NovelToon NovelToon
Terjerat Cinta Ceo Impoten

Terjerat Cinta Ceo Impoten

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Obsesi
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Nona_Written

"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"

**

Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.

bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..

jangan lupa Follow ig Author
@nona_written

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

9 menandai wilayah

Pagi itu, hujan turun tipis di kota. Langit tampak kelabu, seperti mencerminkan hati Zhavira yang masih berat sejak malam tadi. Ia berdiri di depan cermin, merapikan blouse putih yang tinggi di kerah untuk menutupi bekas merah di lehernya. Bekas ciuman Makes. Bukti nyata dari ego dan ketakutan pria itu.

Ia mendesah pelan. Mata sembab karena tidak bisa tidur semalaman. Emosinya masih tersisa, namun ada rasa hampa yang lebih mendominasi. Zhavira sudah lelah marah. Dan lebih lelah lagi mencoba mengerti perasaan pria yang bahkan tak pernah benar-benar terbuka padanya.

Baru saja ia menyampirkan blazer hitam ke pundaknya, ponselnya berdering, menandakan ada pesan masuk.

Makes

'Aku di bawah.'

Zhavira mengintip lewat jendela.

Mobil hitamnya terparkir di depan gerbang apartemen, dan pria itu berdiri bersandar pada bodi mobil, mengenakan coat panjang berwarna abu dan scarf tipis melingkar di lehernya. Tatapan matanya terangkat ke arah jendela Zhavira seolah tahu bahwa ia sedang dilihat.

Zhavira menelan ludah. Biasanya, mereka akan bertemu langsung di kantor, atau jika pun bersama, Zhavira yang diminta naik ke mobil Makes dari lobi kantor. Tapi pagi ini, dia menjemput?

Dengan langkah ragu, Zhavira turun ke bawah. Hatinya masih menggantung. Sesaat ia bahkan berharap pria itu membatalkan niatnya dan pergi.

Namun Makes tetap berdiri di sana, membuka pintu mobil begitu melihat Zhavira mendekat. Tak ada senyum. Hanya tatapan intens dan tenang, tapi mengandung makna yang tidak bisa Zhavira pahami seutuhnya.

Begitu masuk dan duduk di dalam, mobil melaju tanpa sepatah kata pun dari mereka.

Beberapa menit keheningan menyelimuti. Hanya suara rintik hujan dan mesin mobil yang terdengar. Sampai akhirnya, Makes bicara.

“Aku tidak suka pria itu,” ujarnya tiba-tiba.

Zhavira menoleh. “Gio?”

“Siapa lagi kalau bukan dia?” gumam Makes, menahan rahangnya. “Dia datang ke apartemenmu semalam. Tengah malam. Apa menurutmu itu pantas?”

Zhavira menggertakkan gigi, mencoba menahan diri.

“Dia teman lamaku. Kami kuliah bersama saat S1, dan dia melanjutkan S2 nya di luar negri. Dia tidak tahu kalau aku—”

“Kalau kau sudah milikku?” potong Makes tajam.

Zhavira memalingkan wajah ke jendela. Tangannya mengepal di atas pahanya. “Aku bukan barang. Jangan bicara seolah-olah aku ini, sesuatu yang bisa kau miliki.”

Makes menarik napas dalam, mengendurkan genggaman setirnya. Namun tetap menatap lurus ke jalanan.

“Aku tahu,” katanya lirih. “Tapi aku takut kehilanganmu. Aku tahu caranya Gio melihatmu. Dan aku tahu caraku sendiri melihatmu, Zhavira. Aku tidak bisa menoleransi siapapun yang mencoba menyentuhmu.”

“Jadi solusinya kau tinggalkan tanda merah di leherku?” suara Zhavira nyaris gemetar. “Agar semua orang tahu aku milikmu?”

“Itu, salah satu caraku bilang bahwa aku bukan pria yang kau anggap impoten,” ucap Makes, kali ini lebih tenang. “Dan bahwa aku bisa. Untukmu.”

Zhavira tidak menjawab. Kata-kata Makes seperti duri dalam dada. Antara rasa cinta yang tidak pernah utuh dan rasa takut yang membungkusnya.

Mobil berhenti di depan lobi kantor.

Makes menoleh padanya. “Mulai hari ini, aku yang antar dan jemput kamu. Setiap hari.”

Zhavira menatap mata itu. Tak ada pilihan, tak ada ruang untuk menolak. Yang bisa ia lakukan hanya mengangguk pelan, lalu membuka pintu dan keluar dari mobil tanpa berkata-kata.

Suasana kantor pagi itu lebih ramai dari biasanya. Para karyawan sibuk dengan aktivitas masing-masing, namun tetap tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahu mereka. Bisik-bisik tentang kedatangan bersama antara CEO mereka dan sang sekretaris sudah menyebar cepat, seperti percikan api di rumput kering.

Zhavira berusaha menjaga ekspresinya tetap netral saat berjalan menuju pantry. Ia butuh secangkir kopi untuk menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil sejak kejadian semalam. Suara sepatu hak tingginya bergema lembut di lorong marmer sebelum akhirnya berhenti di depan mesin kopi.

Namun baru saja ia menuang air panas ke cangkir, sebuah suara familiar menyapanya dari belakang.

“Pagi, Zha”

Zhavira memutar tubuhnya. Radith berdiri di sana dengan senyum kecil, meski sorot matanya tak bisa menyembunyikan kebingungan yang ia simpan.

“Pagi,” jawab Zhavira singkat.

Radith melangkah mendekat, lalu mengambil gelas kertas dari rak sebelah. Hening sesaat, hingga pandangannya jatuh ke leher Zhavira—tepat di bagian kiri atas, yang terlihat sedikit tertutup kerah bajunya, tapi samar-samar menunjukkan warna kemerahan.

Zhavira reflek menunduk sedikit, menyadari apa yang tengah diperhatikan pria itu. Namun Radith sudah terlanjur bertanya, pelan, tapi penuh arti.

“Itu, kamu baik-baik saja, kan?”

Zhavira menggigit bibirnya. Ia tahu Radith tidak berniat menyudutkannya, tapi pertanyaan itu seperti menyodok bagian paling dalam dari kekacauan pikirannya saat ini. Ia hanya menatap cangkir kopi di tangannya, membiarkan keheningan menjawab segalanya.

Radith menyadari kebisuan itu, lalu menghela napas. “Zhavira, kalau ada apa-apa, kamu tahu kan kamu bisa cerita ke aku?”

Ia ingin mengangguk. Tapi suaranya terlalu lelah untuk berkata apa pun. Jadi ia hanya menatap Radith sejenak, lalu tersenyum kecil—palsu, tapi cukup untuk membuat pria itu tak bertanya lebih jauh.

Dan saat ia meninggalkan pantry dengan napas yang menggantung, Zhavira tak sadar bahwa dari kejauhan, Makes menyaksikan semuanya.

Tatapan tajam sang CEO tak hanya memancarkan kecemburuan, tapi juga peringatan.

**

Langkah Zhavira baru saja hendak menjauh dari pantry saat udara di ruangan itu seketika berubah.

Pintu terbuka dengan cepat, dan Makes muncul begitu saja—membuat suasana yang tadinya hangat menjadi tegang dalam hitungan detik. Tubuh tinggi pria itu tampak begitu mendominasi ruangan kecil itu. Kancing jas hitamnya terbuka, dan dasinya sedikit longgar, memberi kesan tak terlalu formal, tapi tetap penuh wibawa dan tekanan.

Zhavira langsung menghentikan langkahnya.

Radith, yang masih memegang gelas kopi, refleks menegakkan badan. “P—Pak Makes…”

Tatapan mata Makes tajam, langsung tertuju pada Radith seolah pria itu adalah target yang harus diawasinya. Ia tidak menjawab sapaan Radith, hanya melangkah masuk perlahan dan berdiri di samping Zhavira—terlalu dekat. Kedekatan yang disengaja.

"Ada yang menarik di sini?" suara Makes tenang, tapi jelas mengandung tekanan.

Zhavira menunduk, mencoba bersikap biasa. “Tidak, Pak. Saya hanya membuat kopi sebentar.”

“Dengan Radith?” tanya Makes, masih tanpa mengalihkan pandangan dari pria di hadapannya.

Radith membuka mulut, mencoba bersikap profesional. “Saya hanya ingin menyapa Zhavira, Pak. Tidak lebih.”

“Bagus,” ujar Makes pelan, mengangguk. “Tetap begitu.”

Radith menahan napas sejenak, sebelum tersenyum tipis dan membungkuk hormat. “Saya kembali ke meja kerja saya, Pak.”

Begitu Radith keluar dari pantry, sunyi kembali merayap.

Zhavira menatap ke arah pintu yang baru saja tertutup, lalu menoleh pada Makes dengan nada pelan, “Kamu, sengaja ke sini?”

“Sengaja,” jawab Makes tanpa basa-basi. “Aku tidak suka pria itu terlalu dekat denganmu.”

Zhavira menghela napas. “Dia cuma bertanya kabar. Bukan mengajakku kabur.”

Tapi Makes mendekat selangkah, menyentuh punggung tangan Zhavira yang masih memegang cangkir. “Aku tidak peduli. Aku sudah pernah bilang, aku akan pastikan tidak ada satu pun pria yang bisa menyentuhmu, bahkan lewat perhatian sekilas.”

Zhavira menggertakkan gigi, mencoba menahan diri. Tapi jantungnya berdetak tak beraturan. Ia tahu, sisi gelap Makes bukan sekadar kata-kata.

Dan di tengah ruang kecil itu, ia bisa merasakan garis batas yang mulai memudar antara perasaan dan kekuasaan.

"Ikut ke ruanganku." ujar Makes, ia menarik tangan Zhavira dan membawanya ke dalam ruangan kerjanya.

Suara pintu ruang CEO tertutup pelan, namun atmosfer di dalamnya justru bergetar tegang.

Zhavira berdiri tak jauh dari pintu, kedua tangannya melipat di depan dada, ekspresi wajahnya campuran antara bingung dan kesal. Makes berdiri di balik mejanya, membuka kancing jas lalu meletakkannya perlahan di sandaran kursi.

“Kenapa kamu harus seposesif itu?” suara Zhavira pelan, tapi menusuk.

Makes mendongak menatapnya. “Aku tidak posesif. Aku melindungimu.”

“Dari siapa? Radith? Dia cuma teman kerja, Makes.” Nada suaranya meninggi. “Kamu muncul di pantry seperti, seperti ingin menandai wilayah.”

“Memangnya bukan itu yang kamu inginkan?” Makes membalas, langkahnya pelan menghampiri. “Tanda yang aku buat di lehermu, apa tidak cukup untuk membuatmu paham jika kamu miliku zha, apa perlu aku membuatmu tidak bisa berjalan." Makes mengapit tubuh Zhavira, dan menyenderkannya ke tembok, dia menekan bok*ngnya pada area sensitif Zhavira.

Zhavira tersentak, dia merasakan ada yang keras di bawah sana, ia hanya menutup matanya, menahan semua pergolakan yang ada dalam dirinya.

“Buka matamu Zha, tatap aku.” Makes menatap matanya dalam. "Apa perlu aku melakukannya sekarang, hm.”

“Tidak!” potong Zhavira cepat.

“Tapi aku tidak bisa duduk tenang kalau kamu didekati laki-laki lain.”

Hening. Ketegangan di antara mereka memuncak, seperti dua benang yang siap putus kapan saja.

Zhavira menunduk sejenak, lalu mendekat ke meja. “Kamu menyuruhku tetap profesional di kantor. Tapi kamu sendiri yang menciptakan situasi yang, mencurigakan.”

“Karena kamu mencuri perhatianku,” ujar Makes lirih, nyaris seperti pengakuan jujur yang tak bisa dia tahan.

Zhavira terdiam.

Dan sesaat, ruang kerja itu sunyi. Hanya degup jantung mereka yang terdengar keras di dalam dada masing-masing.

Di luar ruang kerja Makes…

Radith berdiri di depan meja kerjanya dengan ekspresi bingung. Tangan kirinya menekan dagu, sedangkan matanya menatap kosong ke arah ruangan CEO yang kini tertutup rapat. Tadi... Makes seperti berbeda. Nada suaranya, sikapnya, bahkan tatapan matanya pada Zhavira, semuanya terasa sangat pribadi. Bukan hanya urusan atasan dan bawahan.

Ia mengingat tanda merah samar di leher Zhavira, lalu tatapan cemas gadis itu saat Makes muncul.

“Ada sesuatu di antara mereka?” gumamnya pelan.

Radith menggeleng, mencoba menepis pikiran aneh itu. Tapi instingnya sebagai pria... memberitahu satu hal pasti.

Zhavira bukan sekadar sekretaris biasa di mata Makes Rafasya Willson.

1
Kei Kurono
Wow, keren!
Nona_Written: ❤️❤️ terimakasih
total 1 replies
ladia120
Ceritanya keren, jangan sampai berhenti di sini ya thor!
Nona_Written: makasih, bantu vote ya 😘
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!