Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran
Hari ini, langit Florida seakan ikut bersemangat menyambut acara puncak proyek puncak program Green Campus, yaitu Eco-Market Day. Matahari bersinar cerah, tetapi tidak terik. Angin bertiup lembut, membuat daun-daun pohon di sekitar area acara berdesir pelan, seolah membisikkan sesuatu yang belum sempat dikatakan. Aku berdiri di sisi lapangan, tempat acara akan berlangsung, mengenalan kaos klub sosial dan topi hijau dari panitia.
Di depanku, beberapa stan sudah berdiri. Ada stan informasi, stan permainan daur ulang, dan yang paling ramai— tentu saja stan makanan gratis. Sarah berdiri di balik meja, mengenakan apron hijau, sibuk membagikan creamy spinach pasta dan jus buah buatannya. Sarah memang bukan anggota klub kami, tiap menawarkan diri untuk ikut membantu kegiatan kami kali ini, terutama pada stan makanan gratis. Ia secara sukarela membantu membuat makanan dan minuman untuk dibagikan secara gratis.
"Hai, Chef Sarah!", godaku, saat Sarah tengah sibuk menyajikan makanannya ke dalam puluhan box kertas—atau mungkin ratusan.
"Hai, calon kekasih Nick! Upss!", kata Sarah, menutup mulutnya sambil tertawa kecil. Balik menggodaku.
"Hei! Jangan membuat gosip yang tidak-tidak, Sarah! Bagaimana kalau ada yang mendengarnya?", protesku.
Sarah masih tertawa, lalu melirikku. "Aku tidak sedang membuat gosip apapun, Nora! Kecuali kalau aku menyebutmu kekasih Nick.", katanya, setengah berbisik.
"Hmm, pasti Nina sudah menceritakan semuanya padamu.", ucapku, sambil mengerucutkan bibir.
"Pasti karena Nina tahu kalau aku tidak suka melewatkan berita apapun."
"Hmm, baiklah.", jawabku, sambil lalu. "Ehm, dimana Nina? Semalam bukankah ia bilang akan datang untuk menyaksikan live music? Aku belum melihatnya sejak tadi."
"Mungkin dia sedang sibuk berdandan, untuk memikat pria yang disukainya."
"Hah? Nina sedang menyukai seseorang? Di kampus ini?"
"Ya, seorang pria yang baru ia temui beberapa hari yang lalu, dan membuatnya terpesona. Sepertinya, dia belum sempat memberitahumu karena kamu sibuk mempersiapkan proyek klub sosialmu."
"Ehm, sepertinya begitu. Jadi, siapa pria itu? Apa aku mengenalnya?", tanyaku penasaran.
"James. Kurasa kamu tidak mengenalnya. Tapi, Nick pasti tahu. Karena, kebetulan Paul bergabung di organisasi yang sama dengan Nick. Student Government."
"Wah, sepertinya Nina berhutang banyak cerita padaku."
"Ya. Kamu bisa menagihnya saat proyekmu selesai malam ini.", kata Sarah, tersenyum miring. Lalu, tiba-tiba ia melempar pandangannya ke belakangku. "Bukankah itu Nick?", tanyanya.
Aku pun refleks membalikkan badan, untuk memastikan ucapan Sarah. Ternyata benar. Tidak jauh dari tempatku berdiri, ada Nick yang tengah berjalan menghampiriku, membawa gitar di punggungnya. Ia mengenakan kaos klub sosial dan topi hijau yang sama denganku. Namun, entah kenapa pakaian itu tampak luar biasa, saat Nick yang mengenakannya. Bahkan, beberapa pengunjung langsung melirik ke arahnya.
Aku berpura-pura menoleh ker arah lain, dan memusatkan perhatian ke stan papan komitmen hijau, tempat orang-orang mulai menuliskan niat mereka untuk lebih memperhatikan kelestarian lingkungan. Tapi ekor mataku, tetap bisa menangkap bayangannya yang mulai mendekat ke arahku.
"Hai, Nora!", sapanya.
"Oh, hai, Nick!", balasku, berpura-pura terkejut.
"Sebentar lagi, aku akan membuka acara dengan sambutan.", katanya.
"Ehm, ya. Tempat ini sepertinya sudah hampir dipenuhi pengunjung.", kataku, mencoba menetralkan suasana hatiku.
"Ya. Sepertinya proyek kita kali ini berhasil.", kata Nick, tersenyum simpul.
"Ya, sepertinya begitu.", balasku, ikut tersenyum.
"Baiklah, aku akan pergi untuk membuka acara. Sampai nanti, Nora!", ucap Nick, lalu bergegas pergi.
Beberapa saat kemudian, aku melihat Nick sudah berada di atas panggung. Acara dimulai dengan sambutan ketua klub sosial kami, Peter, dan dilanjut oleh Nick sebagai project leader. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan penampilan live music dari beberapa band kampus dan juga mahasiswa yang secara sukarela ingin mempersembahkan penampilan mereka. Para pengunjung pun mulai berkerumun tidak jauh dari panggung, untuk menikmati berbagai suguhan penampilan di depan mereka. Termasuk aku.
"Hai, Nora!", seru Nina yang datang menghampiriku, dengan dandanan yang tidak biasa. Ia mengenakan sebuah dress berwarna pastel yang sangat manis, dengan riasan yang sedikit lebih mencolok dari yang biasanya ia pakai.
Aku memicingkan mata, lalu tersenyum—sambil menganggukan kepala. "Sepertinya benar apa yang Sarah bilang tentangmu.", kataku.
"Apa?", tanya Nina, tampak tak mengerti dengan arah pembicaraanmu.
"Jadi, dimana pria bernama James yang kamu sukai itu, Nina?", tanyaku.
Nina pun tampak sudah mengerti. Raut wajahnya yang semua penuh tanda tanya, kini berubah melunak. "Ah, ya, aku belum sempat memberitahumu tentangnya.", katanya, sambil tersenyum canggung.
"Ya. Kamu berhutang banyak cerita padaku. Mungkin aku akan menagihnya besok. Jadi bersiap-siaplah, Nina!"
"Baiklah."
Lalu, tiba-tiba perhatianku pun teralihkan, begitu aku mendengar sebuah suara yang sangat familiar dari pengeras suara. Itu seperti suara...Nick. aku sontak menoleh ke arah panggung kecil di depanku. Ternyata memang benar itu Nick. Ia duduk di bangku tinggi, membuka strap gitar dari punggungnya, lalu tersenyum ke arah kerumunan.
"Halo semuanya! Terimakasih sudah datang ke acara puncak Green Campus. Pada kesempatan kali ini, saya akan membawakan sebuah lagu... yang cukup mewakili apa yang saya rasakan saat ini.", ucap Nick, yang kemudian disambut oleh sorakan kerumunan.
Aku menahan nafas. Nada bicaranya terdengar santai, namun aku bisa melihat tangannya sedikit gemetar saat memegang neck gitar. Nick menunduk sebentar, sebelum akhirnya memetik dawai pertama.
Lagu yang mengalun pelan membuat jantungku seakan ikut bergetar. Aku mengenalnya. Lagu berjudul 'Until I Found You' dari Stephen Sanchez. Suara Nick terdengar lembut, sedikit serak, tapi penuh emosi. Dan saat ia sampai pada bagian lirik 'I would never fall in love again until I found her...', matanya menatap ke arah kerumunan—dan berhenti padaku.
Aku tahu bahwa ia tidak menunjukkan secara terang-terangan. Akan tetapi, matanya...itu bukan tatapan umum yang dilempar ke semua orang. Itu tatapan yang hanya ditujukan ke satu titik—aku.
Tiba-tiba semuanya terasa kabur. Suara-suara di sekitarku seperti mengecil. Menyisakan suara Nick, dan lirik lagu itu yang seolah menjadi pengakuan tak langsung. Entah hanya perasaanku saja, atau memang benar begitu.
Ketika lagu selesai, seluruh pengunjung bertepuk tangan—dan aku tetap diam. Jantungku masih berdegup kencang. Nick menunduk sedikit, lalu turun dari panggung.
Nina yang ada di sampingku, tiba-tiba menyikut lenganku pelan. "Sepertinya lagu itu untukmu, Nora.", katanya, sambil tersenyum.
"Jangan menduga-duga, Nina!", bisikku.
"Ayolah, Nora! Bukankah Nick sendiri yang bilang tadi. Kalau lagu yang ia bawakan mewakili perasannya. Apalagi namanya kalau itu bukan kode keras... untukmu?"
"Baiklah. Kalaupun memang benar begitu. Tapi, bisa jadi lagu itu untuk perempuan lain, bukan aku."
"Perempuan siapa lagi, Nora? Selama aku mengenal Nick, dia tidak pernah dekat dengan perempuan manapun. Hanya denganmu."
Aku hanya menggeleng, berusaha terlihat santai. Akan tetapi, kedua pipiku rasanya memanas. Sial.
Setelah acara berakhir dan para panitia sibuk membereskan properti, aku menyendiri sejenak di dekat papan komitmen hijau. Menyibukkan diri dengan membaca tulisan-tulisan dari para mahasiswa disana. Sebagian terasa lucu, sebagian menyentuh, dan sebagian lagi terasa cukup idealis untuk seorang mahasiswa.
"Berusaha mengurangi limbah plastik, dan belajar lebih jujur pada perasaan sendiri.", kataku, membaca salah satu komitmen yang ditulis oleh seseorang—Nick.
"Ya, itu milikku. Mungkin sedikit personal.", sahut suara seorang pria yang sangat familiar di telingaku.
"Nick!", seruku, terkejut, begitu mendapati sosok Nick sudah berdiri di belakangku.
"Hai, Nora!", sapanya, tersenyum hangat.
"Ehm, hai, Nick!", balasku, sedikit gugup. Pasalnya ia baru saja memergokiku membaca komitmen yang ia tulis. Belum lagi soal penampilannya beberapa saat lalu, yang membuatku cukup salah tingkah.
"Kamu sudah menulis milikmu?"
"Ehm, be—belum.", jawabku, gagap.
"Kalau begitu, setelah ini kamu bisa menulisnya, Nora."
"Ya. Aku memang berniat ingin menulisnya setelah ini.", kataku, lalu mengambil sebuah spidol hitam yang sudah disediakan dan menulis komitmen milikku. "Ehm, aku tidak tahu kalau kamu pandai bermain gitar dan bernyanyi.", kataku, mencoba mencairkan suasana.
Nick tersenyum, lalu menanggapi ucapanku. "Sebenarnya tadi aku agak gugup. Ini adalah pertama kalinya aku bermain gitar dan bernyanyi lagi, semenjak aku pindah ke Alachua. Apakah rasa gugupku cukup jelas terlihat?", tanyanya.
"Ehm, sedikit. Tapi kamu membawakannya cukup bagus. Jadi, kurasa tidak banyak yang menyadari kalau kamu sedang gugup."
"Hmm, syukurlah. Aku khawatir tidak bisa menyampaikan pesan lewat lagu itu dengan baik.", katanya, terdengar ambigu.
"Pesan?", ulangku.
"Ya, pesan tentang perasaanku yang sesungguhnya. Jadi, apa kamu menerimanya dengan baik?", kata Nick, yang sontak membuatku terdiam, membeku. Entah apa yang Nick maksud dengan pertanyaannya itu. Rasanya aku tidak mengingkan adanya kode lagi di antara kami. Jika memang ia memiliki perasaan padaku, aku hanya ingin kejujurannya.
"Nora!", seru Nick. Melihatku masih terdiam.
"Aku tidak mengerti apa maksud ucapanmu.", kataku, mencoba memancingnya, seperti yang diajarkan Nina.
Kami bertatapan sejenak, tapi kemudian terdengar suara Nina memanggil namaku dari kejauhan, menyelamatkanku dari suasana ya mulai terasa canggung.
"Maaf, kurasa aku harus pergi sekarang.", kataku, lalu beranjak pergi meninggalkannya. Meninggalkan Nic dengan perasannya.
Biarlah. Biarlah Nick merenungi perasaannya. Kurasa aku akan melakukannya dengan cara Jenny. Aku akan memberi sebuah pancingan pada Nick, tanpa harus menunjukkan perasaanku padanya yang kian terasa nyata. Aku hanya berharap, bahwa Nick bisa lebih jujur tentang perasaannya. Seperti apa yang sudah ia tuliskan pada papan komitmen hijau yang kubaca tadi.