Cerita ini untuk pembaca dewasa. Baca dengan bijak❗
Cherry Gabriella mengambil satu keputusan nekat yang mengubah seluruh hidupnya, menjadi ibu pengganti bagi pewaris berhati dingin, Trevor Spencer.
Namun, ketika bayi mungilnya lahir, Cherry tak sanggup menyerahkan darah dagingnya, meski harus diburu oleh pria yang bisa membeli segalanya… bahkan nyawanya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
“Sebentar lagi ulang tahunmu yang kedua, sayang. Waktu cepat sekali, ya,” ucap Cherry sambil tersenyum menatap anaknya.
“Aku lihat nilaimu. Kau gagal satu mata kuliah,” suara Trevor terdengar dingin.
Cherry langsung menoleh. Benar juga. Hari itu pikirannya melayang gara-gara ucapan Erika. Ia kira jawabannya benar, tapi ternyata ada satu lembar penuh yang salah karena ia melamun.
Ia sempat berusaha menyembunyikan nilai itu, tapi tetap saja Trevor tahu. Tidak heran. Hari pertama kuliah saja dosen langsung mendekatinya, bilang Trevor yang memberi kabar bahwa Cherry akan masuk. Bisa jadi dosen itu pula yang memberi tahu. Apalagi, baru-baru ini Cherry mendengar nama keluarga Trevor termasuk investor di kampus ini.
Cherry menidurkan Arnold di ranjang bayinya, memberikan mainan favoritnya agar ia tenang. “Aku akan perbaiki semester depan. Waktu ujian aku sempat terdistraksi, jadi melamun,” jelasnya.
“Kau terganggu. Katakan apa yang mengganggumu,” perintah Trevor.
“Jangan berpikir ini karena Adrian, atau hadiah-hadiah Valentine dari cowok-cowok kampus,” ujar Cherry cepat.
“Kalau bukan itu, lalu apa?” Trevor menyilangkan tangan, menaikkan alis menuntut jawaban.
Cherry memejamkan mata rapat-rapat. “Tolong jangan marah. Itu hanya terjadi sekali. Aku janji tidak akan terulang lagi.”
“Katakan saja,” desaknya. “Katakan, perempuan.”
Cherry menggigit bibir. “Jangan paksa aku.”
“Katakan, atau--”
“Kau!” Cherry berseru. “Waktu itu aku memikirkanmu.”
Dahi Trevor berkerut. “Kenapa kau memikirkanku?”
Cherry menarik napas panjang. “Temanku, Erika, bilang sesuatu tentang ibu pengganti.”
“Jadi dia tahu?” suara Trevor menajam.
“Aku memang cerita. Tapi aku percaya dia tidak akan menyebarkannya.”
“Apa yang dia katakan?”
“Bahwa dalam surrogate sebenarnya tidak perlu berhubungan intim.”
Tatapan Trevor langsung menyipit. “Lalu?”
“Aku jadi bertanya-tanya… kalau memang tidak perlu, kenapa kita melakukannya? Kau tahu soal itu, atau kita sama-sama tidak tahu?”
“Menurutmu?”
Cherry menghela napas lega. “Kupikir kita berdua memang tidak tahu. Yang kita tahu hanya dengan cara itu bisa punya bayi, jadi…”
“Tsk. Aku tahu.”
Cherry terperanjat. “Apa?”
“Aku tahu bagaimana surrogate bekerja.”
Cherry menatapnya tak percaya. “Kalau begitu… kenapa?”
“Aku memang mau.”
Cherry menutup mulutnya, terkejut bukan main. “Jadi kau sengaja mengambil keperawananku?”
“Tidur. Kau masih ada kelas besok,” jawab Trevor datar, lalu berbalik pergi.
Cherry masih terpaku, tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar.
**
Malam itu Cherry gelisah. Ia tidak bisa tidur nyenyak, dan paginya bangun dengan lingkar mata jelas.
“Bagaimana tidurmu?” tanya Trevor tenang.
Tebal sekali muka pria ini. Masih sempat-sempatnya bertanya! Apa dia tidak melihat jelas wajahku?
“Tidak nyenyak,” jawab Cherry.
“Kenapa? Masih memikirkan apa yang kukatakan semalam?”
“Tidak. Aku belajar banyak semalam, jadi kurang tidur,” bohong Cherry.
“Berhenti memikirkannya,” ucap Trevor datar.
“Andai semudah itu,” batin Cherry.
“Edwin itu pengacara kan?” Cherry cepat-cepat ganti topik.
“Kenapa?”
“Ada beberapa bagian hukum yang sulit kupahami. Boleh aku minta nomornya? Supaya bisa bertanya langsung?”
“Kapan kau butuh dia?”
“Aku tidak akan sering-sering, cukup saat dia sedang senggang saja.”
“Aku yang akan hubungi dia.”
“Terima kasih,” Cherry tersenyum kecil.
**
Hari itu ulang tahun Arnold. Ruang tamu penuh dekorasi sederhana. Yang hadir hanya mereka, para pelayan, Trevor, dan Edwin.
“Papa,” ucap Arnold sambil merentangkan tangan.
Trevor segera menggendongnya, sementara Cherry menyiapkan makanan.
“Waktu cepat sekali. Anak baptisku sudah dua tahun,” kata Edwin.
“Iya, cepat sekali,” sahut Cherry.
“Hahaha, mungkin karena itu sebentar lagi dia dapat adik,” goda Edwin.
Cherry menoleh tajam.
“Diam!” bentak Trevor.
“Peace,” Edwin mengangkat tangan tanda damai.
“Ayo makan,” ajak Cherry.
“Tapi bayangkan kalau Baby Arnold minta adik perempuan nanti? Hahaha--”
“Keluar!” Trevor membentak lagi.
“Maaf, maaf. Tidak akan ulangi,” ujar Edwin buru-buru.
“Makan,” ujar Arnold polos.
Cherry tersenyum, menyodorkan minuman untuk putranya.
“Ganteng sekali baby boy-ku,” ujarnya penuh cinta.
“Mirip banget sama papa-nya. Kayak kembar. Kalau penembaknya jitu, wajar lah mirip,” ledek Edwin.
Trevor menatapnya tajam lagi.
**
Hari berakhir, Arnold sudah tidur. Cherry membantu membereskan sisa pesta kecil itu.
“Biar pelayan yang bereskan,” kata Trevor.
Cherry mengangguk. “Terima kasih.”
“Tidur. Besok kau masih ada kelas.”
Cherry naik ke kamarnya.
Hari-hari berikutnya, Cherry menyadari Trevor semakin sibuk. Kadang lembur di kantor, dan kalau pun pulang, hanya sempat melihat Arnold sebentar lalu kembali ke ruang kerjanya di rumah.
Edwin bilang, Trevor sedang menggarap proyek besar, lebih besar dari biasanya. Tekanannya pun dua kali lipat.
Cherry tidak mengerti dunia bisnis, jadi tidak bertanya lebih jauh. Tapi ia bisa membayangkan, kalau bukan karena Arnold, mungkin Trevor bahkan tidur di kantornya.
**
“Kopi,” Cherry menaruh secangkir di meja Trevor.
Trevor menatapnya, melepas kacamata anti radiasinya.
“Bagaimana Arnold?” tanyanya.
“Sudah tidur.”
“Kau juga harus tidur. Sudah lewat tengah malam.”
“Tidak apa-apa. Besok aku tidak ada kelas. Kau juga harus istirahat,” kata Cherry.
“Nanti,” jawab Trevor singkat, tangannya memegang kening.
Kepalanya sakit?
“Mau obat?” tanya Cherry.
“Pergi saja.”
“Aku bisa pijat,” ujar Cherry pelan.
Ia berdiri di belakang Trevor, meletakkan jemari di sisi pelipisnya lalu memijat perlahan. Salah satu pekerjaan paruh waktu Cherry dulu memang tukang pijat, jadi tangannya sudah terlatih.
Beberapa menit kemudian Trevor terlelap. Cherry mengambil selimut, menyelimutinya, lalu keluar dari ruang kerja.
**
Pagi harinya Cherry bangun lebih awal. Ia rindu memasak, jadi turun ke dapur.
“Papa…” suara lembut Arnold terdengar dari baby bouncer.
Cherry mendekat, menyeka air liurnya. “Papa masih tidur, nanti kita cari dia ya,” katanya sambil menggendong putranya.
“Kenapa kau memasak? Di mana para pelayan?” suara berat Trevor mengejutkan dari belakang.
Cherry hampir kehilangan keseimbangan, untung Trevor sigap menahan tubuhnya. Untuk beberapa detik, pinggangnya berada dalam genggaman pria itu.
“Terima kasih,” ucap Cherry buru-buru menjauh.
“Hati-hati. Jangan membahayakan anakku,” tegur Trevor dingin.
Cherry menunduk. “Maaf. Tidak akan terulang.”
“Apa yang kau masak?” tanyanya.
“Lasagna. Kau lapar?”
Trevor tidak menjawab. Ia hanya mencium kening Arnold lalu duduk di kursi, tanda ingin makan.
“Makan,” ucap Arnold polos.
Cherry tertawa kecil, memberinya susu.
“Lasagna-nya belum matang. Untuk sekarang aku siapkan leftover roasted chicken dari pelayan,” kata Cherry.
“Tidak usah. Aku tunggu. Santai saja,” jawab Trevor sambil menggendong Arnold.
“Hoi, wangi sekali. Apa itu?” Edwin tiba-tiba muncul.
“Lasagna,” jawab Cherry.
“Favoritku!” Edwin sumringah.
“Sebentar lagi matang. Duduklah, sarapan bersama kami,” ajak Cherry ramah.
“Bagus, aku memang belum sarapan. Selamat pagi, Baby Arnold Spencer,” sapa Edwin sambil duduk.
“Apa yang kau lakukan di sini, Edwin?” suara Trevor terdengar ketus.
“Wah, jangan marah dulu. Aku ke sini untuk antar kontrak yang kau minta. Sudah ada otorisasi hukum,” Edwin menyerahkan amplop.
Cherry meletakkan loyang lasagna di meja lalu menggendong Arnold untuk menyuapinya. Ia memang sengaja masak itu agar Arnold bisa makan juga.
“Iri aku sama Baby Arnold. Ada yang nyuapin,” goda Edwin.
Cherry melirik. “Kau sudah besar, masih mau disuapin?”
“Aku cuma kangen,” sahut Edwin pura-pura serius.