"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Mantu Rahasia
Kebrutalan Heri benar-benar terlihat saat pis*unya menyayat kulit Ayu, membuat darah langsung mengucur.
Ayu menggigit lidah, mencoba menahan rasa sakit agar tetap sadar.
“Heri… kamu pacarnya Adikku. Yang kamu lakukan ini jelas salah. Kalau berhenti sekarang, aku bisa anggap tidak terjadi apa-apa,” ucap Ayu dengan suara lemah, tapi tegas.
“Diam!” bentak Heri. “Sejak kecil, aku nggak pernah kalah. Rama harus bayar mahal!”
Bugh!
Dengan kemarahan meledak, Heri mengangkat lutut dan menghantam pinggang Ayu.
Tubuh Ayu terhuyung dan jatuh berlutut ke tanah.
“Rama! Kalau nggak mau dia mati, cepat berlutut! Aku hitung sampai tiga… satu…”
“Yang kamu mau cuma balas dendam, kan? Ayo, aku di sini. Silakan tusuk aku. Asal dia kamu lepas,” suara Rama terdengar keras, penuh tekad. “Kalau benar-benar laki-laki, hadapi aku, jangan jadikan dia korban.”
“Kau pikir aku sebodoh itu? Begitu dilepas, kamu pasti langsung menyerang,” balas Heri.
“Aku lakukan sendiri,” kata Rama sambil membungkuk, mengambil pisau kecil di dekatnya. “Bilang, apa yang harus dilakukan supaya Ayu bebas?”
Yang paling ditakutkan Rama saat itu hanya satu: Ayu celaka.
Kekuatan misterius di dalam tubuhnya belum sepenuhnya terkendali. Satu kesalahan, bisa berakibat fatal.
Heri terdiam sejenak, lalu tertawa keras. Ekspresi wajahnya berubah gila. “Sampai rela menyakiti diri sendiri demi seorang istri? Menyentuh juga, sih. Kalau memang segitu cintanya, potong saja kedua kakimu. Satu kiri, satu kanan. Setelah itu, aku akan membebaskannya.”
“Jangan, Rama!” jerit Ayu dengan air mata mengalir. “Jangan lakukan itu!”
Tanpa banyak pikir, Rama langsung mengayunkan pisau ke kakinya. Satu sayatan di kiri, lalu satu lagi di kanan.
Darah mengalir deras, membasahi tanah di sekitarnya.
Tubuh Rama roboh, napasnya tersengal, wajahnya pucat.
“Ha ha ha! Bodoh sekali!” teriak Heri sambil mendorong Ayu ke samping.
“Rama… oh Rama… kemampuanmu lumayan, tapi otakmu nol. Benar-benar percaya aku bakal membiarkannya pergi? Tidak semudah itu. Aku akan bawa dia ke tempatku. Biar kerja di KTV-ku. Tapi sebelumnya, ya... aku nikmati dulu.”
Ayu gemetar hebat. Air mata tak berhenti jatuh, dan tubuhnya terlalu lemah untuk mendekat. Tapi tetap mencoba, merangkak pelan ke arah Rama… walau seluruh tubuhnya nyaris tak bisa digerakkan lagi.
Heri berjalan santai, langkahnya pelan tapi penuh ancaman. Ia tersenyum mengejek sambil berkata,
“Rama, waktumu sudah habis. Beristirahatlah dengan tenang… salam dari Raja Jhawa.”
Selesai bicara, ia jongkok, mengangkat belati tinggi-tinggi, siap mengakhiri hidup Rama.
Namun, tepat saat itu...
Syut!
Mata Rama terbuka.
Tanpa aba-aba, sebuah pukulan keras meluncur ke dada Heri.
BRAK!
Tubuh Heri terpental ke belakang, menghantam dinding dengan keras, lalu jatuh tak berdaya ke lantai. Darah muncrat dari mulutnya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
Rama menghela napas panjang. Dengan kaki yang penuh luka dan tubuh yang gemetar, ia paksa berdiri dan tertatih ke arah Ayu.
Ayu hanya bisa menangis, terlalu terharu hingga tak sanggup berkata apa-apa.
Tapi rasa panas dari obat di tubuhnya mulai tak tertahankan.
“A… aku panas… rasanya aneh…” ucapnya lirih, sambil menarik-narik kerah bajunya, wajahnya memerah.
Rama langsung bereaksi cepat.
“Tenang. Kamu nggak akan kenapa-kenapa.”
Ia menekan beberapa titik akupuntur di tubuh Ayu. Dalam sekejap, tubuh Ayu langsung lemas, tak bisa bergerak karena Teknik yang digunakan Rama.
Rama lalu segera bekerja untuk menetralisir efek obat dalam tubuh Ayu.
Sepuluh menit berlalu.
Sebagian besar efek obat telah dinetralkan, tapi wajah Rama jadi pucat pasi, napasnya berat.
Dua menit kemudian, Ayu sadar kembali. Tubuhnya mulai bisa digerakkan.
Melihat tubuh Rama berlumuran darah, wajah Ayu berubah panik. Air mata tak berhenti mengalir, antara takut dan terharu.
“Rama… kenapa sebodoh ini? Kenapa rela ngorbanin nyawa cuma buat aku? Aku bahkan nggak pantas…”
Sambil menangis, Ayu mencoba menghubungi layanan darurat lewat ponsel.
Rama langsung menahan tangannya.
“Jangan.”
“Tapi kamu butuh perawatan! Kamu terluka parah!”
“Ini cuma luka luar. Aku bisa sembuh sendiri. Kalau ke rumah sakit, bisa jadi ribet.”
Rama bicara dengan suara rendah.
Mendengar itu, Ayu tiba-tiba terdiam.
“Tapi… gimana kalau Heri nanti memutarbalikkan fakta? Menuduh kamu macem-macem?”
“Dia nggak akan berani,” jawab Rama datar. “Kalau sampai diselidiki, dia sendiri yang bakal kena masalah. Tapi kalau perlu, aku bisa selesaikan dia sekarang juga. Sekalian tutup semua kemungkinan masalah di masa depan.”
Tatapan Rama berubah dingin, aura membunuhnya terasa kuat.
Ayu langsung gemetar.
“Jangan… jangan lakukan itu. Sampai sekarang, kamu belum pernah benar-benar membunuh siapa pun, kan? Jangan mengotori tanganmu karena orang sepertinya. Aku nggak mau kamu berubah jadi orang yang lain.”
Ia menarik napas dalam-dalam.
“Mulai sekarang… ayo kita hidup tenang. Kita jalani hidup bareng, ya?”
Rama terpaku. Matanya menatap Ayu penuh bingung.
“Hah?”
Ayu mendekat, memeluk Rama erat-erat.
“Aku serius,” bisiknya pelan. “Aku, Ayu Ningrum, mau jadi istrimu. Bukan cuma di atas kertas. Tapi sungguh-sungguh.”
Rama seperti tidak percaya. “Aku… aku nggak salah dengar, kan?”
Ayu menatap matanya.
“Suami.”
“Suami!”
Ayu berseru lagi, kali ini dengan nada yakin dan penuh perasaan.
Tubuh Rama mendadak terasa panas dari dalam. Darahnya seolah mengalir lebih cepat, berdenyut kuat di setiap nadi. Energi misterius yang selama ini tersembunyi dalam dirinya tiba-tiba melonjak, mempercepat proses penyembuhan di sekujur tubuh.
Rama bisa merasakannya jelas. Lukanya menutup lebih cepat, rasa sakitnya mereda perlahan.
Dan yang paling mengejutkan energi itu berkembang. Menguat.
“Bisa jadi… emosi punya pengaruh sebesar ini?” pikir Rama dalam hati, heran. Rasanya seperti dia baru saja menyentuh ambang sebuah misteri yang selama ini tak terjangkau.
“Sekarang percaya padaku, suamiku?” panggil Ayu lagi dengan suara hangat, tulus dari hati.
Panggilan itu sederhana, tapi menggema dalam hati Rama.
Bayangan Ayu yang menangis, lalu memanggilnya "suami", membekas begitu dalam. Ia seperti merasakan sebuah ikatan tak terlihat yang menancap sampai ke tulang.
“Istriku… aku percaya padamu.”
Rama membalas pelukan Ayu, memeluknya erat, seolah tak ingin melepas.
“Tapi Kamu bodoh,” gumam Ayu dengan suara gemetar tapi lembut. “Bisa-bisanya nyakitin diri sendiri begitu... Ayo kita pulang. Aku akan cari dokter pribadi. Kita nggak perlu ke rumah sakit. Kita punya cukup uang. Kita bisa beli semua yang dibutuhkan.”
Untuk pertama kalinya, suara Ayu penuh kelembutan. Tidak ada dingin, tidak ada jarak.
Rama tersenyum tipis. “Tunggu sebentar. Aku harus bereskan semuanya dulu di sini.”
“Kondisimu begini dan masih mau ‘beresin semuanya’? Mau ngapain? Aku bisa bantu.”
“Aku janji, nggak akan sembarangan. Percaya padaku, ya? Tunggu di luar.”
Tatapan Rama tajam tapi tenang.
Ayu terdiam sebentar, lalu mengangguk.
“Baik. Tapi janji ya… jangan ngelakuin hal bodoh. Jangan ada niat untuk… membunuh. Aku nggak mau kamu hidup dalam bayang-bayang itu.”
“Aku janji,” kata Rama, tersenyum cerah. “Aku masih ingin hidup bahagia sama kamu. Jadi nggak akan ada hal bodoh.”
“Kalau begitu, cepat ya. Aku akan panggil taksi.”
Ayu perlahan melangkah keluar dari KTV, langkahnya pelan, tapi hatinya lebih ringan.
Sementara itu, Rama menoleh ke arah tubuh Heri yang masih tergeletak tak sadar.
Dengan langkah pelan, Rama mendekat.
Wajahnya dingin. Tatapannya tajam.
Orang seperti ini… nggak bisa dibiarkan begitu saja.
Ada batas yang nggak boleh dilanggar. Dan Heri sudah jauh melewati batas itu.