NovelToon NovelToon
Lentera Jelita

Lentera Jelita

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dokter Genius / Romansa / Penyelamat
Popularitas:679
Nilai: 5
Nama Author: Alfianita

Meminta Jodoh Di Jabal Rahmah?
Bertemu Jodoh Di Kota Jakarta?


Ahtar Fauzan Atmajaya tidak menyangka jika ia akan jatuh cinta pada seorang wanita yang hanya ia temui di dalam mimpinya saja.


“Saya tidak hanya sekedar memberi alasan, melainkan kenyataan. Hati saya merasa yakin jika Anda tak lain adalah jodoh saya.”


“Atas dasar apa hati Anda merasa yakin, Tuan? Sedangkan kita baru saja bertemu. Bahkan kita pun berbeda... jauh berbeda. Islam Agama Anda dan Kristen agama saya.”

Ahtar tersenyum, lalu...

“Biarkan takdir yang menjalankan perannya. Biarkan do'a yang berperang di langit. Dan jika nama saya bersanding dengan nama Anda di lauhul mahfudz-Nya, lantas kita bisa apa?”


Seketika perempuan itu tak menyangka dengan jawaban Ahtar. Tapi, kira-kira apa yang membuat Ahtar benar-benar merasa yakin? Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya? Akankah mereka bisa bersatu?


#1Dokter
#1goodboy
#hijrah
#Religi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfianita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Khawatir Tanpa Judul

...Please! Jangan pergi sekarang, kamu harus bisa bertehan melewati semua ini. Akan ada seseorang yang merasa sedih, merasa hancur dan takut kehilangan, yaitu... Aku. ...

...****************...

'Ya Allah... Apa ini? Dia... ada di sini. Dan terlihat sangat cantik, seperti bidadari yang saat ini dipinta untuk turun dan menjumpaiku. Ya Allah, jika ini mimpi, maka perpanjanglah durasi tidurku. Dan jika ini memang nyata, itu berarti aku telah tiada di hadapannya.'

Kedua mata Akhtar semakin buram, pusing yang mendera kepalanya semakin terasa. Belum lagi rasa sakit di perutnya semakin menusuk saja. Dan saking banyaknya darah yang keluar Akhtar kehilangan kesadarannya.

"Sial! Kenapa aku bisa datang terlambat sih," gumam Zuena dengan kesal. "Dia harus selamat. Tapi... Aku merasa mengenalnya. Siapa Dia?" gumam Zuena dengan alis yang saling bertaut. Malam yang gelap membuat Zuena tidak bisa melihat wajah Akhtar dengan jelas.

Zuena segera menyelesaikan ikatan syalnya. Setelah itu ia berdiri, "Aku rasa aku harus segera menyelesaikan semua ini. Jangan sampai hal ini terjadi lagi! Dan untukmu, tolong bertahanlah di sini sampai aku bisa menyelamatkan gadis yang mereka sandera itu."

"Tolong!" teriak Hafizha sekeras mungkin agar Zuena bisa mendengar suaranya yang sedikit menjauh.

Zuena berbalik, dengan tatapan tajam yang seolah siap menerkam orang yang dianggap musuhnya. Dua preman yang masih bisa berdiri itu membawa Hafizha dengan langkah cepat. Zuena tak mungkin hanya diam membeku, menjadi penonton untuk melihat korban kedua.

Zuena berlari cepat untuk mengejar doa preman itu. Tepat di belakang dua preman itu Zuena berdecak pinggang sambil tersenyum menyeringai.

"Lepaskan Dia, woi! Dasar pengecut," teriak Zuena dengan darah yang sudah mendidih.

Zuena dengan berani menarik perhatian dua preman itu. Suara zuena yang lantang jelas bisa didengar oleh dua preman itu. Dan seketika dua preman itu berbalik.

Zuena mendekati dua preman itu tanpa ada rasa takut sama sekali, "Kalau berani mainnya jangan keroyokan begitu dong! Bagaimana kalau kita... Satu banding satu." Zuena memegang kerah kemeja preman yang membawa Hafizha tanpa ada rasa takut.

"Jangan songong jadi cewek!" bentak preman itu sambil menepis tangan Zuena yang berada di atas bahunya.

"Kenapa? Marah? Justru aku yang seharusnya marah. Mana pakai pisau segala lagi, kok nggak gentle jadi preman." Zuena mencebik, kata-katanya penuh sindiran kejam. Membuat preman itu semakin berada di puncak kemarahan.

"Kau yang memegang pisau, ayo maju dan lawan aku!" titah Zuena dengan nada santai. "Atau... Dua-duanya sekalian, tak apalah sambil olahraga malam."

"Halah banyak omong sekali, belum juga ada aksi. Kalau kau memang pengen mati, aku pun siap meladenimu." Preman yang memegang pisau itu maju lebih dulu.

Zuena tersenyum, sebelum melakukan aksinya ia merenggangkan otot-ototnya yang terasa sedikit kaku, seperti saat hendak melakukan olahraga. Istilahnya... Pemanasan.

Preman itu memainkan pisau yang dipegangnya. Preman itu sengaja ingin melukai Zuena dengan pisaunya, tapi tidak semudah itu. Zuena dengan begitu lihainya menangkis setiap serangan yang dilakukan preman itu.

Bug!

Zuena melayangkan tinjuannya dengan gerakan kaki memutar.

"Arrgghhh!" rintih preman itu setelah mendapatkan tinjuan dari Zuena.

Bertubi-tubi Zuena melakukan serangan, sesekali dengan gerakan memutar hingga membuat pisau itu terjatuh. Dan dengan mudah preman itu tumbang.

"Sekarang giliranmu! Aku memiliki dua pilihan dan kau harus memilihnya. Melepaskan gadis itu atau... tumbang seperti temanmu yang lain," ancam Zuena dengan menantang.

"Tak akan aku lepaskan. Justru kau yang harus mundur daripada kau yang akan terluka seperti laki-laki bodoh tadi," balas preman itu.

Rahang Zuena mengatup kuat, genggaman tangannya mengepal begitu kuat hingga buku jarinya memutih, dan darahnya semakin mendidih—amarahnya semakin tak terkendali.

"Sial! Jadi kau... Tak mau memilih jalan berdamai. Ok, baiklah." tatapannya semakin tajam, siap untuk menerkam target kedua.

Hafizha semakin merasa takut, karena preman itu tidak melepaskan tangannya, malah menjadikannya sebagai tahanan. Hafizha berdiri di depan preman itu, seolah Hafizha dijadikan tameng pelindung oleh preman itu.

"Tolong, abang saya saja, Kak! Pergilah dari sini dan jangan pedulikan saya," ucap Hafizha dengan suara serak, nyaris tak terdengar.

"Tolong! Diam dan jangan banyak bicara, oke. Percayalah! Aku akan membantumu dan abangmu." Zuena mengangguk kecil, meyakinkan Hafizha.

Dengan tangis yang masih terdengar Hafizha mengangguk pelan. Hafizha sudah pasrah dengan keadaan yang membuatnya bisa saja tiada, tapi dalam doanya ia berharap jika Akhtar selamat dari maut.

Zuena kembali melakukan aksinya. Dengan langkah cepat Zuena bisa membuat preman itu melepaskan tangan yang mencengkram lengan Hafizha. Hafizha membeku di tempat, lidahnya terasa kelu.

“Pergilah! Cari bantuan sekarang!” titah Zuena.

Dengan kaki yang masih bergetar, antara yakin dan tak yakin Hafizha mengangguk—mengiyakan ucapan Zuena.

Tidak memerlukan waktu yang lama untuk Zuena melumpuhkan preman itu.

...****************...

Malam itu angin berhembus pelan membawa dingin yang seolah menusuk kulit. Sesekali Abi Yulian mengusap lengannya karena merasa dingin. Bunda Khadijah yang ada di luar pun tak menghiraukan lagi angin yang berhembus, karena rasa khawatir lebih mendominasi pikiran dan hatinya.

"Hubby, kenapa sampai saat ini juga Akhtar dan Hafizha belum kembali? Neng khawatir pada mereka, hiks..., hiks..., hiks...," Rasa khawatir, sedih, menyesal dan takut kehilangan seakan beradu menjadi satu.

Abi Yulian mendekati bunda Khadijah, dipeluknya tubuh sang istri yang terasa dingin. Tak lupa diusapnya lembut punggung bunda Khadijah agar tenang.

"Ya. Hubby tahu apa yang kamu rasakan, Neng. Tapi kita harus berprasangka baik, kita doa kan saja supaya mereka tetap berada dalam lindungan Allah meskipun kita tidak berada di samping mereka."

Crang!

Bingkai foto yang berada di nakas dekat ruang tamu telah terjatuh, membuat suara yang mengganggu gendang telinga. Abi Yulian dan Bunda Khadijah yang berada di luar masih bisa mendengar suara itu, begitu juga dengan Cahaya yang sedang menuju teras ikut mendengar bunyi yang sangat nyaring.

"Foto?" tanya Abi Yulian.

"Itu...Foto Akhtar, 'kan, Hubby?" tanya Bunda Khadijah ragu. "Kenapa bisa jatuh? Apa karena angin?" tanya Bunda Khadijah sambil mengerutkan keningnya.

Bunda Khadijah berusaha untuk tetap berprasangka baik, meskipun hatinya berubah gelisah tak menentu. Abi Yulian hanya diam sambil memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa sesak. Sedangkan Cahaya, perempuan itu sedang menganalisis apa yang terjadi.

'Rasanya tidak mungkin jika bingkai ini jatuh karena hembusan angin. Ruangan ini... Sedikit tertutup, bahkan tadi pintu juga dalam keadaan tertutup saat Abi dan Bunda berada di luar. Ada apa ini ya Allah? Semoga saja Engkau melindungi Akhtar di mana pun Dia berada.'

Cahaya begitu menyayangi Akhtar, rasanya ia tak sanggup jika sesuatu terjadi pada adiknya itu.

Abi Yulian merogoh saku celana kainnya untuk mengambil ponsel yang selalu dibawanya. Layar ponsel itu pun menyala dengan cahaya yang sangat terang, lalu ditelusurinya kotak panggilan, setelah itu disentuhnya notifikasi panggil untuk menghubungi Arjuna.

“Ada apa, Abi?” tanya Arjuna setelah mengucapkan salam.

“Nak…” Abi Yulian menjelaskan apa yang sudah terjadi pada Arjuna.

"Baiklah, Abi. Ini sekarang Juna juga mau pulang, nanti sekalian Juna mencari mereka. Abi jangan khawatir! Juna akan menemukan mereka," ujar Arjuna lirih.

“Iya, Abi percaya kamu akan melakukan itu, Nak. Semoga kamu nanti bisa menemukan kedua adikmu.”

Panggilan pun telah berakhir. Arjuna segera memasukkan data-data pasiennya ke dalam tasnya. Namun, saat hendak bersiap pulang tiba-tiba asistennya masuk dan mengatakan jika ada operasi caesar darurat. Sedangkan pihak keluarga itu hanya mau Arjuna lah sebagai dokter yang akan mengeluarkan bayi mungil dalam perut perempuan yang mengalami kecelakaan.

“Baiklah! Siapkan ruang operasinya segera, sekalian minta suster Neli untuk menyiapkan stok darah.” Arjuna sejenak menghela napas sambil memejamkan matanya.

'Maafkan aku Abi. Aku harus menyelesaikan tugasku dulu, setelah itu aku akan mencari mereka. Karena aku juga tidak mau terjadi sesuatu sama mereka.'

Arjuna bergegas menuju ruang operasi.

...****************...

“Tenanglah! Aku mohon,” ucap Zuena menenangkan Hafizha yang masih menangis.

“Bang Akhtar... Maafkan Izha. Hiks..., hiks..., hiks...”

Zuena merasa bingung sendiri harus melakukan apa. Di dalam ambulan itu Hafizha masih terus menangis tanpa henti.

'Apa se-khawatir itu melihat saudara kita saat mereka terluka?' gumam Zuena. ‘Tuhan! Aku mohon jaga keluargaku.'

Zuena menyadarkan kembali pikirannya, ia kembali fokus menekan syal yang ada di atas perut Akhtar, karena darah itu terus mengalir.

Hafizha yang terus menyebut nama Akhtar membuat Zuena teringat jika orang yang ada di hadapannya itu adalah dokter yang membuat jantungnya seperti gendang yang ditabuh dengan keras.

‘Ya, aku ingat sekarang. Dia yang menyelamatkan Adam. Dokter yang... Tampan.'

Tidak lama setelah perjalanan lima belas menit ambulan itu berhenti di depan ruang IGD. Supir ambulan itu keluar dan membantu Zuena mengeluarkan brankar dari dalam ambulan.

Brankar pun didorong masuk ke ruang IGD agar Akhtar segera mendapatkan penanganan.

‘Aku harus panggil dia apa ya...’

“Hei! Sorry, aku tidak tahu nama kamu. Tapi, aku memberikan saran untukmu, supaya kamu menghubungi keluargamu untuk memberi tahu mereka dan mereka tidak akan khawatir.” Zuena duduk di samping Hafizha.

Hafizha menatap Zuena dengan tatapan nanar. Ada rasa ragu untuk mengiyakan, tapi ia juga tidak bisa jika hanya diam saja.

‘Ya. Abi dan Bunda memang harus tahu kondisi Bang Akhtar saat ini.'

Hafizha mengangguk lirih, ia pun melakukan panggilan di ponselnya dengan nama kontak Abi.

“Halo, Abi. Assalamu'alaikum,” ucap Hafizha dengan suara parau.

“Wa'alaikumussalam, Nak. Alhamdulillah, akhirnya kamu menghubungi Abi juga. Sekarang kamu di mana, Nak? Kenapa kamu seperti sedang... Menangis?” tanya Abi Yulian meyakinkan pendengarannya.

“Abi...” Hafizha menggantungkan ucapannya, rasanya tak sanggup mengatakan kondisi Akhtar pada Abinya.

Tangan Hafizha gemetar, suaranya seakan tercekat di tenggorokan. Zuena yang melihat itu merasa iba.

“Boleh aku yang bicara?” tanya Zuena sambil mengulurkan tangan.

Hafizha yang paham akan hal itu segera memberikan benda pipih hitam di tangannya kepada Zuena.

“Maaf, Pak. Putra Anda yang bernama Dokter Akhtar masuk rumah sakit karena mengalami luka tusuk di perutnya. Dan sekarang ada di rumah sakit Royal Infirmary," ucap Zuena dengan tegas. Zuena tidak memiliki banyak waktu untuk menjelaskan dengan terlalu panjang.

Deg!

“Astaghfirullah hal 'azim....” lirih Abi Yulian dengan rapuhnya. “Terima kasih atas informasinya ya, Nak. Saya dan Bunda nya Akhtar akan segera ke sana.”

Panggilan itu pun terputus. Tak lama kemudian dokter keluar dari dalam ruang IGD. Zuena dengan sigap menghampiri dokter itu, karena Zuena tahu Hafizha masih kalut.

“Dokter, bagaimana kondisi dokter Akhtar sekarang?” tanya Zuena dengan bola mata yang membulat sempurna.

“Dokter Akhtar terlalu banyak kehilangan darah. Dan kita membutuhkan segera donor darah untuknya, karena saat ini dokter Akhtar dalam masa kritis,” terang dokter itu. “Apa Anda keluarga dokter Akhtar? Siapa tahu pihak keluarga bisa membantu, karena kebetulan stok darah yang sama dengan golongan darah dokter Akhtar habis.”

‘Ya Tuhan, separah inikah kondisinya? Kritis...? Please!Jangan pergi sekarang, kamu harus bisa bertahan melewati semua ini. Karena akan ada orang yang merasa sedih, merasa hancur dan takut kehilangan, yaitu... Aku.'

Entah kenapa Zuena merasa khawatir tanpa judul.

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!