Kalea dan Byantara tumbuh bersama di sebuah asrama militer Aceh, bak kakak dan adik yang tidak terpisahkan. Namun di balik kedekatan itu, tersimpan rahasia yang mengubah segalanya. Mereka bukan saudara kandung.
Saat cinta mulai tumbuh, kenyataan pahit memisahkan mereka. Kalea berjuang menjadi perwira muda yang tangguh, sementara Byantara harus menahan luka dan tugas berat di ujung timur negeri.
Ketika Kalea terpilih jadi anggota pasukan Garuda dan di kirim ke kongo, perjuangan dan harapan bersatu dalam langkahnya. Tapi takdir berkata lain.
Sebuah kisah tentang cinta, pengorbanan, keberanian, dalam loreng militer.
Apakah cinta mereka akan bertahan di tengah medan perang dan perpisahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khalisa_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suara dari magelang
Hari ketujuh di Goma.
Langit seperti plat besi yang menahan panas. Udara menggulung debu vulkanik dari kaki Nyiragongo, menempel di kulit seperti jelaga. Di pos lapangan, Kalea sedang 0menandatangani laporan patroli sektor utara ketika operator komunikasi berlari masuk.
“Komandan! Ada panggilan masuk dari Indonesia. Dari Yonif 113, Lettu infantri Muhammad Ramdan ragatav altavian.”
Tangan Kalea berhenti di atas kertas. Ia tidak segera menoleh, hanya menarik napas perlahan. Nama itu membawa gema dari masa lalu, Magelang, lapangan parade, dan suara terompet malam hari. Juga, saat di rumah ketika ia cuti, lalu saat terakhir ia berbicara dengan sangat bijak seolah ia tidak apa apa. Padahal ia juga kehilangan.
“Hubungkan,” katanya akhirnya, meski suaranya sedikit serak dan gemetar.
Beberapa detik kemudian, suara statis memenuhi ruang komunikasi, disusul nada berat dan berwibawa yang sudah lama tak ia dengar.
“Selamat sore, Lettu Kalea Aswangga.”
Kalea menegakkan tubuhnya. “ siap, selamat sore, Senior.”
Ada jeda panjang. Hanya suara kipas mesin dan radio HF yang mendesis pelan.
“Bagaimana keadaanmu di kongo?”
“Cukup baik, Senior. Cuacanya sedikit ekstrem, tapi situasi relatif aman. Kami masih tahap adaptasi dengan masyarakat lokal.”
“Saya lihat dari laporan media PBB, kalian sudah mulai patroli ke wilayah Nyamulagira?”
“Siap, benar, senior. Penduduknya ramah, tapi tetap siaga. Kadang, senyum mereka seperti kabut, cepat datang, tapi cepat juga hilangnya.”
Ramdan tertawa kecil. “Masih suka berbicara dengan bahasa yang tak langsung. Kamu tetap sama saja, Kalea.”
“Barangkali ini hanya cara untuk menyembunyikan gugup, senior,” jawabnya ringan. Suasana sedikit mencair. Suara Ramdan terdengar lebih lembut.
“Sebenarnya, ada alasan saya menelponmu, bukan sekadar ingin tahu kabarmu, tapi kabarmu adalah hal yang saya ingin tau juga. Kamu masih ingat sermatutar Angga, bukan?”
Kalea menatap dinding tenda yang mulai menguning oleh panas. “Angga? Taruna angkatan 4 diatas mu hari itu?”
“Ya. Anak Malang yang dulu sering main gitar di barak belakang.”
Kalea mengangguk pelan, seakan suara gitar itu masih bergema di kepalanya. “Tentu. Dia yang selalu bilang ingin jadi instruktur lapangan karena tak tahan duduk di kantor.”
Ramdan terdiam beberapa detik sebelum berkata pelan, “Angga gugur minggu lalu. Di Papua.”
Kalea refleks menegakkan tubuh. “Innalillahi…”
Napasnya tercekat. “Bagaimana bisa?”
“Kontak senjata di distrik ndunga. Timnya terserang saat evakuasi logistik. Ia tertembak saat mengevakuasi rekannya. Tidak sempat dibawa ke rumah sakit.”
Kalea menunduk. Tangannya mengepal di sisi meja.
“Dia masih sempat mengirim pesan terakhir lewat grup angkatan,” lanjut Ramdan. “Kau tahu apa isinya? ‘Kalau nanti ada yang ke luar negeri, jagalah nama baik Magelang."
Kalea memejamkan mata. Di kepalanya, bayangan Angga muncul, senyum lebar, seragam lusuh penuh debu latihan, dan suara gitar yang selalu fals tapi jujur.
“Dia orang baik,” ucapnya pelan. “Selalu bercanda, tapi tak pernah main-main dengan tugas.”
“Itu sebabnya saya hubungi kamu,” kata Ramdan lagi. “Kamu yang sekarang berada di tanah asing, jauh dari rumah. Ingat pesan itu. Jaga nama Magelang. Itu juga pesan dari saya, dan juga ingatkan satria.”
Kalea menarik napas panjang, suaranya menahan emosi. “Saya akan jaga, senior. Demi dia… dan demi kita semua yang pernah berdiri di lapangan itu.”
“Bagus,” jawab Ramdan pelan. “Aku tahu kalian bisa.”
Keduanya diam. Tak perlu banyak kata untuk mengukur kehilangan.
Di antara suara bising radio dan angin panas Afrika, ada kesunyian yang hanya dimengerti oleh orang-orang berseragam, mereka yang tahu betapa tipis jarak antara tugas dan takdir.
“Kalea,” suara Ramdan kembali, kali ini lebih lembut, “apakah kamu masih sering membuka mushaf kecil yang dulu selalu kamu bawa di saku?”
Kalea tersenyum samar. “Masih, Senior. Halaman depannya sudah mulai robek. Tapi isinya tetap utuh.”
“Bagus. Terus bawa. Di lapangan, kadang satu ayat bisa lebih kuat daripada sepuluh peluru.”
“Siap, Senior.”
Ramdan tertawa kecil, lalu suaranya merendah lagi.
“Baiklah, Kalea. Rasanya tidak perlu lama-lama kita bersua. Aku hanya ingin dengar kabar darimu, dan menyampaikan berita Angga. Jaga dirimu, ya.”
Kalea mengangguk walau tahu tak terlihat. "Siap, terima kasih, senior. Doakan kami di sini.”
“Pasti. Dan… sampai jumpa lima belas bulan lagi.”
Kalea sempat terdiam. “Lima belas bulan lagi, Senior?”
“Ya. Itu masa tugasmu, bukan? Setelah itu mungkin kamu bisa datang ke Malang. Kami ingin buat tahlilan besar untuk Angga.”
Kalea tersenyum kecil. “Insya Allah, Senior.”
“Baiklah, Lettu. Garuda di dadamu tetap jaga merah-putih, jangan biarkan debu Afrika menutupi warnanya.”
“Siap, Senior.”
Klik.
Sambungan terputus.
Kalea menatap alat komunikasi itu beberapa detik sebelum meletakkannya.
Di luar, matahari sudah mulai turun. Debu dan cahaya menciptakan warna tembaga di langit Goma.
Sertu Fauzi muncul di pintu tenda. “Komandan, tim sudah siap. Kita patroli ke pasar.”
“Baik,” jawab Kalea. Ia mengenakan helm birunya, lalu menepuk bahu Fauzi. “Hari ini kita lewat jalur tepi danau. Penduduknya katanya ramah ramah di sana.”
Mereka berjalan ke kendaraan. Anak-anak setempat berlari di pinggir jalan, melambai-lambaikan tangan kecil mereka.
“MONUSCO! MONUSCO!”
Kalea membalas dengan senyum dan hormat. Di tengah tawa anak-anak itu, ia merasa sepotong damai mengalir perlahan.
Mungkin beginilah cara terbaik untuk mengenang Angga, bukan dengan tangisan, tapi dengan melanjutkan langkah yang belum sempat ia selesaikan.
Dan di atas langit Goma yang kelabu, Kalea menatap senja dan berbisik dalam hati,
“Magelang, aku masih berdiri. Dan kami semua belum berhenti.”