Setelah mendapatkan air sumur pertama, kedua, ketiga, keempat , kelima, dan keenam, tinggal ketujuh....konon di sumur inilah telah banyak yang hanya tinggal nama.....mengerikan !
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Artisapic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB X KUBURAN KERAMAT
Tubuh sosok putih itu mendekat sambil melambaikan tangan yang penuh dengan kuku panjang, semua orang mundur menghindar, tubuh tanpa kepala itu tangannya menggapai-gapai untuk meraih sasaran. Sabdo akhirnya melepaskan anak panah hingga menembus dada sosok putih itu dan tubuh itu terlempar beberapa depa, sosok itu diam tak bergerak.
Bertepatan sosok itu tumbang, di depan sana Kundil kembali tubuhnya bergetar hingga tubuhnya basah oleh keringatnya sendiri, Kundil membuka mata dan memandang sekeliling, tampak matanya menatap sesuatu yang berada di atas sana, lalu tubuh Kundil melayang ke atas, dan kereta itu dipegangnya lalu dibawa turun. Kundil menata sosok wanita yang berbaju kuning keemasan, wajahnya bertaring dan kukunya panjang, serta di dadanya tampak gambar Matahari yang hanya separuh, dalam diri Kundil, ia bergumam, Dyang Permoni.
Segera Kundil melakukan seperti semedi tadi, lalu dari tangan kanan Kundil tampak sinar perak melesat ke arah kereta dan terdengar suara ledakan dahsyat, Dyang Permoni dan kudanya terpental hingga puluhan meter, tetapi Dyang Permoni melepaskan sebuah jarum beracun, Kundil menjadi sasaran jarum itu, tapi sayang, jarum itu terus meluncur dan menghantam pohon, saat itu juga pohon di depan sana berubah warna menjadi hitam, membuat siapa saja pasti merinding dibuatnya. Lalu Kundil dengan kekuatan tangannya melepaskan pukulan dengan sepenuh tenaga, membuat tangan Kundil berubah warna menjadi warna putih keperakan, keluarlah sinar yang sangat menyilaukan, dengan diiringi suara bergemuruh laksana ombak badai, tiba-tiba, tubuh Dyang Permoni terkena pukulan itu dan terhempas ke tanah, tubuh itu lalu mengecil dan lenyap dari pandangan.
Kini Kundil berdiri sambil memandang ke arah Sabdo dan rombongan Permadi, ia menoleh lalu tubuhnya melesat ke atas, setelah itu di atas sana tampak sinar putih keperakan saling bertaburan dan banyak suara benda seperti jatuh, namun dalam sekejap, benda-benda itu lenyap tak berbekas. Sabdo dan Permadi saling memandang, lalu sosok Kundil kembali ke tempat semula.
" Semua sudah berakhir ki sanak, tinggal nanti kita cari siapa yang menyuruh mereka menggali mayat lalu dibakar untuk makan itu, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan ini ki sanak," tutur Kundil.
" Baiklah, Permadi dan yang lain, sebaiknya kalian pulang saja, urus warga dan hiduplah dengan mapan, kami akan melanjutkan pencarian," kata Sabdo.
Akhirnya mereka berpisah di situ, Kundil dan Sabdo meneruskan perjalanan mereka, dengan memilih jalan menuju ke arah pohon-pohon besar, sementara Permadi kembali melewati semak-semak tadi.
Setelah melewati beberpa pohon, keduanya duduk sambil melepas lelah, pandangan mereka tertuju pada sebuah gundukan tanah di antara pohon besar, sekilas mereka menyangkah bahwa itu hanya sebuah gundukan, namun mereka dikejutkan oleh bentuk yang aneh dan mencurigakan. Lalu, setelah lelah itu sudah kembali segar setelah minum air kelapa, keduanya melanjutkan untuk menuju ke gundukan itu. Satu per satu kayu atau sampah dibersihkan dan ditumpuk ke sebuah hamparan, kini tampak sebuah pusara yang besar terpampang di depan mata, keduanya kemudian meneliti pusara itu. Setelah dibaca tertera tulisan nama, begitu melihat tulisan itu, Sabdo menangis dan memeluk batu nisan itu ,
" Maafkan saya Eyang, saya benar-benar tidak tahu kalau di sini Eyang dikebumikan, maafkan saya Eyang," ratap Sabdo.
" Siapa ki sanak, ini kuburan siapa ?" tanya Kundil sambil penasaran.
Akhirnya Sabdo menjelaskan dengan bercerita , bahwa dulunya pemilik makam itu adalah seorang Maharesi yang sangat tinggi ilmunya, bahkan tidak ada yang menandingi ilmu Eyang nya itu, lalu Eyang itu akhirnya menitipkan ilmu itu kepada ayahnya Sabdo. Atas ilmu itu akhirnya Sabdo mendapat warisan ilmu itu dengan syarat dirinya harus melakukan seperti sekarang, menjadi pengembara selama 7 tahun.
Mendengar cerita itu Kundil menjadi paham, makanya rumah bilik yang sudah dibuat itu ditinggal begitu saja. Sesuai rencana di awal bahwa kedua orang itu akan terus mencari siapa pelaku dari semua itu sebagai pemakan mayat.
Setelah mereka membersihkan semua apa yang mengotori kuburan leluhurnya, Sabdo dan Kundil akhirnya melanjutkan perjalanan ke arah Barat, dimana cahaya Matahari tenggelam. Melewati jalan setapak, Sabdo memandang bukit yang penuh cahaya, ia yakin di bukit itu ada orang yang menghuninya. Untuk menuju bukit itu Sabdo dan Kundil harus melewati hutan yang penuh banyak resiko, namun tak ada jalan lain kecuali lewat hutan itu.
Baru saja mereka melewati beberapa jalan tikungan, mereka dikejutkan oleh sebuah goa yang di depan goa itu terdapat bekas orang membuat api unggun atau apa lah, yang jelas bekas orang membakar sesuatu. Dengan mengamati keadaan goa itu yang sepi tanpa ada kehidupan, mereka akhirnya masuk dan di depan sana tampak sesuatu yang berwujud besar, sedang duduk menikmati makanan. Kedua orang itu terus mendekatinya, tanpa suara mereka akhirnya dapat melihat sosok itu ternyata raksasa yang berbulu hitam dengan wajah seperti banteng, bercula dua dan kukunya begitu runcing. Sabdo berbisik agar Kundil melihat apa yang dimakan. Dengan bergeser ke atas Kundil dapat melihat ternyata sosok itu sedang memakan bangkai manusia. Kundil merasa bergidik melihat semuanya. Ia lalu mengusulkan agar sosok raksasa itu tidak meneruskan makan bangkai, maka Sabdo melempar sesuatu ke arah kanan raksasa itu.
Dengan suara mendengus, raksasa itu mendekati bunyi sesuatu yang dilempar Sabdo, begitu besar begitu seram, raksasa itu melangkah dan ia seakan mengawasi ruangan gia itu, tetapi ia tidak menemukan yang ia cari. Kemudian Sabdo berdiri di atas batu di dalam goa itu, lalu Sabdo memanah raksasa itu tapi panah Sabdo tidak terasa sama sekali oleh raksasa itu.
" Dia tidak merasakan apa-apa ki sanak, bagaimana ini, dengan apa kita harus melumpuhkannya ? Kata Sabdo.
" Kita pikirkan nanti saja ki sanak, lebih baik kita keluar saja baru kita hancurkan goa ini," usul Kundil.
Akhirnya mereka keluar kembali, namun sayang, raksasa itu mengetahui keberadaan mereka dan....sebuah bunyi yang keras meraung lalu disusul dengan tanah bergetar kuat membuat keduanya terjatuh dalam goa, namun mereka bisa mengendalikan diri sehingga tidak sampai terluka.
Raksasa itu mendatangi keduanya, dengan bersembunyi di cela-cela batu, Sabdo terdiam sambil mengamati raksasa itu. Terdengar suara langkah kaki raksasa itu mendekat lalu dengan datang tiba-tiba wajah raksasa itu di hadapan mereka, betapa kagetnya Sabdo dan Kundil. Dalam keadaan seperti itu, Kundil memukul wajah raksasa itu dengan sekuat tenaga, namun tangannya merasakan seperti memukul dinding tembok yang kuat, lalu Sabdo melesat keluar dari cela itu sambil melempar tombaknya , raksasa itu hanya diam dan tidak merasakan apa-apa. Dengan tenaga yang penuh, kini giliran Kundil memukul dengan tenaga dalamnya, dan.....bugh...bugh...bugh...Kundil berhasil memukul wajah raksasa itu, ia meraung kesakitan membuat di dalam goa itu akan runtuh lalu Sabdo dan Kundil berhasil lari di antara bebatuan, hingga mereka sampai di luar goa. Sementara goa itu runtuh bersama terdiamnya suara raksasa itu. Namun, dari balik reruntuhan itu, tanah bergerak dan munculah raksasa itu, membuat Sabdo dan Kundil menyelinap di pohon besar.