NovelToon NovelToon
PERNIKAHAN AMIRA

PERNIKAHAN AMIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Tukar Pasangan
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.

Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.

Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 10

Satu Minggu kemudian ...

Satria adalah sosok yang telah berhasil membawanya lari dari jeratan luka di masa lalu. Menuntunnya menuju tempat di mana hatinya bisa bernapas lega. Berkat Satria, ia bisa meninggalkan jejak-jejak kesedihan dan menemukan keamanan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tapi kini, semua itu harus berakhir dengan perpisahan.

Meski hanya sementara, namun dalam lubuk hati yang paling dalam, Amira masih merasa takut. Takut jika semua harapan mereka tak sesuai kenyataan di masa depan. Manusia bisa berencana namun takdir yang memutuskan apakah mereka masih layak untuk kembali bersama.

Amira menyeka kasar wajahnya. Setelah berhari-hari ia tak bisa tidur dengan pulas, ini adalah hari dimana awal dari titik jawaban itu. Apakah Satria kembali dengan hati yang sama, atau justru sebaliknya.

"Sudah sampai, Non." Kata supir Taksi menoleh menatap Amira ke kursi belakang penumpang.

Sesaat, mata Amira tertumbuk pada depan gedung bandara. "Makasih, Pak." Jawab Amira sambil memberikan beberapa argo sebelum akhirnya ia keluar dari kabin taksi yang kemudian pergi meninggalkannya.

Napas Amira terhela cukup panjang, menyiapkan diri untuk melepaskan Satria pagi ini. Langkahnya mulai masuk ke dalam gedung dengan kaca besar yang memantulkan cahaya matahari.

Amira di sambut oleh suara pengumuman dari pengeras suara yang bergema di aula, bercampur dengan derap langkah kaki yang cepat, membuat suasana terasa riuh.

Orang-orang berlalu-lalang, menyeret koper dan tas menuju konter check-in atau gerbang keberangkatan mereka. Namun sejauh pandangannya menyapu ke area luas itu, Amira belum menemukan sosok Satria di dalamnya.

Seperti anak kecil yang kehilangan induknya, Amira membaurkan bola matanya dengan kebingungan. Menoleh ke samping kiri dan kanan, bahkan memutarkan tubuhnya saat melangkah, mencoba mencari sesuatu yang familiar di antara kerumunan yang sibuk.

"Amira." Suara itu terdengar tak asing dan cukup dekat.

Amira menoleh dan mendapati sosok Satria kini ada dihadapannya. "Mas!" Serunya. Tanpa ragu, ia melangkah cepat dan memeluknya erat, seakan ingin menempelkan seluruh rasa cemas dan rindu yang mungkin tak akan pernah berkesudahan.

Satria membiarkan wanitanya itu memeluknya, merasakan hangat yang tersimpan. Beberapa menit berlalu, wanita itu perlahan melepas pelukan, matanya yang basah menatap dirinya penuh.

"Jangan sedih." Lirih Satria mengusap lembut wajah Amira. "Lima menit lagi aku akan berangkat."

"Mas..."

Satria merogoh sesuatu dari balik saku celana katun hitam yang dikenakannya. Setelah beberapa detik, tangannya berhasil menggapai sebuah kalung, yang kemudian ia genggam dengan hati-hati sebelum menatap Amira. Lalu dengan gerakan lembut, ia mengenakannya di leher Amira.

Amira menatap sejenak kalung yang kini menggantung di lehernya. Kalung itu terbuat dari emas, rantainya tipis namun kuat, dengan liontin kecil berbentuk hati yang berkilau hangat di bawah cahaya lampu bandara yang terang dan meluas.

"Tolong jaga hati aku sama halnya kamu menjaga kalung ini, Amira."

Mata Amira kembali menatap lurus Satria. Pandangannya samar tertutup bayang yang hangat. Air mata.

"Kamu harus percaya kalau aku akan kembali. Jaga diri kamu baik-baik, Amira." Ucap Satria sambil menelan saliva. Di hadapannya, ia tahu Amira menahan sesuatu di dadanya—itu adalah tangisan yang berusaha ditekan agar tak jatuh.

Tak lama, suara pengumuman keberangkatan pesawat perlahan memisahkan jarak di antara mereka. Satria menatap Amira sejenak, lalu dengan lembut menangkap dagunya. Bibirnya turun, lalu naik, menempelkan ciuman hangat di dahinya, seolah ingin menyalurkan seluruh rasa sayang dan janji untuk segera kembali. "Aku cinta kamu." Lirihnya. "Tunggu aku kembali."

Amira tak lagi bisa menahan isak tangisnya. Tangisan itu pecah tepat saat langkah Satria perlahan menjauh. Ia berlari mengejarnya, tapi seolah ada batas tak terlihat yang menghalangi, membuat jarak di antara mereka semakin melebar dan hatinya kian hancur.

Aku takut, Mas. Apa hati kamu nanti akan benar-benar kembali?

"Mas Satria!" Seru Amira dengan nada bergetar.

Satria menoleh sejenak, melambaikan tangan dengan senyum tipis yang penuh arti, sebelum akhirnya tertelan oleh kerumunan orang dan perlahan menghilang dari pandangan Amira.

****

Langit sore membentang luas. Amira masih duduk di bandara. Ia berharap, Satria berubah pikiran untuk kembali. Namun, sampai detik ini, lelaki itu benar-benar telah pergi. Amira kemudian beranjak dari kursi koridor lalu melangkah, perlahan meninggalkan area bandara.

Matanya sayu dan sembab. Meninggalkan kenangan pahitnya hari ini. Sesekali, liontin yang menggantung di lehernya ia genggam penuh harap. Ya. Berharap, bahwa yang terjadi hari ini hanyalah mimpi buruk akan kehilangan seseorang yang ia cintai.

"Secepat itu, Mas." Gumamnya. "Bagaimana aku bisa menjalani hari tanpa kamu."

Amira menelan saliva. Kering air matanya kini kembali menghangat. Kamu datang membawaku pergi dari luka, tapi sekarang kamu pergi meninggalkan luka itu. Meski pada akhirnya kamu kembali, satu hal yang membuat aku khawatir. Hati kamu.

Amira terkesiap. Ponselnya berbunyi dari dalam tas. "Mas Satria!" Ucapnya sambil segera menatap layar. Namun, layar itu hanya menampilkan pesan singkat dari seseorang. Yang jelas, bukan Satria.

Elen.

Pak Romi memarahi aku karena hari ini kamu gK masuk kerja. Sekarang kamu puas, udah buat aku sial hari ini?!

Amira segera mematikan ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Langkahnya bergerak cepat, meninggalkan isi bandara dan kenangan pahit yang telah ia genggam hari ini. Suara kakinya dari lantai marmer seakan menjadi bukti atas kecemasannya.

Begitu tiba di pelataran bandara, sebuah taksi melambat, menyalakan lampu kuning di atas atapnya, seolah menunggu penumpang. Amira berhenti sejenak, menatap kendaraan itu. Tanpa perlu menimbang, ia segera masuk ke dalam kabin berwarna biru langit itu. "Pak, Jalan Teratai nomor tujuh belas."

Sang supir mengangguk, lalu menekan pedal gas, tanda Amira perlahan meninggalkan bandara, meninggalkan deru pesawat dan keramaian yang kini terasa jauh, seolah dunia mengecil di belakang kaca jendela. Saat itu juga, Amira segera merogoh lagi ponselnya. Jemarinya begitu lincah menari di atas keyboard dan berhasil mendapati satu nama di kontak nomor ponselnya.

Elen, sebentar lagi aku tiba di kafe. Maafkan aku.

****

Bau kopi yang dirasakan Amira kali ini tak membuatnya merasa nyaman. Begitu masuk ke dalam kafe, karyawan dj jajaran barista menatapnya bersama. Elen kemudian, yang lebih dulu keluar dari meja kasir. Langkahnya gusar membawa puncak amarah yang sedari tadi berusaha ia bendung sebelum akhirnya ia tumpahkan dihadapan Amira.

Plaaaak!

Sontak, semua mata memandanginya. Beruntung pengunjung yang datang pada hari sibuk, tak begitu ramai. Jemari Elen berhasil mendarat di pipi Amira. Meninggalkan rasa sakit yang lebih dari sebuah penghakiman.

"Puas kamu udah buat aku malu?! Seolah-olah aku gak becus ngajarin kamu kerja. Padahal, kamu yang kerjanya gak benar!"

Amira menelan saliva. "A-Aku minta maaf, Elen."

Elen mendesis pahit sambil melipatkan kedua lengannya di bawah dada. "Well. Aku udah maafin kamu. Karena kapan lagi kan, kamu bisa minta maaf sama aku."

"Ma-maksud kamu?"

"Pak Romi pesan padaku, kalau kamu datang untuk segera bertemu di ruangannya." Kata Elen, lalu tersenyum pahit. "Aku gak nyangka, wanita sepolos kamu itu, ternyata ... Gak beda jauh rendahnya dengan mereka yang suka mencari kehidupan malam di luar sana!"

Amira hanya menggelengkan kepala. Ia kemudian melangkah pergi menuju tuan yang dimaksud Elen. Begitu pintu diketuk, suara dari dalam memanggilnya untuk masuk. Amira kemudian segera memasuki ruangan yang segera disambut oleh bau kopi bercampur minuman alkohol.

Jelas, di meja Pak Romi terdapat sebotol bir. Pria berusia empat puluh tahunan itu segera beranjak sambil mendekatinya. Sedangkan, Amira selangkah lebih mundur, saat merasakan sesuatu yang tiba-tiba menusuk. Tatapan pria itu. Meliriknya dari atas kepala hingga ujung kaki.

"Ba-Bapak panggil saya?" Ucap Amira dengan gemetar. Kedua kuku jempolnya saling menggesek menahan cemas.

"Kalau tahu sejak awal, kenapa kamu melangkahi saya, Amira?"

"Ma-Maksud Bapak?"

Pria berambut klimis itu segera mengambil beberapa foto dari meja kaca itu, lalu melemparkannya tepat dihadapan Amira. "Berapa harga yang harus saya bayar untuk satu malam?"

Amira tersentak. Napasnya tercekat begitu matanya menangkap deretan foto yang berserakan di lantai kayu. Satu per satu ia pandangi—foto dirinya di lobi hotel, foto saat ia menunggu di depan pintu kamar, foto ketika ia tengah berbincang dengan seorang pria, hingga foto yang memperlihatkan lengannya ditarik paksa masuk ke dalam kamar.

"Memalukan!" Ungkap Pak Romi dengan nada setengah tinggi. "Kamu tahu kan, karyawan saya seharusnya bisa menjaga nama baik perusahaan. Apa yang kamu lakukan ini sudah melewati batas, Amira!"

Pa-Pak… saya bisa jelasin—”

“CUKUP!” Potong Pak Romi. "Kamu tahu? Meskipun kafe saya menyediakan bar dan minuman beralkohol, tapi kami tidak menyediakan hal-hal di luar batas seperti diskotik yang bebas. Kafe ini tetap punya aturan, dan semua karyawan wajib menjaga citranya. Kamu ... saya pecat!" Ucapnya lebih pelan, namun nada kecewanya jauh lebih menusuk daripada teriakan. "Saya menyesal sudah menyalahkan Elen, karena dia tidak bisa membimbing kamu dengan baik. Tapi ternyata, kamu yang lebih tidak bisa bekerja dengan baik!

Kedua mata Amira membulat. "Pa-Pak. Saya bisa menjelaskan semuanya. Ini—"

"Keluar dari ruangan saya sekarang juga!"

"Pak, saya mohon saya membutuhkan pekerjaan ini!" Sahut Amira sembari mengepalkan jemarinya yang menangkup dan gemetar, berusaha menahan air mata yang sudah memenuhi pelupuk matanya. "Saya tidak pernah sampai melakukannya, Pak. Saya—"

"KELUAR DARI RUANGAN SAYA SEKARANG JUGA!"

Amira menelan saliva. Nada dan tatapan pria itu membuatnya menyerah dan ketakutan. Ia tertunduk lalu berbalik ke arah pintu. Di saat yang sama, air matanya menetes lagi. Wajahnya yang satu kini semakin sembab dan memilukan.

Dengan kasar, Amira mengusap wajahnya lalu memutar kenop pintu dan keluar dari ruangan yang telah berhasil mematahkan dirinya dan harga dirinya. Ia melangkah keluar. Beberapa karyawan saling berbisik-bisik sambil menahan senyum sinis. Ia menunduk, berharap bisa melewati mereka tanpa harus mendengar kata-kata yang menusuk telinga.

"Well!" Sahut Elen mendekat, sambil melipatkan kedua lengan di bawah dada. "Jadi kamu simpanan sugar dady juga? Rendah banget, ya!" Lirihnya. Namun tak membuatnya lembut, justru nadanya lebih tajam dan menusuk. "Beruntung Pak Romi tak memintamu untuk melayaninya. Jelas, dia lebih memilih wanita malam kelas tinggi."

Ruas-ruas kedua jemari Amira mengepal, hingga buku-buku jarinya memutih. Ingin sekali ia mengangkat tangan dan memukul Elen, namun ia tahu—sekali saja ia melawan, orang-orang akan menganggap tuduhan itu benar. Tanpa sepatah kata pun, Amira segera berbalik dan melangkah keluar, menahan gempuran rasa malu dan marah yang mendesak dadanya.

****

1
Siti Sa'diah
huh mulutmu sarua pedasna ternyata/Smug/
Siti Sa'diah
angga koplak/Angry/
Siti Sa'diah
huh kapan satria datang siii udah gregett
Siti Sa'diah
/Sob/
Siti Sa'diah
dan satriapun pulsng dr jepang
Siti Sa'diah
wah ceritanya seruuuuu😍apa jgn2 adenya itu satria?
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!