Sering di-bully, hingga dikirim ke ruangan seorang dosen yang dikenal aneh, dia masuk ke dalam sebuah dunia lain. Dia menjadi seorang putri dari selir keturunan rakyat biasa, putri yang akan mati muda. Bagaimana dia bertahan hidup di kehidupan barunya, agar tidak lagi dipandang hina dan dibully seperti kehidupan sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Menikahi Jack Lewis.
"Hai," sapa Deana saat mereka berdua sampai di depan kediaman mereka.
Pemuda itu siaga, meneliti tampilan Deana dan putri dari atas hingga bawah.
"Nona saya ingin bicara dengan anda, bisakah kami memiliki waktu untuk itu?" Deana berkata sopan.
"Ya, silahkan, lebih baik kita bicara di teras rumah saya, mari." Pemuda itu mengajak Deana mampir di rumahnya.
Di sini, ada sekelompok rumah saling berdekatan, mungkin kurang lebih 15 belasan rumah kayu.
"Jack, ambilkan air!" Pemuda itu meminta adiknya.
Putri semakin tersenyum lebar saat mendengar nama bocah berambut merah itu adalah Jack.
"Yes, benar, untunglah!" Putri bermonolog dalam hati.
"Ada yang bisa saya bantu, Nona?" tanya Pemuda itu saat air putih sudah dihidangkan Jack.
"I-itu, nona saya ingin bicara dengan kalian berdua." Deana gelagapan, mengingat mengatakan untuk menikahkan bayi berumur 2 tahun dan bocah laki-laki berumur lima tahun, rasanya sungguh aneh.
Pemuda itu melihat pada putri. Dia tersenyum tak percaya. "Nona yakin?" tanyanya.
Deana mengangguk. Sang putri berdiri dan mendekat ke arah pemuda. "Kah ya!" Menunjuk bocah berambut merah.
"Apa? Pemuda itu tak paham. "Dia bicara apa?" Menatap Deana bingung.
"Kah, ya!" Menunjuk dengan ekspresi marah. Lalu mengeluarkan dua Patrem Binye berwarna silver dan emas.
Putri mendekat ke arah bocah berumur lima tahun itu. "Kah, lir ma!" ucapnya, lalu menancapkan Patrem Binye berwarna emas tepat di dada anak laki-laki itu, lalu di ubun-ubun yang berwarna silver.
"Pu—!
"Jack!"
Deana dan pemuda itu terkejut. Sungguh Deana tak mengira sang putri akan senekat ini.
Jack langsung kesakitan di dada dan kepalanya. "Aaaaaah! Kakak sakit!"
"A-apa yang kalian laku—" Pemuda itu terhening dan tak melanjutkan ucapan marahnya. Saat melihat benda yang menusuk dada dan kepala adik laki-lakinya.
Benda itu terus masuk ke dalam hingga hilang tak berbekas.
Dia menoleh, menatap putri kecil berumur dua tahun itu. "Anda siapa Nona kecil? Kenapa anda melakukan ini pada adik saya?"
"Nona? Apa ini yang ingin anda bicarakan?" Pemuda itu memutar pandangannya ke arah Deana.
"I-itu .... " Deana gugup, tak tahu harus menjelaskan seperti apa.
Tak menunggu penjelasan Deana, pemuda itu kembali berkata. "Anda tahu ini Patrem Binye?" tanyanya.
Deana mengangguk. "Tapi saya gak menyangka, jika Nona saya akan menusuk adik anda. Maaf."
Pemuda itu menghela nafas. "Ini tak bisa dengan kata maaf, ini masalah besar. Bagaimana bisa seorang Nona membuang tusuk Patrem Binye emas dan silver pada rakyat biasa? Siapa kalian? Kenapa menargetkan adik saya, kami miskin dan rakyat biasa."
"Kah, wab!"
Pemuda itu menatap putri, dia tak paham, lalu menoleh pada Deana.
"Nona saya berkata, dia akan bertanggung jawab." Deana dengan hati-hati menjelaskan.
"Tanggung jawab? Anak kecil? Apa aku harus percaya? Kalian siapa? Bangsawan mana?"
Ya, setidaknya pasti bangsawan yang memiliki tusuk ini paling rendah. Karena Patrem Binye hanya bisa dihasilkan oleh keturunan kerajaan, terkadang mereka menjualnya jika tidak ingin memiliki pernikahan.
Pernikahan paling berbahaya adalah ini, pernikahan darah melalui Patrem Binye. Hanya maut yang bisa memisahkan, dan tentu saja penusuk pengendali mutlak dalam pernikahan ini.
"Nona saya adalah putri dari selir ke-69. Putri Laeouya Aiziel Nerluc."
Pemuda itu langsung duduk bersimpuh. "Mohon maaf, hamba tidak tahu."
Sebagai rakyat biasa, wajib bagi mereka menunduk pada keturunan raja, tak peduli istri sah, istri terdaftar, ataupun keturunan selir raja.
"Ngun!" seru putri.
"Bangunlah. Tak perlu seperti ini, selir ke-69 juga dari rakyat biasa."
"Ampun, tetapi selir ke-69 tetap selir terdaftar dan diakui oleh raja, dan putri adalah darah daging Yang Mulia Raja. Maaf atas kelancangan hamba."
Bocah kecil yang bernama Jack Lewis itu, baru saja sadar setelah di cium bibirnya oleh sang putri, sebagai salah satu syarat penyembuhan.
Dia menatap benci sang putri. Apalagi saat mengetahui dia menjalani pernikahan darah dengan Patrem Binye bersama gadis kecil berumur 2 tahun.
"Silahkan cicipi yang Mulia Putri." Ana Lewis mengajak Deana dan putri makan di rumahnya. Ada suguhan potongan daging kecil, sayuran dan buah-buahan, karena anak-anaknya ada yang bisa makan daging ada yang tidak.
Pria dengan badan bongsor dan berotot ini adalah ayah Jack, bernama Kemal Lewis, dia rakyat biasa, lolos menjadi salah satu koki kerajaan dibagian dapur istana utama untuk raja. Sementara wanita disampingnya, seorang bangsawan rendah bernama Ana Lewis, menjadi pelayan bagian mencuci baju di istana ratu.
"Kemasi barang-barangmu Jack, kau harus ikut bersama putri," tutur ibunya lembut.
"Tidak, kenapa saya harus ikut!" Jack menolak.
"Sekarang kalian sudah menikah darah, kalian tidak bisa berpisah, terlebih kamu, kamu akan kesakitan jika berjauhan dari putri," terang Ibunya.
"Aku tidak mau!"
"Jack. Kau harus mau walau tidak mau." Kakaknya berkata tegas.
"Maaf Yang Mulia, kami akan membujuk Jack," ucap ayah Jack.
Orang tua Jack ramah, kakaknya juga sedikit ramah setelah mengetahui putri, sebelumnya dia cukup dingin.
"Jack, kemarilah." Sang ayah membawa Jack ke kamar.
Entah apa yang mereka bicarakan untuk membujuk Jack, yang akhirnya anak laki-laki itu mau berkemas, membawa pakaiannya dan ikut pulang bersama putri.
Jack menatap kediaman putri. Rumah yang biasa saja. "Bukankah kau putri? Dimana istanamu? Kau sengaja membawaku ke sini untuk menghinaku yang rakyat jelata?" Jack menatap tajam tak suka.
Dia sudah lama tak suka dengan ketidakadilan ini. Karena keturunan dari garis ayah, maka dia menjadi rakyat jelata, walaupun ibunya adalah bangsawan rendah, dia selalu diejek dan dihina. Disalahkan pada apa yang dia tidak perbuat.
Baru tadi siang dia merasa dirugikan oleh anak Baron, tubuhnya masih luka, punggung dan tangannya masih sakit karena cambukan, kini kepala dan jantungnya juga terasa sakit dan panas karena anak berumur dua tahun di depannya yang mengaku seorang putri.
"Tak hong. Ni ku!" jawab Putri.
"Kau bicara apa, aku tak ngerti!" Jack sangat tidak sopan pada putri.
"Maaf, Nona saya hanya seorang putri dari selir ke-69, dan ini sungguh kediaman kami." Deana menjelaskan.
Alis mata Jack berkerut. Tak percaya. "Mana ada kediaman seorang putri seperti ini, sama kayak kediaman kami. Bilang saja mau menghina saya yang rakyat jelata!"
"Selir ke-69 juga dari rakyat jelata. Dan ini kediaman putri. Sekarang anda silahkan masuk." Deana berkata tegas, masuk sambil menggendong putri ke dalam rumah.
Jack mengekor, melihat setiap sisi rumah. Dia menggeleng.
"Kau tidak berbohong?" tanyanya.
"Saya tidak berbohong," jawab Deana.
Putri turun dari pangkuan Deana, duduk di kursi kayu buatan Deana yang berukir cantik.
"Rang lir ma! Tak tuh! Mbong! Una!" Putri berkata, lalu menatap Deana untuk menerjemahkan pada Jack.
"Putri berkata, anda sekarang adalah selir pertama Yang Mulia Putri, dia tak suka orang yang tidak patuh dan sombong, dia suka pada selir yang berguna."
"Huh!" Jack mendengus. "Aku lelah, mau tidur, dimana ranjangku?" Berkata dengan nada memerintah.
"Ntai! Mbong!" Putri juga mendengus, lalu beranjak dari kursi, menaiki ranjangnya. "Mpat ku Na!"
"Anda begitu sombong, tempat tidur anda dilantai." Deana berkata, lalu mendekat ke arah putri, merapikan bantal dan selimut putri kecil itu.
"Apa? Di lantai?"