Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.
haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penjaga atau pembunuh
Bruk!
"Dasar makhluk gila!" Shavira melempar tasnya ke pintu kamar. Amarah gadis itu masih terbawa sampai sekarang. Ia langsung menjatuhkan tubuh ke kasur, berharap emosinya cepat turun.
Matanya melirik kalender yang tergantung di atas nakas. Ia buru-buru membuka laci, mengambil kalender lipat berwarna pink. Satu garis tegas ia coret di tanggal 1 Mei, lalu melingkari tanggal 30 Juni.
Walaupun Shavira benci lelaki tadi, ia mulai percaya dengan kata-katanya. Setelah semua yang dilakukan lelaki itu, Shavira sadar kalau dia memang bukan manusia biasa.
Padahal dulu ia tidak percaya dengan hal bodoh semacam ini. Tapi siapa sangka, sekarang ia sendiri yang mengalaminya—bertemu dengan seorang lelaki yang menyebut dirinya kematian, dan mengatakan bahwa ia akan mati dua bulan lagi.
Belum lagi soal kucing yang ia adopsi… ternyata sudah mati.
"Ah, benar! Kucing itu…" Shavira bangkit. Ia baru sadar sejak tadi belum melihat si kucing. Kemana perginya?
Ia membuka pintu kamar, menoleh ke arah tempat tidur Sem, tapi kucing itu tak ada.
"Lagi cari apa?"
"Aaa!!" Plak!
"Bisa gak sih jangan muncul tiba-tiba!?"
Lelaki itu hanya menanggapi dengan acuh. Ia berjalan santai ke sofa, menggendong Sem di pelukannya.
Shavira menggeleng keras. Tingkah lelaki itu benar-benar seolah-olah rumah ini miliknya.
"Ngapain lo masih di sini?"
"Kamu yang membawa saya ke sini."
"Heh, sejak kapan gue ngajak lo tinggal di sini? Jangan gila deh. Sana keluar!"
Tapi bukannya pergi, lelaki itu malah berbaring di sofa dengan santai, Sem ikut rebah di atas tubuhnya.
Shavira melangkah cepat mendekat, berkacak pinggang seperti mamak-mamak mau ngomel. Ia menarik lengannya, berusaha menyeretnya berdiri.
"Bangun! Cepet keluar!"
Tapi tubuhnya terasa berat sekali. Shavira sudah pakai tenaga dalam ala anime pun, tetap tidak bergerak.
Malah, lelaki itu balik menarik tangannya hingga Shavira tersungkur di depannya.
Mata Shavira membulat. Wajah lelaki itu kini begitu dekat. Dari alis hingga bibirnya, semuanya terlihat… sempurna. Seperti inikah wajah malaikat maut?
"Jangan ditatap begitu," ucap lelaki itu datar. "Nanti kamu jatuh cinta."
Buru-buru Shavira menepis pikirannya. Ia berdiri cepat, berdehem untuk mengusir rasa canggung.
"Hah, jangan kegeeran lo, makhluk!"
Lelaki itu duduk tegak, menatap Shavira.
"Waktu hidupmu dimulai dari hari ini. Jangan bermimpi bisa punya pasangan dan hidup bahagia. Karena rasa sakit di jantungmu… akan mulai sering kambuh sekarang."
Shavira mendengus, wajahnya maju mendekat.
"Gue sumpahin lo jatuh cinta sama gue! Sampai lo rela ngorbanin diri lo buat nyelametin gue!"
Ia hanya menjentik kening Shavira, membuat gadis itu meringis.
"Jangan kebanyakan baca novel. Aku bukan manusia. Aku tidak punya nafsu. Jadi buang omong kosongmu jauh-jauh, Shavira."
Setelah berkata begitu, lelaki itu segera keluar dari rumah.
.
.
.
Hari berikutnya, Shavira berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
Baru saja pulang kerja, ia sempat bertemu sebentar dengan dokter Hendri. Shavira sebenarnya tidak enak hati kalau terus mengacuhkan dokter itu.
Obrolan mereka kali ini terasa ringan. Dokter Hendri lebih banyak mengajaknya membicarakan hal-hal sepele, jauh dari topik penyakitnya.
Saat melangkah, pandangan Shavira tertarik pada jendela kaca di samping koridor. Malam sudah gelap, hanya dihiasi lampu-lampu taman dan jalan di area sekitar rumah sakit.
Matanya menajam, menatap taman belakang.
Di sana, di atas batu besar dekat kolam, terlihat sosok lelaki yang sudah tak asing baginya.
Shavira menahan napas. Dia lagi? Kenapa ada di sana?
"Mbak Vira."
"Aa—!" Shavira hampir menjatuhkan cup kosong di tangannya.
Ternyata dokter Hendri berdiri di sampingnya sambil membawa dua cup americano. Ia menyodorkan satu kepadanya, dan Shavira menerimanya dengan kikuk.
"Maaf, Mbak Vira. Saya bikin kaget ya?"
"I-iya dok, nggak apa-apa."
Dokter Hendri tersenyum tipis. "Tadi lihat apa, sampai melamun begitu?"
Shavira cepat-cepat menggeleng. "Ehm, nggak kok."
Padahal ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tapi masih ragu. Sampai akhirnya ia memberanikan diri.
"Eum… dok, kenapa taman belakang itu nggak pernah dipakai lagi?" Shavira menunjuk taman di depan mereka.
Dokter Hendri ikut menoleh. "Entahlah. Tapi dari gosip yang beredar, sejak dulu tempat itu memang dianggap angker. Dari awal saya bertugas di sini, taman itu tidak pernah digunakan."
"Angker?" Shavira mengulang pelan.
Dokter itu mengangguk sambil menyeruput kopinya.
"Banyak yang katanya pernah melihat sosok lelaki duduk di batu itu. Ada juga pasien yang berhalusinasi bertemu dokter yang sebenarnya tidak pernah ada di rumah sakit ini."
Shavira terdiam. Ia ingat berita beberapa hari lalu—seorang YouTuber ditemukan meninggal di kolam itu.
Apa ini ulah dia juga? gumamnya lirih.
"Maaf, Mbak Vira bilang apa tadi?" tanya Hendri.
Shavira buru-buru menggeleng. "Nggak, dok."
Ia melirik jam tangan. Sudah cukup malam. Ia segera pamit, sambil berterima kasih atas kopi yang diberikan dokter itu.
"Mbak Vira," panggil dokter Hendri tiba-tiba.
Shavira berhenti, menaikkan alis.
"Semangat ya!" katanya sambil mengepalkan satu tangan ke udara.
Shavira terkekeh, ikut mengangkat tangannya. "Makasih, dok."
"Ah iya," tambah dokter Hendri, matanya berbinar, "tiga bulan lagi anak saya lahir."
Shavira ikut tersenyum. "Selamat ya, Dok. Semoga istri dan bayinya sehat selalu."
"Terima kasih. Dan… Mbak Vira harus datang ke acara aqiqah nanti."
Senyum Shavira mendadak meredup. Dadanya terasa sesak.
Bagaimana bisa aku datang, kalau umurku tinggal dua bulan lagi?
Ia buru-buru berpamitan. "Maaf, dok. Saya pulang dulu, takut kemalaman."
Dokter Hendri hanya mengangguk, lalu kembali ke ruangannya.
Di sepanjang jalan pulang, Shavira menatap langit gelap. Malam itu bahkan tak ada bintang, tak ada bulan. Ia memutuskan berjalan kaki menuju halte di depan.
"Vira!"
Langkah Shavira terhenti. Ia menoleh dan terbelalak. Seorang pria paruh baya berlari tergopoh-gopoh ke arahnya—pamannya sendiri, Tono. Wajahnya merah, penuh amarah.
"Anak kurang ajar! Kenapa nggak angkat teleponku, hah!?"
Shavira tidak menjawab. Ia spontan berbalik dan berlari, jantungnya berdegup panik.
Tono mengepalkan tangan, lalu mengejarnya.
Nasib sial, kaki Shavira terkilir. Tubuhnya tersungkur di trotoar. Kesakitan, ia berusaha bangkit tapi tak bisa. Jalanan malam itu sunyi, tak ada seorang pun lewat.
"Hah! Mau lari ke mana lo, hah?"
Tono sudah sampai di hadapannya. Ia meraih sling bag yang dilindungi Shavira erat-erat.
"Kasih sini! Gue butuh duit!"
"Enggak!" Shavira mendekap tasnya erat. "Setelah ngusir aku dari rumah orang tuaku, masih berani-beraninya minta uangku? Paman nggak punya malu!"
"APA LO BILANG!?"
Plak!
Satu tamparan keras mendarat di pipi Shavira. Belum sempat ia menghela napas—plak!—tamparan kedua menyusul. Wajahnya perih, tapi ia tak melepaskan tas itu.
Shavira meringkuk, tubuhnya jadi tameng. "Aku nggak akan kasih! Jangan mimpi bisa ambil uangku lagi!"
"Sialan!" Tono makin murka. Ia menendang tubuh Shavira yang sudah lemah di trotoar. Umpatan kotor meluncur dari mulutnya.
Mata Shavira berair. Nafasnya memburu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain bertahan. Tolong… siapa pun, tolong aku…
Tono melirik sekitar. Pandangannya jatuh pada balok kayu di pinggir jalan. Ia meraihnya, mengangkat tinggi-tinggi.
"MATI LO!"
Tepat saat balok itu hendak menghantam, langit bergetar.
DUARR!
Petir menyambar. Cahaya putih membelah gelap malam.
Tono terhenti, tubuhnya gemetar. Dari arah gelap, muncul sosok lelaki berbadan tegap, berpakaian serba hitam. Rahangnya mengeras, matanya tajam penuh amarah.
Prang! Balok kayu terlepas dari tangan Tono. Seketika, kedua tangannya kaku. Kakinya ikut keram, membuatnya terjatuh di trotoar.
"A-argghhh!" Tono meringis, tubuhnya kejang kesakitan seolah tulang-tulangnya remuk.
Sementara itu, Shavira hanya bisa menatap sosok misterius itu dengan mata melebar. Dadanya berdebar keras—antara takut sekaligus lega.
"Arghh… kakiku… tanganku… sakit sekali!"
Tono berguling di trotoar, meringis sejadi-jadinya.
"Shavira! Tolong aku!" teriaknya putus asa.
Shavira hanya terdiam. Tubuhnya gemetar, ia masih berusaha bangun meski rasa sakit akibat tendangan pamannya tadi masih menghantam. Air matanya menetes, tapi hatinya membatu—bagaimana bisa orang yang barusan hampir membunuhnya meminta pertolongan?
Sosok berpakaian hitam itu berjongkok di depan Tono. Dengan tatapan tajam, ia mencengkeram dagu Tono begitu kuat hingga lelaki itu tak bisa lagi bersuara. Rahangnya terkunci.
"Manusia sialan," suaranya berat, dingin menusuk. "Berani-beraninya kau mencoba membunuh gadis itu?"
Mata Shavira melebar. Nafasnya tercekat. Kata-kata itu seakan menggema di kepalanya.
Lelaki itu menunduk sedikit, mendekat ke wajah Tono. Suaranya merendah, penuh ancaman.
"Hanya aku yang boleh mengambil nyawanya."