses penuh membutuhkan sinkronisasi lanjutan.]
[Sumber sinkronisasi terdekat: Pengguna Sistem Lain (ID-002).]
Aku menelan ludah.
Pengguna lain?
ID-002… itu pasti Rian.
Aku bersandar ke sofa, menatap langit-langit.
Pikiranku berantakan.
Apakah mungkin sistem ini… bukan cuma alat bantu rumah tangga, tapi juga menyimpan sesuatu dari masa lalu kami?
Tiba-tiba HP bergetar lagi.
Kali ini pesan masuk dari nomor tak dikenal.
Rian: “Kamu juga liat arsipnya, kan?”
Aku: “Kamu maksud apa?”
Rian: “Jangan pura-pura, Rak. Sistemnya sama. Kita terhubung.”
Aku: “Terhubung gimana?”
Rian: “Besok malam. Datang ke jembatan kecil di belakang taman kota. Jam sepuluh. Jangan bawa siapa pun.”
Pesannya langsung terhapus sendiri setelah kubaca.
Aku bengong beberapa detik.
Ini mulai kelewatan.
Tapi di sisi lain, rasa penasaran dalam diriku malah makin tumbuh.
Keesokan paginya, Dinda bangun lebih dulu.
Dia sibuk di dapur, sementara aku pura-pura masih ngantuk di sofa.
Padahal pikiranku masih muter di pesan Rian semalam.
Dinda datang bawa kopi.
“Bangun, suami ganteng. Jangan malas.”
Aku tersenyum tipis. “Makasih. Kamu semangat banget hari ini.”
“Iya dong. Aku pengin nyoba resep baru. Tapi nanti kamu harus bantu, ya.”
“Siap, bos.”
Dia tertawa kecil, duduk di sampingku.
Tapi dari balik senyum itu, aku bisa lihat mata Dinda sedikit sembab.
Seolah dia habis nangis diam-diam.
Aku ingin nanya, tapi akhirnya cuma bilang,
“Kamu nggak apa-apa?”
Dia sempat diam beberapa detik. “Aku cuma mimpi aneh semalem. Tentang kamu.”
“Mimpi apa?”
Dia menatapku, lalu pelan-pelan jawab, “Kita berantem. Parah banget. Tapi aku nggak ingat kenapa.”
Aku langsung kaku.
Itu persis kayak potongan kenangan di arsip sistem tadi malam.
Aku menelan ludah. “Cuma mimpi kali, Din.”
Dia tersenyum tipis. “Iya, mungkin. Tapi rasanya nyata banget.”
Siang itu aku bantu Dinda masak, tapi pikiranku melayang terus.
Setiap kali aku lihat wajahnya, rasa bersalah entah kenapa muncul.
Apalagi setelah tahu sistem itu nyimpen kenangan tentang masa lalu kami yang entah kenapa aku sendiri kayak lupa sebagian.
Mungkin ada hal yang dulu aku sengaja buang jauh-jauh.
Dan sekarang, sistem ini malah ngebuka semuanya lagi.
[Peringatan: Emosi pengguna tidak stabil.]
[Saran sistem: Lakukan aktivitas positif bersama pasangan.]
Aku menghela napas panjang. “Iya, iya… ngerti.”
Dinda menatapku heran. “Ngomong sama siapa, sih?”
“Ehm, nggak… sama panci.”
“Panci?”
“Panci ini terlalu panas, aku lagi negosiasi.”
Dinda langsung ngakak. “Kamu tuh makin aneh tiap hari.”
Aku ikut ketawa, tapi dalam hati tetap berat.
Sistem, arsip, Rian… semuanya terasa makin janggal.
Malamnya, setelah Dinda tidur lagi, aku duduk di teras belakang rumah.
Angin malam cukup dingin, dan suara jangkrik samar terdengar.
Aku buka HP, masuk ke menu sistem.
Bagian “arsip” masih ada, tapi sekarang muncul ikon baru: [Sinkronisasi jadwal aktif - T+12 jam]
“Berarti malam ini…” gumamku pelan.
Aku tahu aku seharusnya nggak pergi.
Tapi kalau aku nggak cari tahu sekarang, aku mungkin nggak akan pernah tenang.
Aku menatap kamar dari jauh, memastikan Dinda udah tidur nyenyak.
Lalu aku ambil jaket, nyalain motor, dan pelan-pelan keluar dari rumah tanpa suara.
Jalanan sepi, cuma beberapa mobil lewat sesekali.
Jam di HP menunjukkan 21:45.
Aku sampai di taman, lalu jalan ke arah jembatan kecil di belakangnya — tempat Rian bilang.
Lampu taman cuma nyala setengah, sebagian tempat gelap.
Angin berembus lembut, tapi entah kenapa aku merasa hawa dingin yang nggak biasa.
Dan di ujung jembatan, berdiri seseorang.
Rian.
Dengan jaket hitam, wajahnya setengah tertutup bayangan.
Begitu dia lihat aku, dia langsung nyengir kecil.
“Kamu datang juga,” katanya.
“Aku nggak punya pilihan,” jawabku hati-hati.
“Bagus. Berarti kamu juga udah lihat bagian awalnya.”
“Bagian awal?”
Dia menatapku lama, lalu berkata pelan, “Sistem itu… bukan bantuan rumah tangga. Itu percobaan.”
Aku mengernyit. “Percobaan apaan?”
“Eksperimen tentang memori dan emosi manusia. Kita cuma subjek.”
Aku ingin tertawa, tapi entah kenapa tubuhku malah merinding.
“Ngaco, kamu. Mana mungkin”
“Kenapa kamu pikir sistem tahu semua tentang Dinda? Tentang masa lalu kalian? Bahkan tentang perasaanmu sekarang?”
Aku terdiam.
Dia lanjut, “Aku juga dulu punya istri, Rak. Tapi setelah sinkronisasi terakhir, dia…”
Rian berhenti, matanya berkaca-kaca.
“Dia hilang. Bukan meninggal. Hilang, kayak dihapus dari dunia.”
Aku menatapnya, nggak tahu harus percaya atau nggak.
Tapi di detik itu, angin di sekitar kami berubah.
HP-ku bergetar sendiri, dan di layar muncul notifikasi merah terang:
[Sinkronisasi Aktif Otomatis Dimulai.]
[Peringatan: Fluktuasi data lintas pengguna.]
Aku menatap Rian — dia juga pegang HP-nya, yang bergetar keras.
Wajahnya pucat. “Tidak… ini nggak seharusnya mulai sekarang.”
Cahaya biru muncul di antara kami.
Udara bergetar halus, kayak listrik statis.
Dan dalam sepersekian detik, pandanganku mulai kabur lagi.
Aku sempat lihat Dinda sekilas, wajahnya menangis di balik cahaya itu…
tapi aku nggak tahu apakah itu nyata atau cuma bagian dari arsip yang terbuka.
Lalu semuanya gelap.