NovelToon NovelToon
Obsesiku Tawananku

Obsesiku Tawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Playboy / Hamil di luar nikah / Percintaan Konglomerat / Obsesi / Fantasi Wanita
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dewi Adra

Meira, gadis muda dari keluarga berantakan, hanya punya satu pelarian dalam hidupnya yaitu Kevin, vokalis tampan berdarah Italia yang digilai jutaan penggemar. Hidup Meira berantakan, kamarnya penuh foto Kevin, pikirannya hanya dipenuhi fantasi.

Ketika Kevin memutuskan me:ninggalkan panggung demi masa depan di Inggris, obsesi Meira berubah menjadi kegilaan. Rasa cinta yang fana menjelma menjadi rencana kelam. Kevin harus tetap miliknya, dengan cara apa pun.

Tapi obsesi selalu menuntut harga yang mahal.
Dan harga itu bisa jadi adalah... nyawa.



Ig: deemar38

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

OT 11

Manager menarik napas panjang, lalu menatap Kevin dengan sorot mata yang dalam.

“Kev, gue cuma minta lo... please, think again. Pertimbangkan baik-baik sebelum ambil keputusan keluar. SilverDawn bisa sampai segede ini mostly karena kamu. Tawaran show, kontrak, semuanya lagi di puncak. Kalau kamu pergi, semuanya bisa jatuh, Kev.”

Kevin terdiam sebentar, rahangnya mengeras. Ia lalu menyandarkan tubuh ke kursi, menatap ke langit-langit dengan ekspresi gusar.

“Man, you don’t get it...” katanya dengan sedikit kesal. “Aku nggak pernah minta jadi center of attention like this. Everywhere I go, people follow. No privacy, no peace. Aku cuma pengen... play music. That’s it. Musik aku diterima orang, aku udah happy. Tapi sekarang? Dunia ini feels... suffocating.”

Matanya menatap lurus ke managernya, tajam tapi juga lelah.

“This is not my world. Aku bukan idol. Aku cuma musisi. Kalau terus kayak gini, I’ll lose myself.”

Manager terdiam, jelas terlihat kecewa tapi juga memahami beban yang Kevin rasakan.

Kevin mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu mendengus kesal.

“See? Contohnya aja sekarang...” suaranya meninggi sedikit. “Aku mau keluar ke mini market, cuma buat beli snack or minuman, aku nggak bisa. Harus minta tolong orang, or kalaupun aku maksa keluar, I have to disguise myself. Topi, masker, hoodie, jalan buru-buru. Haah..It’s... exhausting, man.”

Dia menunduk, jemarinya mengetuk meja resah.

“Bayangin, hal kecil yang orang biasa bisa lakukan dengan gampang, buat aku jadi luxury. Aku capek harus hiding all the time. Aku nggak pengen hidup kayak gini selamanya.”

Matanya menatap managernya dengan tatapan serius bercampur letih.

“Aku pengen freedom. Just to be me. Tanpa harus takut kamera, fans, atau wartawan di tiap langkah aku.”

Managernya menghela napas, lalu mencoba meredakan suasana dengan senyum tipis.

“Tapi, bro... lo sekarang udah ada di puncak. Duit ngalir banyak, tawaran job nggak berhenti. Itu kan yang orang-orang idamkan. You’re living the dream.”

Kevin langsung mendongak, menatapnya tajam. Logat bulenya kental, suaranya tegas.

“No, you don’t get it. I don’t need that much money. Fame, fortune, semua itu bukan tujuanku.”

Dia menepuk dadanya pelan.

“Yang aku mau cuma simple aku bisa main musik, karya aku didenger, dihargain. That’s it. Aku nggak peduli seberapa besar check yang lo taro di meja. If it costs my freedom, my peace of mind... it’s not worth it."

Manajer menghela napas panjang, suaranya mulai berat.

“Kev, lo pikir gampang ya ngomong cabut begitu aja? Kalau lo keluar SilverDawn bisa bubar, bro.”

Kevin terdiam, matanya menunduk.

Manajernya mencondongkan badan, wajahnya serius.

“Lo itu center. Orang datang ke konser bukan cuma buat musiknya, tapi juga karena ada Kevin De Luca. Suara lo, aura lo... itu yang bikin SilverDawn beda dari seribu band lain. Kalau lo pergi, gue nggak yakin band ini bisa bertahan.”

Kevin mengangkat pandangan sekilas, tapi bibirnya tetap rapat. Ada sesuatu yang bergejolak di matanya, antara marah, lelah, dan ragu.

____

Pagi itu, matahari baru saja merayap naik di balik tirai tebal apartemen mewah Meira. Belum sempat ia benar-benar membuka mata dengan tenang, ponselnya bergetar panjang. Nama yang muncul di layar membuatnya mendesah kesal nomor orang suruhan Erick. Dengan malas, ia menggeser tombol hijau.

“Meira, Pak Erick mau bicara,” suara datar dari seberang.

Meira langsung terdiam sejenak, lalu menjawab dingin, “Kasih ke dia.”

Hening beberapa detik, lalu terdengar suara berat, rendah, dan penuh jarak.

“Meira.”

Meira menelan ludah. Ada campuran benci dan muak mendengar suara itu. Namun ia mencoba terdengar santai, meski nada suaranya jelas sarkastis.

“Apa kabar, Erick? Udah puas hidup enak sama keluarga baru lo?”

“Saya nggak mau basa-basi,” potong Erick dingin. “Saya cuma mau kejelasan. Kamu itu mau apa sebenarnya? Jangan bikin pusing saya, Meira. Hidup saya sudah tenang sekarang, jangan kamu ganggu lagi.”

Meira tergelak, tawa pendeknya terdengar getir. “Mau apa gue? Lo nanya gitu? Dari dulu lo nggak pernah mikirin gue, terus sekarang ngomong jangan ganggu? Please deh, Rick. Hidup gue ini kacau karena lo.”

“Jangan salahin saya,” jawab Erick datar. “Itu pilihan kamu. Saya sudah cukup kasih apa yang bisa saya kasih. Sekarang stop. Jangan bikin saya repot.”

Meira mengepalkan tangan. Ia sudah muak dengan nada tinggi Erick yang selalu merasa benar. “Oke, kalau lo mau gue berhenti ganggu, gampang. Lo bayar ganti rugi. Lo pikir gampang ya jadi gue? Lo pikir gampang dibuang gitu aja? Nggak, Rick. Hidup gue rusak. Jadi kalau lo mau tenang, keluarin duit.”

Erick menarik napas, menahan emosi. “Berapa lagi yang kamu mau?”

Meira menunduk, menatap lantai marmer apartemennya, lalu dengan suara dingin ia menjawab, “Dua ratus miliar. Gue serius. Kalau lo mau gue lenyap dari hidup lo, keluarin itu.”

Terdengar keheningan panjang dari seberang. Hanya suara napas berat Erick yang terdengar. Kemudian jawabannya tegas. “Itu gila. Saya nggak sanggup.”

Meira menyeringai sinis. “Lo kan pengusaha besar. Masa angka segitu bikin lo nyerah? Gila aja kalau lo bilang nggak mampu. Jangan bohongin gue, Rick.”

“Saya bilang nggak sanggup, ya nggak sanggup!” suara Erick meninggi. “Kamu kira duit gampang keluar begitu saja buat hal yang nggak jelas? No, Meira.”

Meira menggertakkan giginya. “Ya udah. Gue nggak peduli. Kalau lo mau gue bener-bener hilang dari hidup lo, 200 M itu harga gue. Kalau nggak, gue bakal terus ganggu.”

Erick terdiam lagi. Lalu, suaranya turun, lebih berat, lebih dingin. “Satu syarat. Saya kasih, tapi nggak sebesar itu. Saya masih bisa atur seratus miliar. Itu pun besar banget. Gimana? Ambil atau nggak sama sekali.”

Mata Meira melotot. Ada rasa puas sekaligus getir menyergap dadanya. Ia tahu ia berhasil menekan pria itu. Suaranya terdengar lirih tapi penuh kemenangan.

“Deal. Seratus miliar. Abis itu, lo bakal tenang gue nggak akan muncul lagi. Gue bakal ilang.”

Erick mendesah panjang, terdengar berat, seolah baru menandatangani kontrak dengan iblis. “Baik. Nanti saya atur. Tapi ingat, Meira, jangan pernah balik lagi cari saya. Ini terakhir.”

“Tenang aja, Rick,” sahut Meira dengan senyum miring, suaranya penuh racun. “Setelah ini, gue sama sekali nggak peduli lo. Seratus miliar itu harga buat gue bener-bener menghapus lo dari hidup gue.”

Telepon terputus. Meira menatap ponselnya, napasnya naik-turun. Ada rasa puas, tapi juga kekosongan besar yang tak bisa ia jelaskan. Ia tersenyum getir, lalu menjatuhkan diri ke sofa empuk.

“Seratus miliar,” gumamnya pelan. “Harga seorang anak buat dilupakan ayahnya sendiri.”

Dan tanpa bisa ditahan, air matanya menetes. Satu, dua, lalu deras mengalir membasahi pipinya. Suara isakan itu pecah di ruang apartemen yang luas namun terasa dingin. Meira memeluk dirinya sendiri, tubuhnya berguncang hebat.

Di balik keras kepalanya, di balik ucapannya yang penuh perhitungan, hatinya hancur. Ia sesenggukan, merasakan betapa dunia begitu tidak memihak padanya. Semua orang menjauh. Ibunya tak peduli. Erick hanya ingin membuangnya. Bahkan dirinya sendiri sudah tak tahu lagi kemana harus bersandar.

“Gue... sendirian...” bisiknya lirih di antara tangis.

Apartemen mewah itu seketika terasa seperti penjara emas, mengekang tubuhnya yang rapuh. Dan di tengah tangisnya, ia sadar uang ratusan miliar sekalipun tak akan pernah bisa membeli satu hal yang paling ia butuhkan, kasih sayang orang tua .

1
Aquarius97 🕊️
Meira kah vin.? jika iya, hmm...diam2 kamu memperhatikan yaa
Aquarius97 🕊️
yaiyalah mei... lu siapa emangnya wkwk
Aksara_Dee
periksa sama aku aja, rahasia aman 😅
Aksara_Dee
emang kalau udah penyakit hati susah ya
Aksara_Dee
semoga bukan kevin ya
Aksara_Dee
tapii... crush nya Kenji naksirnya kamu, Kev
Aksara_Dee: ❤️❤️❤️❤️
total 8 replies
D. A. Rara
kalo Kevin aku rasa dia mau ngk tau Kenji
Aquarius97 🕊️
wah parah juga lu Mei...
Aquarius97 🕊️
tahan Meira, jangan ngamuk yaa 🤣
Aksara_Dee
like plus mawar untuk kaka
Dee: yeeeaa... makasih Kakak🥰
total 1 replies
Aksara_Dee
yups mantap kata²nya cukup menampol bibir kenji
Aksara_Dee
owalaahh aku gemess sama Kenji
Aksara_Dee
kenji pengen bgt tampil nih kayaknya
Aksara_Dee
duuhh dia capek banget itu, pengen peluk kevin 🥺
Dee: Merasa tertekan
total 1 replies
Aksara_Dee
diam-diam dia ingin tampil sebagai tokoh di head line
Dee: Mulai ketauan aslinya
total 1 replies
Aksara_Dee
jeli bangen si wartawan
Aquarius97 🕊️
tabok dulu wajah kau mei hhh
Aquarius97 🕊️
selmattt Meiraa 💪😵
Aquarius97 🕊️
apal bgttt.. orang si kevin dunia meira
Aquarius97 🕊️
wuahhh.. kalau aku jadi Meira bakalan kayang trus jungkir balik tuh
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!