Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Kau, Aku, dan Anak Itu
Jordan kini menatap Leon yang tengah menikmati es krim coklat. Bocah laki-laki tersebut terus mengayunkan kakinya. Sesekali dia bersenandung seolah melupakan hari buruk yang terjadi sebelumnya.
"Enak?" tanya Jordan sambil bertopang dagu menatap Leon.
Leon menoleh sekilas dan mengangguk. Sebuah senyum lebar kini terukir di bibir bocah lelaki tersebut. Jordan yang gemas langsung mencubit pipi Leon, hal itu tentu membuatnya mengerucutkan bibir.
"Astaga, sifatmu sangat mirip dengan ibumu!" ujar Jordan sambil terkekeh.
"Tapi, kenapa wajahmu sama sekali tidak mirip dengannya? Kamu juga tidak mirip dengan ayahmu," gumam Jordan sambil mengusap dagu.
"Ayah?" tanya Leon dengan alis saling bertautan.
"Iya, kamu dengan Noah sama sekali tidak mirip!" seru Jordan sambil terkekeh.
"Paman Noah bukan ayahku!" celetuk Leon sambil kembali menyuapkan es krim ke dalam mulutnya.
Jordan terbelalak seketika. Dia menatap Leon dengan tatapan penuh keterkejutan. Ternyata selama ini Jordan telah dibodohi oleh Noah dan Laura.
Entah mengapa keyakinan Jordan semakin besar mengenai status Leon sebagai putranya. Meski hasil tes DNA menunjukkan hal berbeda, Jordan justru meragukannya. Dia saat ini kembali mempercayai instingnya.
"Kalau begitu, ayo kita kembali. Aku takut ibumu akan semakin marah kepadaku karena membawamu pergi diam-diam lagi!"
"Maka kali ini aku akan membela Paman! Mama tidak boleh terus marah-marah!" ujar Leon sambil menepuk dadanya jemawa.
Jordan terkekeh, lantas mengacak rambut bocah lelaki tersebut. Dia pun langsung menggendong Leon. Keduanya kembali ke pos satpam.
Dari kejauhan Jordan bisa melihat jelas kalau Laura tampak sedang bersitegang dengan satpam. Lelaki tersebut pun mempercepat langkahnya dan bisa mendengarkan perdebatan keduanya. Dengan bangga dan tanpa keraguan, kali ini Jordan mengaku sebagai kerabat Laura dan Leon.
"Kamu jangan ngaco, Jordan!" ujar Laura sambil menatap tajam lelaki tersebut.
"Aku nggak ngaco, Laura! Sekarang kamu ikut aku dan menjelaskan semuanya!"
"Leon, ayo sini!" Laura mendekati Leon sambil berusaha mengambil alih tubuh mungil putranya.
Namun di luar dugaan, Leon justru mempererat pelukannya pada leher Jordan. Berkat hal itu Jordan tersenyum penuh kemenangan sambil mengangkat sebelah alisnya. Di lain sisi Laura memegangi dahi dengan satu tangan berkacak pinggang.
"Sepertinya ada pertengkaran antara suami-istri, silakan diselesaikan, saya harus kembali bekerja." Sapno tersenyum simpul kemudian kembali ke pos satpam.
"Kami bukan ...." Belum sempat Laura melanjutkan ucapannya, Jordan langsung membungkam bibir sang mantan kekasih.
"Terima kasih, Pak! Kami akan menyelesaikan semuanya!" ujar Jordan.
Jordan menarik Laura masuk ke mobilnya. Kini mereka duduk dalam mobil dengan Leon duduk di kursi belakang. Laura melipat lengan di depan dada sambil mengerucutkan bibir.
"Aku antar pulang. Kita bicarakan semuanya hingga jelas."
"Nggak perlu! Nggak ada yang perlu dibicarakan! Sebaiknya kita pulang ke rumah masing-masing! Lagi pula aku harus segera kembali ke kantor setelah ini. Proyek kita sebentar lagi memasuki deadline!" tolak Laura tegas tanpa menoleh ke arah Jordan.
"Aku bosnya! Kamu harus nurut! Kamu akan pulang cepat hari ini, jadi biarkan aku mengantarmu pulang. Tolong jangan keras kepala."
Laura memutar bola matanya. Dia kali ini tak bisa menolak lagi. Pintu mobil sudah dikunci, sehingga perempuan tersebut tidak bisa keluar dari sana dengan cara paksa.
Akhirnya mau tak mau Laura menunjukkan jalan menuju apartemennya. Sesampainya di apartemen, Leon sudah terlelap. Jordan menggendong Leon dengan hati-hati.
Bocah itu terlelap, pipinya mengembung lucu karena sisa es krim yang belum sempat dibersihkan. Laura yang berjalan di depan membuka pintu apartemen mereka sambil sesekali menoleh memastikan Jordan tidak menjatuhkan putranya.
“Letakkan di kamarnya,” ujar Laura singkat, menunjuk ke arah pintu pertama di kanan.
Jordan mengangguk tanpa bicara, lalu melangkah masuk dan dengan hati-hati merebahkan tubuh mungil itu di tempat tidur. Ditatapnya wajah polos yang tertidur nyenyak itu selama beberapa detik—seakan tak percaya bocah ini mungkin benar-benar darah dagingnya.
Ketika Jordan keluar dari kamar, Laura sudah berdiri di depan dapur kecil, menuangkan air ke dalam gelas. Dia menyerahkannya kepada Jordan tanpa berkata apa-apa. Pria itu menerimanya dan suasana mendadak canggung.
“Aku … terima kasih,” kata Jordan, suaranya lebih pelan dari biasanya.
Laura mengangguk sedikit. “Jangan pikir kamu bisa menginterogasi aku sekarang.”
Jordan menghela napas, menatap Laura lekat-lekat. “Aku nggak mau interogasi kamu, Laura. Aku cuma ingin tahu ... kenapa? Kenapa kamu nggak bilang kalau ....”
Laura menghindari tatapannya, mengambil duduk di sofa kecil dekat jendela. “Karena semua sudah terjadi. Aku tahu kamu akan tetap memilih Leysha waktu itu. Apa gunanya aku muncul dan bilang aku hamil?”
Jordan berjalan pelan ke arahnya, duduk di sisi lain sofa. “Aku salah, aku tahu. Tapi aku berhak tahu tentang anakku.”
“Anak kita,” koreksi Laura tajam, lalu cepat-cepat menambahkan, “dan kamu nggak punya hak menuduh aku diam-diam. Waktu itu aku cuma seorang perempuan yang hancur ... yang harus pergi untuk bisa hidup.”
Keheningan menyergap lagi. Jordan menyandarkan kepala di sofa sambil menatap langit-langit. Laura menunduk, memainkan jari-jarinya yang saling bertaut.
Jordan tertawa pelan, getir. “Leon benar-benar nggak mirip Noah. Matanya... cara dia tersenyum ... itu seperti melihat diriku sendiri waktu kecil.”
Laura melirik sekilas, tapi cepat-cepat membuang muka. “Itu cuma kebetulan.”
“Tapi kamu juga tahu, kan, hatimu tahu.”
Laura berdiri mendadak, berjalan ke arah jendela dengan tangan bersedekap di dada. “Kalau kamu datang hanya untuk mengklaim sesuatu yang bahkan kamu tinggalkan sejak awal, maka kamu salah datang.”
Jordan menyusul, berdiri di belakangnya dengan jarak yang terlalu dekat. “Aku datang karena aku mencintaimu, Laura. Dan ... aku ingin memperbaiki semuanya. Meski kamu marah, meski kamu benci, aku ingin ada di hidup kalian.”
Laura mematung. Hatinya berkecamuk. Ucapan Jordan seperti badai yang datang terlalu mendadak. Ketika dia berbalik, mata mereka bertemu.
“Aku nggak tahu ... apakah aku masih bisa percaya padamu,” ucap Laura dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Jordan mengangkat tangannya, menyentuh pipi Laura dengan lembut. “Coba sekali lagi, Laura. Kita mulai dari awal.”
Beberapa detik, hanya detik, wajah mereka semakin mendekat. Laura bisa mencium aroma maskulin khas Jordan yang dulu begitu dia rindukan. Lalu...
Ceklek.
Suara pintu depan membuat keduanya langsung menjauh, seperti anak sekolah yang tertangkap guru. Laura buru-buru mengambil gelas dari meja, berpura-pura minum. Jordan melangkah menjauh ke arah dapur.
Dari balik pintu, muncul sosok tinggi dengan wajah datar yang sudah tak asing lagi—Noah.
Pria itu menatap keduanya dengan tatapan mencurigakan. Dia membawa tas dan beberapa dokumen di tangannya, matanya langsung tertuju pada Jordan yang berdiri terlalu nyaman di apartemen Laura.
“Aku nggak tahu ini rumahmu juga, Jordan,” sindir Noah dingin.
Jordan mengangkat satu alis. “Aku juga baru tahu kamu masih suka masuk seenaknya.”
“Aku punya kunci,” balas Noah singkat, sebelum akhirnya menoleh ke Laura. “Apa aku datang di waktu yang salah?”
Noah melakukan itu untuk menolongmu
Ayo Jo semangat...ada Laura yang akan mendukungmu dengan ide2 nya
hmmm....adik Leon otewe nih🤭