CERITA UNTUK ***++
Velove, perempuan muda yang memiliki kelainan pada tubuhnya yang dimana dia bisa mengeluarkan ASl. Awalnya dia tidak ingin memberitahu hal ini pada siapapun, tapi ternyata Dimas yang tidak lain adalah atasannya di kantor mengetahuinya.
Atasannya itu memberikan tawaran yang menarik untuk Velove asalkan perempuan itu mau menuruti keinginan Dimas. Velove yang sedang membutuhkan biaya untuk pengobatan sang Ibu di kampung akhirnya menerima penawaran dari sang atasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Begitu jam makan siang habis, Velove langsung membenahi dirinya, memakai kembali kemejanya yang tadi sempat dia terlepas. Lalu setelah itu dia keluar dari dalam ruang kerja sang atasan, mencari keberadaan OB untuk membersihkan bekas makan siang mereka berdua tadi.
Setelah itu, Velove kembali ke meja kerjanya untuk lanjut bekerja. Di sana sudah ada Naomi yang menyembunyikan kepalanya di lipatan tangan yang ada di atas meja, teman kerjanya itu terlihat sama sekali tidak memiliki semangat untuk bekerja hari ini, Velove dapat memaklumi hal itu karena dirinya pun kadang seperti itu jika sedang diserang nyeri datang bulan.
Perempuan itu menarik kursi kerjanya untuk dia duduki, Velove membuka tasnya yang ada di atas meja untuk mengeluarkan obat yang dia dapat dari rumah sakit. Naomi yang mendengar adanya pergerakan dari sebelah mejanya, lantas mendongakan kepalanya untuk menatap ke arah Velove.
“Baru keluar kamu, Vel?” Tanya Naomi, suara perempuan itu terdengar sangat lesu tidak bersemangat.
“I—iya, tadi disuruh bantuin Pak Dimas cek beberapa berkas dulu.” Velove mencoba untuk menutupi hal yang sebenarnya terjadi di dalam ruang kerja Dimas, tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya pada teman kerjanya itu.
“Ohhh… itu obat apa?” Tanya Naomi saat dirinya melihat obat yang baru saja dikeluarkan oleh Velove dari dalam tasnya.
Diberi pertanyaan seperti itu oleh Naomi membuat Velove terdiam sebentar untuk mencari jawaban yang cocok untuk dia berikan pada teman kerjanya itu, karena tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya tentang obat tersebut.
Velove kemudian menunjukan obat yang ada di tangannya itu pada Naomi. “Eumm ini cuma vitamin biasa, kemaren kan aku sempet nggak enak badan.” Perempuan itu terpaksa berbohong pada temannya.
“Aku boleh minta gak? Siapa tau abis minum vitamin badan aku agak enakan.”
Mendengar ucapan Naomi, Velove sontak segera membalasnya. “Nggak! Eh itu—maksud aku jangan, soalnya ini vitaminnya harus sesuai sama resep dokter gitu.” Velove mengucapkannya dengan tergagap.
“Ohh gitu, ya udah deh nanti abis pulang kantor aku mampir aja ke apotek.” Balas Naomi.
Huh, Velove dapat menghela napasnya lega. Untung saja Naomi tipe orang yang percaya-percaya saja dengan apa yang dia katakan, jadi Velove tidak perlu pusing-pusing mencari jawaban lain jika temannya itu kembali bertanya.
“Vel, di kostan kamu masih ada kamar kosong nggak?” Naomi yang ada disebelahnya itu kembali bertanya.
Velove lantas menengokan kepalanya menatap ke arah Naomi. “Nggak ada deh kayaknya udah keisi semua, kenapa emangnya?” Perempuan itu balik bertanya soal alasan kenapa Naomi menanyakan hal tersebut.
“Aku mau pengen pindah kostan, yang lebih deket ke kantor.” Balas Naomi seraya kembali menjatuhkan kepalanya pada lipatan tangannya yang ada di atas meja.
“Bukannya kostan kamu juga lumayan deket ya ke kantor?”
“Iya juga sih, tapi aku kayak kurang nyaman di situ.”
“Nggak nyaman kenapa? Bukannya kamu udah lumayan lama ngekost di sana?” Velove bertanya dengan penuh rasa penasaran.
Naomi di tempatnya mengangguk menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Velove. “Iya, cuma sekarang ada penghuni baru di sebelah kamar aku berisik banget, bikin aku gak nyaman.” Teman kerja Velove itu mengeluh dengan raut wajah lesunya.
“Coba kamu tanyain ke Mas Gino deh, dia kan kostannya deket sini, siapa tau masih ada kamar yang kosong.” Velove mencoba untuk memberi saran.
“Aku pengennya kostan khusus cewek aja, nggak mau yang campur lagi.”
Ah, memang benar kostan yang Velove tempati saat ini hanya khusus perempuan. Berbeda dengan kostan Naomi dan juga Gino yang tinggal di kostan campur. Maka dari itu Naomi menanyakan soal kostan pada Velove, karena dia tahu kalau Velove tinggal di kostan khusus perempuan.
“Hem gitu ya, ya udah nanti kamu coba tanyain aja sama anak divisi lain, siapa tau ada.” Velove kembali memberikan saran.
“Iya nanti aku—“
“Saya nggak gaji kalian cuma buat ngobrol gini.” Suara itu tiba-tiba menyela obrolan kedua perempuan itu.
Kalimat Naomi terhenti ketika tiba-tiba Dimas berjalan di depan kubikel mereka, sepertinya lelaki itu hendak menuju ke tempat kopi yang ada di sana. Hal itu sontak membuat kedua perempuan itu terdiam di tempatnya, sedangkan Dimas sudah berlalu begitu saja setelah mengatakan hal itu.
“Ya ampun, bos kamu udah kayak jelangkung aja.” Naomi berucapa dengan berbisik agar tidak terdengar oleh orang yang dia maksud alias Dimas.
“Itu kan bos kamu juga, Nao kalau kamu lupa.” Balas Velove yang merasa tidak terima dengan apa yang teman kerjanya itu ucapkan.
“Hehehe iya juga sih.” Dengan wajah tidak bersalah Naomi cengengesan di tempatnya.
“Udah ah balik kerja lagi, takut Pak Dimas udah balik lagi ke sini tapi masih liat kita ngobrol.”
Ucapan dari Velove itu disetujui oleh teman kerjanya, mereka kemudian kembali bekerja dengan fokus menatap layar laptop di depannya sambil sesekali memperhatikan berkas yang ada di atas meja.
Kedua perempuan itu terlihat menahan napas saat melihat Dimas yang sudah kembali dari tempat kopi, melewati kubikel mereka dengan tatapannya yang dingin.
Sebenarnya ini adalah pemandangan yang biasa, hanya saja para karyawan di sana masih belum terbiasa dengan sosok Dimas yang seakan mengintimidasi itu. Entah kenapa setiap lelaki itu muncul, pasti suasana di sekitarnya berubah menjadi dingin.
Waktu terus berlalu, hingga akhirnya jam pulang kerja yang seluruh karyawan tunggu-tunggu datang juga. Naomi yang ada di sebelah Velove sudah sibuk membereskan mejanya dan juga memasukan barang-barang miliknya ke dalam tas.
Tadi Velove sudah melihat sang atasan yang berlalu begitu saja melewati kubikelnya, lelaki itu sudah keluar terlebih dulu menuju basemen kantor tempat mobilnya biasa terparkir.
“Vel, kita makan di luar yuk. Sekalian refreshing, aku tiba-tiba pengen makan sushi.” Ajak Naomi yang kini sudah siap untuk pulang.
Velove lantas menatap ke arah teman kerjanya itu dengan pandangan sedih yang dia buat-buat. “Duh maaf Nao aku lagi nggak bisa, aku kayaknya lembur malem ini, masih ada kerjaan soalnya. Kamu ajak Mas Gino atau Mas Dewa aja.”
Tentu saja Velove berbohong soal itu, pekerjaannya bahkan sudah hampir selesai. Alasan dia berbohong karena memang dirinya harus pulang bersama dengan Dimas.
“Yahh padahal aku pengennya pergi sama kamu, ya udah deh kapan-kapan aja kita pergi bareng.” Balas Naomi dengan raut wajah yang kecewa.
“Maaf ya, aku lagi nggak bisa.” Balas Velove dari tempatnya.
Naomi yang mendengar hal itu lantas menganggukan kepalanya. “Santai aja gapapa, nanti aku ajak Mas Gino atau Mas Dewa aja. Kalo gitu aku duluan ya, Vel.” Ucap perempuan itu seraya keluat dari kubikelnya dan berjalan di depan kubikel Velove.
“Iya Nao, hati-hati.” Velove mengatakan hal itu seraya melambaikan tangannya.
Melihat punggung Naomi yang semakin menjauh dari pandangannya, Velove kembali menyelesaikan pekerjaannya yang sebentar lagi akan selesai, dia tidak ingin membuat sang atasan menunggu dirinya lebih lama lagi di basemen.
Sebenarnya Velove sangat ingin keluar bersama dengan Naomi dan makan bersama temannya itu, hanya saja dirinya teringat kalau sekarang dia sudah terikat sebuah kontrak dengan sang atasan yang membuat dirinya tidak bisa seenaknya main keluar begitu saja, lelaki itu pasti akan marah padanya dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Mau bagaimanapun lelaki itu sudah banyak membantu dirinya.
Begitu selesai dengan pekerjaannya, Velove langsung membereskan mejanya dan juga memasukan barang-barang yang perlu dia bawa pulang ke dalam tas. Setelah itu Velove segera membawa langkah kakinya untuk masuk ke dalam lift dan menuju ke lantai basemen.
Sesampainya di basemen, perempuan itu langsung berjalan ke arah mobil hitam milik Dimas yang terparkir di sana. Velove langsung masuk ke dalam mobil itu dan mendapati Dimas yang wajahnya terlihat kelelahan di sana.
“Maaf ya Pak nunggu lama.” Ucap Velove dengan perasaan tidak enak seraya memasang sabuk pengaman.
Mendengar ucapan sang sekretaris, Dimas hanya mengangguk sekilas. Lalu lelaki itu menyalakan mesin mobilnya dan melajukan mobil hitam itu untuk keluar dari area basemen.
“Malam ini kamu mau makan apa?” Tanya Dimas ketika mereka baru saja memasuki jalan raya.
“Saya ikut maunya Pak Dimas aja.” Ucap Velove.
“Jangan apa-apa ikut mau saya, kamu pilih sendiri mau makan malem pake apa.” Lelaki itu membalas dengan nada bicara yang terdengar tidak senang.
Velove di tempatnya berpikir sejenak, tiba-tiba di kepalanya terlintas sushi karena tadi Naomi sempat mengajaknya untuk memakan itu.
“Kalo sushi aja gimana, Pak?” Perempuan itu meminta persetujuan Dimas karena takut lelaki itu tidak akan menyukainya.
“Oke, mau sushi yang dimana?”
Perempuan itu kembali berpikir sejenak, mencari tempat yang cocok untuk keduanya makan sushi. Velove berpikir untuk tidak memilih tempat yang dekat dengan kantor karena kemungkinan dirinya bisa saja bertemu dengan Naomi jika memang temannya itu jadi makan sushi sore ini.
“Yang dimana aja, asal jangan yang deket sama kantor.” Jawab Velove.
Ucapan Velove itu lantas membuat Dimas mengernyitkan dahinya bingung. “Emang kenapa kalo deket kantor?”
“Takut ketemu sama Naomi, tadi dia ngajak saya makan sushi tapi saya tolak pake alasan lembur.” Perempuan itu mengatakan alasan yang sebenarnya seraya menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal.
Dimas di tempatnya hanya membentuk mulutnya seperti huruf O, lelaki itu kemudian kembali memfokuskan dirinya mengendarai mobil hitamnya membelah jalanan ramai sore ini. Sesuai dengan permintaan sang sekretaris, Dimas benar-benar mencari tempat makan sushi yang cukup jauh dari kantor, tapi tidak begitu jauh jika dari apartemennya, itu agar mereka tidak pulang kemalaman nantinya.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh dari kantor, akhirnya mobil hitam itu terparkir di sebuah pusat perbelanjaan yang di dalamnya terdapat restoran sushi. Dimas dan juga Velove segera keluar dari dalam mobil, perempuan itu membiarkan sang atasan jalan terlebih dulu dan dirinya mengikuti dari belakang.
Tapi tiba-tiba langkah Dimas yang ada di depannya terhenti dan lelaki itu menoleh ke belakang dimana Velove berada. “Jalan di sebelah saya.” Ucapnya.
“Ya?” Velove yang belum bisa memahaminya lantas sedikit terkejut.
“Sekarang udah bukan jam kantor, jalan di sebelah saya.” Ucapan Dimas itu terdengar seperti sebuah perintah.
Mendengar perintah dari Dimas, Velove lantas membawa langkahnya untuk menyeimbangkannya dengan langkah milik lelaki itu.
Sebelumnya Dimas tidak pernah seperti ini, entah itu saat jam kantor ataupun di luar jam kantor, lelaki itu seakan tidak peduli dengan keberadaan Velove yang selalu ada di sekitarnya, maka dari itu Velove cukup terkejut mendengar permintaan dari sang atasan barusan.
Kedua orang itu kini melangkah beriringan masuk ke dalam pusat perbelanjaan yang mereka datangi, lalu mereka naik menggunakan eskalator menuju lantai dimana tempat restoran sushi itu berada.
Baru saja mereka hendak masuk ke dalam restoran itu, mata Velove sudah terlebih dulu menangkap keberadaan Naomi, Gino, Dewa dan juga satu orang lainnya yang Velove tahu berasal dari divisi pemasaran.
“Eh—eh Pak tunggu.” Perempuan itu segera menahan langkah Dimas dengan menarik lengan lelaki itu membuat Dimas terhenti di tempatnya.
“Kita makan di tempat lain aja yuk, Pak.” Ajak Velove, tanpa perempuan itu sadari jika tangannya masih berada di lengan sang atasan.
Dimas lantas mengernyitkan dahinya kebingungan, lelaki itu juga menyadari tangan milik sang sekretaris yang masih bertengger di lengannya, tapi Dimas memilih untuk membiarkan hal itu. “Kenapa? Katanya mau makan sushi.”
“Eum itu… saya tiba-tiba pengen makan yang lain, kita cari restoran lain aja yuk, Pak.” Ajak Velove dengan tangan yang menarik lengan lelaki itu agar menjauh dari restoran sushi tadiz
Perempuan itu tidak ingin teman-teman kantornya yang lain mengetahui kalau saat ini dia sedang bersama dengan Dimas, apalagi tadi dirinya sudah beralasan lembur hari ini pada Naomi, dia tidak ingin teman-teman kerjanya menaruh rasa curiga.
“Oke-oke kita cari restoran lain. Mau pindah Mall atau tetep di sini?” Tanya lelaki itu.
“Di Mall ini aja gapapa, asal jangan makan sushi.” Jawab Velove.
Sebenarnya Velove ingin berpindah ke Mall lain, tapi perempuan itu merasa tidak enak jika harus merepotkan lelaki itu lagi. Maka dari itu sekarang mereka berdua kembali berjalan beriringan untuk mencari restoran lain yang masih ada di dalam Mall itu. Tapi, Velove merasa saat ini ada yang aneh.
Mata perempuan itu membelalak ketika melihat tangannya yang masih bertengger di lengan sang atasan, sontak Velove langsung melepaskan tangannya itu dari lengan Dimas. “Ya ampun, Pak! Pak Dimas maaf saya gak sadar tadi.”
Dengan wajah yang penuh penyesalan Velove meminta maaf pada lelaki itu atas tindakan lancangnya, perempuan itu benar-benar tidak sadar jika dari tadi mereka bergandengan menjauh dari restoran sushi tadi.
Dimas hanya menganggukan kepalanya sekilas, lantas mereka kembali melangkah mencari restoran yang cocok. Sedangkan Velove masih merasa tidak enak dan berpikir kalau Dimas pasti sedang marah padanya karena telah lancang.
Kini Velove dan juga Dimas berada di salah satu restoran khas nusantara, Velove yang memilih tempat itu karena dia tidak ingin mencari tempat yang lainnya lagi. Mereka memesan beberapa menu yang ada di sana dan duduk di salah satu meja yang masih kosong di dalam restoran itu.
“Besok jadwal saya apa aja?” Tanya Dimas saat keduanya sedang menunggu pesanan yang tadi mereka pesan datang.
Mendengar pertanyaan itu membuat Velove membuka tas miliknya untuk mengeluarkan tabletnya dari dalam sana. “Sebentar Pak.” Ucap perempuan itu seraya menggulir layar di depannya.
“Oh iya, saya lupa. Pak Dimas besok ternyata ada jadwal ke Bandung, ada pertemuan sama investor yang ada di sana.” Balas sekretaris lelaki itu.
Velove lupa jika atasannya itu besok akan ada jadwal ke luar kota, andai saja perempuan itu mengingatnya, dia pasti tidak akan mengajak Dimas makan di luar agar bisa pulang lebih cepat.
“Berapa hari?” Lelaki itu kembali bertanya.
“Cuma dua hari, Pak. Itupun hari kedua cuma sampe siangnya aja.” Balas Velove seraya mematikan kembali tablet miliknya dan kembali memasukannya ke dalam tas.
“Pak Dimas mau berangkat sendiri atau disupirin sama Pak Tono? Biar nanti saya telepon Pak Tono supaya dateng lebih pagi besok.” Tanya perempuan itu pada sang atasan yang ada di depannya.
“Saya bawa mobil saya sendiri aja, kamu ikut.” Ucap Dimas.
Perempuan itu hanya bisa mengiyakan karena memang itu sudah menjadi bagian dari tugasnya, ikut kemanapun Dimas pergi jika itu berurusan dengan kantor, kecuali lelaki itu sendiri yang melarangnya untuk ikut.
“Baik Pak, nanti di apartemen saya bantu packing barang bawaan punya Bapak.”
Tidak lama dari itu pesanan mereka sudah datang, seorang pramusaji menyajikannya di atas meja. Setelah pramusaji tadi pergi dari sana, Dimas dan juga Velove mulai memakan makanan mereka masing-masing.
Sesekali kegiatan makan malam itu diisi dengan obrolan-obrolan kecil soal pekerjaan ataupun diluar soal kerjaan, lelaki itu juga sempat bertanya soal kondisi Ibu Velove yang perempuan itu jawab sesuai dengan informasi yang dia dapatkna dari sang adik.