‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16 : Biarkan tanganku yang berbicara
Nafiya berdiri diambang pintu, enggan masuk ke dalam rumah yang menurutnya tak layak huni.
Dahayu memilih abai, mencabut kaca sebesar seujung kuku jari kelingking. Kemudian menuntun sang ibu masuk kedalam kamar.
“Hei melarat! Aku ini manusia bukan tunggul (batang kayu)! Tak sopan kali kau!” pekiknya.
“Ibuk tunggu sebentar disini ya? Jangan keluar. Di luar ada penculik! Nanti Ibuk dibawa pergi jauh, lalu nggak bisa lagi ketemu Ayu, mau?”
Bu Warni menggeleng, dia memang takut pada kata Penculik, dan suara lengkingan, serta raut wajah bengis.
***
“Mau apa kau ke sini? Cari ribut?” Dayu berdiri dua langkah dari sang kakak tiri.
“Nyari perkara denganmu, maaf ya – kita beda kasta. Kau cuma wanita miskin, mana binik kedua dari pria tua lagi. Ih menggelikan.” Nafiya menggoyangkan kedua bahunya, ekspresi jijik terlihat jelas di wajahnya.
Dayu bungkam, dia tahu kalau Nafiya datang cuma ingin menghinanya.
"Aku kesini cuma mau ngasih tahu, jangan kau datang ke rumah kami. Ingat ya! Dirimu sudah memutuskan hubungan dengan Ayah, jadi perawatan ibu gilamu itu bukan lagi tanggung _"
Plak!
“Tak perlu ku ladeni menggunakan kata-kata, karena kau jenis hewan. Tentulah tak paham bahasa manusia. Jadi, biarlah anggota badanku yang berbicara!” Telapak tangan kanannya terasa pedas setelah menampar pipi kiri Fiya.
“Kurang ajar kau Dayu! Dasar miskin, tak berpendidikan, kelakuan pun macam hewan. Tak tahu adab!” Tangannya terangkat tinggi, tetapi dicengkeram Dahayu, lalu dadanya didorong menggunakan siku.
“Tak mengapa miskin, daripada lulusan diploma tiga, tapi dari hasil mamakmu jual diri dengan Bandi! Kalau bukan si Ijem menggatal, menggoda, sampai melakukan hubungan badan sebelum halal – maka kau tetaplah gadis ringkih kumal, seperti orang kurang gizi.” Dayu mencibir habis-habisan.
Dulu, kala Ijem dan juga Nafiya datang bersama Bandi – penampilan anak tiri pria itu sungguh memprihatinkan.
Nafiya tidak terima. Pipinya terasa perih – ingin membalas, tetapi sadar diri dia pasti akan kalah telak. Tenaga Dahayu layaknya seorang pria, kuat, apalagi ayunan tangan dan kakinya. Berakhir dirinya cuma bisa menyerang lewat kata-kata.
“Kau akan menyesal telah menamparku, Dayu. Suatu saat nanti dirimu pasti menangis darah, dan pada waktu itu tiba – diriku yang paling keras bertepuk tangan seraya berteriak mengejek mu!”
“Ya, aku akan sangat menyesal bila tak menamparmu! Tangan ini pun masih gatal ingin singgah di pipi sebelah kanan. Ku hitung sampai tiga – bila kau enggan pergi, jangan salahkan aku menghajar mu Nafiya! Satu, dua ….”
Nafiya hampir terjungkal, dia menuruni batas teras tanpa melihat ke bawah. Mulutnya mengumpat, tangannya langsung memasukkan anak kunci pada bagian motor matic keluaran Yamaha.
Ha ha ha …. Nelli yang sedari tadi sengaja mengintip di jendela rumahnya – tertawa keras sekali. Sampai keningnya disentil Mak Rita, sementara pak Jefri cuma geleng-geleng kepala.
“Fiya mentel itu cuma mulutnya saja yang lantam (keras, angkuh), tapi nyalinya seujung kuku pun tak ada.” Nelli keluar, tanpa permisi masuk ke dalam rumah Dahayu.
Wanita berpenampilan berbeda dari busana sehari-hari itu, mengambil sapu dan serokan – membereskan bekas pecahan kaca.
“Ibumu tak mau pakai celana, Yu?” tanya Mak Rita.
Dahayu mengangguk, dan kembali masuk ke dalam rumah, tak dia rasa luka gores pada punggung kaki.
“War! Keluar sini, lihat kami!”
Sebelum keluar, kepala bu Warni menyembul di gorden renda pintu kamar, saat dirasa situasi aman, baru dia melangkah.
“Lihat aku, Ayu, Nelli – semua pakai celana. Masa kau mau beda sendiri? Nanti ditangkap centeng perkebunan, mau?” Mak Rita mencoba menakuti.
"Tak.” Bibir bu Warni maju sekian senti.
“Ya kalau tak mau, cepat kau ganti celana jelekmu itu dengan yang bagus. Nanti kita ketinggalan truk.”
Cepat-cepat bu Warni memungut celana yang tadi dia lempar, lalu masuk ke kamar.
“Terima kasih, Mak.” Dayu memeluk bahu ibunya Nelli.
“Perkara kecil itu, Yu. Kalau dengan Ibuk – Mamak cuma berteriak, tapi bila itu aku sewaktu kecil dulu, dibawakan kayu.” Nelli memastikan lantai tidak ada lagi serpihan kaca.
“Kau tuh bengalnya (keras kepala) nggak ketulungan. Kalau tak dibawakan kayu, mana mau menurut.”
“Sudah siap belum, warga mulai berkumpul!” seru pak Jefri dari luar.
“Warni cepatlah! Tak perlu dandan, yang ada nanti kau digoda kakek ompong!”
Dahayu tertawa bersama Nelli. Kedua ibu mereka memang unik, satu berperilaku polos seperti anak kecil, satunya lagi suka menjahilinya.
Pintu rumah sudah dikunci, kini Dahayu dan ibunya serta keluarga pak Jefri – duduk di teras menunggu truk datang.
Setiap Minggu pertama sehabis gajian, maka para warga perkebunan akan pergi ke pajak (pasar) besar – berbelanja, menikmati hasil kerja selama satu bulan. Dulu, sewaktu sebelum dipegang oleh Amran, sistem gajian diberikan setiap dua minggu sekali. Namun diubah menjadi satu bulan sekali.
"Tumben lama betul truknya datang.” Nelli menggoyangkan kakinya.
Bu Warni terlihat tidak sabaran, tangannya yang tak bisa diam, menarik-narik tali baju.
Suara-suara sumbang, gerutuan, menyuarakan hal sama. Truk yang biasanya mengangkut warga perkebunan, sudah terlambat tiga puluh menit. Sementara matahari mulai bersinar, dan jam menunjukkan pukul setengah sembilan pagi.
Sementara perjalanan sampai ke pajak memakan waktu sekitar 50 menitan.
Tin!
Tin!
“Lah, mengapa bus para petinggi masuk kemari?”
Dahayu langsung mendongak, menatap pada tiga bus beriringan. Kendaraan yang biasanya membawa para jajaran berpangkat beserta keluarganya – mulai dari centeng hingga mandor dan kerani.
Semua warga yang menunggu menatap heran sekaligus penuh tanda tanya, tak biasanya angkutan mewah, menurut mereka. Memasuki perumahan perkebunan pekerja kasar.
“Wee! Mengapa bengong saja? Ayo masuk!” seru kondektur, sembari membunyikan sempritan yang dikalungkan pada leher.
“Naik bus?”
“Bukan, tapi naik Gajah! Jelas-jelas di depan mata kau ini bus, mengapa bertanya lagi. Cepat masuk!”
“Alamak. Sepertinya pemilik perkebunan abis ketimpa durian kepalanya. Makanya jadi eror cara kerja otaknya, sehingga kita pun diperlakukan sama, tak dibedakan! Ayo berangkat!” Nelli menepuk bahu Dahayu.
Mak Rita menarik lembut lengan sahabatnya, tetapi bu Warni menggeleng dan enggan beranjak.
“Kenapa, Bu? Tak suka naik bus, ya?” tanya Dahayu.
“Iya.”
“Mak, Ayah – kalian berangkat saja dulu. Biar aku naik motor bersama Ibuk. Dia belum pernah naik bus, jadinya mungkin sedikit takut.”
“Aku temani kau, Yu,” sahut Nelli cepat. Mana mungkin dia tega melihat Dahayu mengendarai motor seorang diri, menempuh perjalanan panjang seraya membawa ibunya yang bisa saja tiba-tiba tantrum.
Sebenarnya Mak Rita enggan, dan berniat membujuk sahabatnya, tetapi suara seruan tak sabaran dari dalam bus, membuatnya urung.
“Ya sudah, kami tunggu di halaman rumah sakit, ya. Kalian hati-hati di jalan!” Pak Jefri dan Mak Rita, berjalan mendekati bus.
Bus pun terlihat penuh, tetapi tidak ada yang berdiri – semua duduk nyaman di kursi empuk. Para anak kecil melambaikan tangan di balik jendela transparan. Terlihat begitu senang.
Selepas bus sudah tidak terlihat lagi, Dahayu berniat mengeluarkan motornya dari dalam dapur, tetapi kedatangan mobil mewah Land Cruiser seri 100 – menghentikan langkahnya.
Sosok pria bertopi hitam, kaos pas badan dilapisi lagi dengan kemeja lengan sesiku, celana jeans – terlihat keluar dari pintu penumpang.
“Siapa, Yu …?”
.
.
Bersambung.
tiap karyamu selalu ku pantau ☺️😍