”Semua orang tahu, kalau cuma ada lima Big Boss di Marunda. Arnold, Baek, Kim, Delaney, sama Rose. Lima keluarga itulah yang berkuasa di North District, dan enggak ada satu pun yang berani melawannya.”
Season: I, II, ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
Begitu keluar dari toilet, tiba-tiba ada pintu kantor yang terbuka di sebelah kananku. Refleks, aku pun menengok ke arah suara itu. Dan seketika, hawa dingin langsung menjalar ke tubuhku.
Aku melihatnya dengan jelas, Remy Arnold sedang memegangi leher seorang laki-laki. Aku enggak bisa dengar apa yang mereka bicarakan, tapi saat Big Jonny keluar dari ruangan, aku lihat Remy menusukkan pisau ke tenggorokan lelaki itu.
"Ya, Tuhan!" Teriakanku pun langsung membuat Big Jonny menengok ke arahku. "Sial!"
Aku harus kabur, tapi bahkan belum sampai melangkah, tangan kasarnya sudah meraih lenganku dan menyeretku ke dalam kantor itu.
Enggak.
Enggak.
Enggak.
“Ampun. Aku enggak lihat apa-apa!” mohonku.
Big Jonny pun cuek saja, dan itu membuatku makin panik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Pulanglah Kucing Kucilku!
...୨ৎ R E M Y જ⁀➴...
Kami cuma tinggal lima menit lagi untuk sampai ke gedung tempat aku harus bertemu Jaafar, dan tiba-tiba HPku bergetar. Aku pun langsung mengeluarkannya dari saku jaket, keningku langsung berkerut saat melihat nama La Luna muncul di layar.
...📞...
"Iya, Tante?"
Tapi, yang aku dengar cuma tangisannya. Enggak terkendali, seperti orang histeris.
^^^“Dia ... dia tewas!”^^^
^^^“Dia membunuhnya!”^^^
“Apa?”
Aku langsung tepuk bahu Big Jonny di kursi depan, “Putar balik! Sekarang juga! Ayo balik ke vila!”
Aku merasa darahku langsung dingin.
“Siapa yang mati, Tante?”
^^^“Ommu.”^^^
^^^“Ular yang kamu bawa ke rumah, sudah membunuh dia!”^^^
Apa-apaan ini?!
Dahiku berkerut keras, pikiranku langsung kacau.
“Om Deth ... meninggal?”
^^^“Y—ya!”^^^
^^^“Rainn ... dia mendorongnya dari balkon.”^^^
Enggak mungkin.
Enggak.
Dia enggak bakal melakukan itu.
“Apa-apaan ini, Tante?!”
"Jangan lakuin apa pun sampai aku tiba di sana!”
Aku matikan telepon itu dan hampir saja aku banting HP-nya saking paniknya. Dadaku serasa ditinju keras-keras.
“Ada apa?” tanya Big Jonny sambil melirik dari kaca spion, suaranya tegang.
“Luna bilang Rainn bunuh Om Deth.” Suaraku berat, enggak percaya. Kata-kata itu saja sudah menyakitkan.
Tapi itu enggak masuk akal.
Bukan istri aku.
Bukan si kucing kecilku yang polos itu.
Otakku berputar cepat. Satu-satunya kemungkinan, Om Deth pasti coba mengusir Rainn. Karena dia enggak pernah suka sama pernikahan kami.
Rainn pasti cuma membela diri.
Itu satu-satunya hal yang bisa aku percaya, karena aku tahu, aku yakin banget, Rainn bukan perempuan kejam.
Dia takut Tuhan.
Dia enggak akan menyakiti siapa pun, bahkan seekor lalat sekali pun.
Perempuan yang aku cintai, enggak mungkin jadi pembunuh.
Enggak mungkin.
Aku enggak bakal percaya.
Begitu mobil berhenti di depan vila, aku langsung buka pintu dan berlari masuk. Tempat yang dulu penuh kenangan itu sekarang seperti neraka.
La Luna berdiri di tengah ruangan, menangis sambil memeluk tubuh Om Deth yang kaku.
Wajahnya pucat, darah kering menempel di sisi bibirnya yang sedikit terbuka.
Berengsek.
Enggak.
Aku berdiri kaku, kepalaku menggeleng-geleng pelan.
Hatiku hancur berantakan.
“Enggak,” bisikku pelan. “Enggak, Tuhan ... jangan gini caranya.”
Aku melangkah makin dekat, dan semua emosiku meledak bersamaan.
"Apa yang terjadiiiiii, haaaaah?!" teriakku, suaraku pecah.
La Luna melihatku dengan tatapan penuh amarah, matanya merah, air matanya mengalir tanpa henti.
“Dia membunuhnya!” jeritnya. “Dia bunuh Deth-ku!”
Enggak.
Enggak mungkin.
“Apa yang udah Tante lakuin sama Rainn?” gumamku, nada suara aku dingin, sudah mati rasa.
“Dia mau kabur ninggalin kamu! Deth ngunci dia di kamar biar enggak bisa lari, terus dia dorong Ommu dari balkon!”
Rainn?
Mau meninggalkan aku?
Aku menggeleng. “Jangan bohong!”
Saat aku tatap wajah perempuan yang sudah aku anggap seperti ibu sendiri itu, aku bisa lihat jelas gerak-gerik kebohongannya, dan di situ duniaku runtuh.
Rasa dikhianati itu langsung menusuk dalam banget, merampas sisi manusiaku dalam sekejap.
“Itu benar!” teriaknya, tapi begitu dia melihat tatapanku, tatapan yang sudah enggak ada kepercayaan sama sekali, ekspresinya pelan-pelan memudar.
Suaranya bergetar, marah bercampur malu, “Kamuuuu seharusnya nikah sama Prillyy! Bukan sama jalaaaang yang menyedihkan itu. Semuanya udah direncanain! Dan kamu merusak semuanya!”
Tiba-tiba dia bergerak cepat, meraih pistol dari belakang tubuh Om Deth. Tapi sebelum sempat dia arahkan kepadaku,
...DOOORRRR!!!!...
Big Jonny menembaknya duluan.
Aku enggak percaya apa yang baru saja terjadi.
Enggak.
Enggak.
Enggak.
Aku mundur, napasku berat, dadaku seperti terbakar.
Amarah dan duka bercampur menjadi satu, membuat lututku lemas. Aku bahkan jatuh berlutut, merasakan hancurnya duniaku.
Aku sudah percaya sama mereka.
Sama dua orang itu.
Dan dua-duanya menusukku dari belakang.
“CARI, RAINN ARNOLD!!!!” Suara Big Jonny meledak di ruangan itu, keras dan berwibawa. “CARI DI SETIAP SUDUT PULAU BANGSAD INI DAN BAWA DIA KEMBALI TANPA LUKA SEKECIL APA PUN!!! SIAPA PUN YANG BERANI NYENTUH ISTRI BOSS, AKU SENDIRI YANG BAKAL MENEMBAKNYA!"
Sial.
Om Deth dan La Luna, dua-duanya sudah mengkhianatiku.
Rainn, kucing kecilku.
Aku keluarkan napas panjang, dadaku sesak oleh rasa kehilangan dan kenyataan pahit yang tiba-tiba menyeretku.
“Bos,” Big Jonny menyentuh bahuku, dia jongkok di sebelahku. “Remy,” katanya pelan, “Kita harus nemuin Rainn. Dia enggak salah apa-apa.”
Aku angkat kepala, memperhatikannya.
Aku berdiri, ambil napas panjang buat menenangkan diri. “Gimana dia bisa kabur dari vila?”
Big Jonny langsung menelepon seseorang. “Cari tahu gimana Rainn bisa keluar dari vila,” katanya cepat.
Aku melihat dia yang tetap fokus, sementara aku sendiri masih gemetaran.
Dia selalu seperti itu, orang yang turun tangan saat otakku sudah lumpuh karena emosi.
Beberapa detik kemudian dia menutup telepon.
“Ree naik salah satu mobil. Deth nyuruh mereka buat biarin dia pergi.” Dia memperhatikanku, wajahnya tegas. “Ayo kita kejar!”
Aku butuh waktu sebentar buat mengatur napas, mengusir kejut dan kekacauan dari kepalaku.
Begitu otakku mulai sedikit jernih, aku langsung mengeluarkan HP dari jaket dan menelepon Rainn.
Sekali.
Enggak diangkat.
Dua kali.
Enggak juga.
Saat aku coba ketiga kalinya, akhirnya dia angkat.
...📞...
^^^“Ak—aku ... turut berduka.”^^^
Suaranya serak dan terisak.
“Kamu di mana?”
sedangkan suaraku parau, penuh luka.
^^^“Ma—maafin aku ... ma—maaf.”^^^
“Kamu di mana, Raiiiiiiiiiiinn?!”
Saat aku berteriak, panggilannya tiba-tiba terputus.
Aku pun mengumpat pelan, “Bangsad!!”
Lalu aku aku teringat sesuatu, alat pelacak di cincin kawin kami. Aku pasang itu biar Benny atau Big Jonny bisa menemukan kami kalau ada sesuatu hal yang darurat.
Syukurlah aku melakukan itu.
Aku buka aplikasinya, dan titik merah langsung muncul di peta.
“Bandara,” gumamku.
Big Jonny melihat juga. “Sial, aku lupa soal pelacak itu.”
Aku langsung keluar dari vila tanpa menengok lagi ke arah tubuh La Luna dan Om Deth. Aku naik ke mobil, duduk di kursi penumpang, dan Big Jonny langsung menyetir kencang keluar dari gerbang.
“Apa sih yang mereka pikirin?” Aku mengeluh keras. “Mereka pikir aku bakal percaya Rainn ninggalin aku gitu aja?”
“Orang bisa nekat kalau lagi kepepet, Boss,” gumam Big Jonny sambil menyetir.
Mereka bodoh.
Aku sudah bilang berkali-kali ke Om Deth kalau aku cinta sama Rainn. Tapi mereka malah berusaha memusuhi dia. Untung saja mereka enggak sempat membunuhnya.
Kucing kecil aku.
Cinta menyebalkanku.
“Aku enggak percaya semua ini,” bisikku pelan. “Rainn pasti ketakutan setengah mati.”
“Kita bakal nemuin dia,” kata Big Jonny yakin.
Aku mengusap muka, napasku gemetar.
Ya, ampun.
Keluargaku sendiri yang menghancurkan segalanya.
Mereka sudah berusaha menyingkirkan Rainn.
Aku cuma ingin peluk istriku lagi.
Dia pasti trauma banget.
Dan yang paling menyakitkan, aku enggak ada di sana untuk melindungi dia.
cepetan update lagi ✊